Vitamin C Tidak Direkomendasikan dalam Penatalaksanaan COVID-19

Oleh :
dr.Reni Widyastuti, Sp.FK

Vitamin C sempat dianggap memiliki peranan dalam tata laksana coronavirus disease 2019 (COVID-19). Berdasarkan penelitian sebelumnya, didapatkan keuntungan pemberian vitamin C pada pasien sepsis berat maupun Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sehingga secara empiris dianggap memiliki tempat pada penatalaksanaan pasien Coronavirus disease 2019 (COVID-19) komplikasi sepsis maupun ARDS.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Pada kasus yang berat, Coronavirus disease 2019 (COVID-19) dapat disertai dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis, kegagalan multiorgan, termasuk acute kidney injury (AKI) dan cardiac injury. Pada pasien COVID-19, jumlah total sel B, sel T, dan sel natural killer (sel NK) menurun secara signifikan dan lebih jelas penggunaannya pada kasus berat dibandingkan kasus yang tidak berat.

Vitamin C dianggap aman dan memiliki efek antioksidan dan modulasi sistem imun, sehingga dipercaya berperan dalam tata laksana COVID-19. Akan tetapi, keamanan pemberian vitamin C intravena (IV) masih belum jelas, dimana pada studi tahun 2022 didapatkan peningkatan mortalitas dan disfungsi organ pada mereka yang dilakukan randomisasi untuk mendapatkan terapi vitamin C.[1-4,30]

shutterstock_1033448467-min

Keamanan Vitamin C Dosis Tinggi

Suatu uji klinik menilai keamanan penggunaan vitamin C intravena pada pasien dengan sepsis berat. Pada uji klinik tersebut, subjek penelitian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang mendapat plasebo, vitamin C dengan dosis 50 mg/kg/24 jam, dan   vitamin C dengan dosis 200 mg/kg/24 jam. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa tidak ada efek samping yang muncul pada pasien yang mendapat vitamin C intravena dan disimpulkan bahwa pemberian vitamin C intravena aman dan dapat ditoleransi oleh pasien pada penelitian ini.[11,12]

Sementara itu, terdapat beberapa laporan kasus yang menyebutkan terjadinya oxalate nephropathy pada pasien yang mendapat vitamin C dosis tinggi. Oxalate nephropathy terjadi akibat akumulasi kalsium oksalat. Hal ini bisa disebabkan karena tingginya konsumsi prekursor oksalat, salah satunya adalah vitamin C. Risiko lain yang harus diwaspadai pada penggunaan vitamin C dosis tinggi adalah terjadinya hemolisis pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD dan iron overload pada pasien haemochromatosis.[13-15]

Sepalin itu, pada studi randomized, placebo-controlled trial yang dipublikasi oleh Lamontagne F, et al., didapatkan peningkatan mortalitas dan disfungsi organ pada penggunaan vitamin C IV dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan plasebo.[30]

Peran Vitamin C pada COVID-19 Komplikasi Sepsis

Vitamin C dianggap memiliki peran relevan dengan kondisi kritis pada kasus COVID-19 dalam meningkatkan sistem imun dan fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin C dapat meningkatkan kemotaksis dan fagositosis neutrofil, sehingga meningkatkan bersihan mikroba. Selain itu, vitamin C meningkatkan diferensiasi, proliferasi, dan memodulasi fungsi sel T, Sel B, dan sel natural killer. Vitamin C juga mampu menginduksi produksi antibodi pada manusia.[5-7]

Defisiensi vitamin C dapat menyebabkan gangguan imunitas dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Pada COVID-19, Ketika respon imun protektif terganggu, virus akan berpropagasi dan menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan. Sel yang rusak menginduksi inflamasi di paru yang sebagian besar dimediasi oleh makrofag proinflamasi dan granulosit.

Pada sepsis, terjadi stres oksidatif dan terbentuk mediator pro-inflamasi secara berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi. Vitamin C dapat membatasi kerusakan endotel yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS) tersebut. Vitamin C yang digunakan secara intravena dengan dosis tinggi dapat bekerja secara pleiotropik sebagai prooksidan yang membantu meningkatkan bersihan cairan alveolar dan sebagai antioksidan yang memperbaiki fungsi epitel.[6,8-10].

Potensi Vitamin C sebagai Terapi COVID-19

Potensi vitamin C sebagai terapi COVID-19 pada beberapa studi berhubungan dengan perbaikan klinis, seperti perbaikan saturasi oksigen perifer (SpO2), pada kondisi kritis dan sepsis. Maka dari itu, diharapkan bermanfaat pada pasien COVID-19 dengan kondisi tersebut.[4]

Salah satu penelitian awal mengenai penggunaan vitamin C pada sepsis dilakukan oleh Marik et al. Pada penelitian dengan desain before-after study tersebut disimpulkan bahwa pemberian vitamin C, bersama dengan hidrokortison dan tiamin dapat mencegah progresi disfungsi organ dan mengurangi mortalitas pada pasien sepsis berat dan syok septik.

Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan dari penelitian tersebut diantaranya tidak ada penyamaran, adanya 3 intervensi sekaligus, dan besar sampel relatif kecil sehingga dapat membatasi generalisasi dari hasil penelitian tersebut.[5,16]

Keuntungan Vitamin C sebagai Terapi Sepsis dan ARDS

Meta-analisis oleh Hemila dan Chalker yang melibatkan 12 studi dengan total 1766 pasien mendapatkan bahwa pemberian vitamin C dapat memperpendek lama perawatan di ICU. Meta-analisis dari 6 studi mendapatkan bahwa vitamin C dapat mengurangi durasi penggunaan ventilasi mekanik. Hasil yang berbeda didapatkan pada meta analisis dari 44 uji klinik juga dilakukan oleh Putzu et al. Dari studi tersebut didapatkan bahwa pemberian vitamin C tidak memiliki efek signifikan terhadap durasi rawat di ICU atau rumah sakit.[19,20]

Review sistematik dan meta analisis oleh Lin et al. melibatkan 4 RCT dan 2 studi retrospektif. Dari meta analisis tersebut didapatkan bahwa vitamin C dosis tinggi  (>50 mg/kg/hari) secara signifikan mengurangi angka kematian pasien dengan sepsis berat.

Akan tetapi, penambahan vitamin C dosis tinggi pada terapi sepsis berat tidak mengurangi lama perawatan di ICU. Hasil ini didukung hasil meta-analisis oleh Li yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara pemberian vitamin C pada kasus sepsis dengan kesintasan yang lebih baik dan penggunaan durasi vasopresor yang lebih pendek.

Beberapa studi di tahun 2022 yang dipublikasi di the New England Journal of Medicine (NEJM), didapatkan peningkatan mortalitas pada pasien sepsis yang mendapatkan vitamin C.[9,21,30]

Studi Peran Vitamin C pada COVID-19

Sampai artikel ini ditulis, belum ada bukti klinis yang kuat bahwa penggunaan vitamin C pada pasien COVID-19 memberikan benefit yang secara statistik signifikan.

Studi Perbandingan Vitamin C dengan Plasebo sebagai Terapi Adjuvant pada SARS-CoV-2

Studi selanjutnya dilakukan oleh Zhang et al. dengan membandingkan vitamin C 12 gram/hari selama 7 hari dan plasebo untuk pasien SARS-CoV-2 yang dirawat di ICU dengan PaO2/FiO2(P/F) <300 mmHg pada 56 pasien. Vitamin C maupun plasebo diberikan dalam 48 jam setelah masuk ICU.

Durasi bebas ventilasi mekanik dalam 28 hari pertama tidak berbeda secara statistik antara kelompok yang mendapat vitamin C maupun plasebo. Begitu pula dengan mortalitas dan skor  sequential organ failure assessment (SOFA) pada hari ke 3 dan 7. Akan tetapi, vitamin C mungkin berhubungan dengan perbaikan oksigenasi, karena peningkatan rasio PaO2/FiO2.

Akan tetapi, perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai hal ini dengan metode dan desain studi yang lebih baik, karena terdapat variasi waktu pemberian, gender, usia, dan penyakit kronis antar kelompok yang mendapat vitamin C dan plasebo. Hal ini mungkin mempengaruhi hasil studi. Selain itu, jumlah studi belum cukup besar untuk mewakili populasi.[24]

Studi Perbandingan Vitamin C, Zinc, Kombinasi Keduanya, dengan Terapi Standar

Thomas S et al. melakukan studi randomized controlled trial (RCT) pada 214 pasien SARS-CoV-2 rawat jalan dengan melihat perbandingan antara efek pemberian vitamin C 8000 mg, zinc 20 mg, kombinasi vitamin C dan zinc, serta terapi standar tanpa zinc maupun vitamin C.

Studi ini tidak menemukan adanya perbedaan durasi gejala yang signifikan secara statistik pada pasien COVID-19 yang melakukan rawat jalan pada kelompok-kelompok tersebut. Dengan kata lain, suplementasi tersebut tidak berhubungan dengan penurunan durasi gejala bila dibandingkan dengan terapi biasa tanpa suplementasi vitamin C dan zinc. Akan tetapi, seperti efek pemberian dosis tinggi vitamin C pada umumnya, ditemukan efek samping mual, diare, dan kram perut.[29]

Vitamin C dalam Pedoman Tata Laksana COVID-19

Panduan nasional untuk tata laksana COVID-19 sampai saat ini masih merekomendasikan pemberian vitamin C, baik untuk pasien asimtomatik, derajat ringan, sedang, maupun berat. Untuk pneumonia COVID-19 tanpa gejala dan gejala ringan diberikan vitamin C oral dengan dosis 500 mg tiap 6–8 jam/hari selama 14 hari untuk sediaan non acidic, atau tablet hisap 500 mg per 12 jam selama 30 hari, atau dalam bentuk multivitamin 1–2 tablet per 24 jam untuk 30 hari.

Untuk pneumonia COVID-19 gejala sedang dan berat direkomendasikan pemberian vitamin C intravena dengan dosis 200–400 mg per 8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis diberikan dalam 1 jam secara drip intravena (IV) selama perawatan.[23]

Namun demikian, The National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat (AS) tidak merekomendasikan penggunaan vitamin C pada pasien rawat jalan. Hal ini karena, pada pasien tersebut lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami stres oksidatif dan inflamasi berat. Maka dari itu, belum diketahui benefit yang didapat dari pemberian vitamin C untuk kelompok ini.

Sedangkan untuk derajat sedang dan berat, belum ada bukti yang cukup mengenai benefit dan harm yang ditimbulkan. Maka dari itu, rekomendasi penggunaan vitamin C menurut NIH untuk kelompok ini masih inkonklusif.

Kesimpulan

Secara teoritis, terdapat berbagai manfaat penggunaan vitamin C yang relevan dengan kasus COVID-19. Akan tetapi, belum terdapat hasil studi yang representatif untuk bisa mendemonstrasikan efek pemberian vitamin C untuk pasien dengan COVID-19. Studi yang ada belum dapat menunjukkan bahwa benefit yang didapat dari pemberian vitamin C pada pasien COVID-19 lebih besar dari risiko yang didapat.

Vitamin C tablet atau oral relatif aman, efek samping mual, diare dan kram perut telah dilaporkan pada pemberian dosis tinggi, tetapi jarang terjadi dan dapat ditoleransi. Akan tetapi, vitamin C tidak lagi direkomendasikan pada pasien sepsis karena beberapa studi tidak menunjukkan adanya benefit atau terdapat peningkatan mortalitas. Maka dari itu, vitamin C tidak lagi direkomendasikan pada pasien COVID-19.

Saat ini, pedoman nasional masih merekomendasikan pemberian vitamin C untuk pasien COVID-19 yang asimtomatik, derajat ringan, sedang, maupun berat. Akan tetapi, pedoman ini tidak berdasarkan studi terkini.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi