Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) mempublikasikan pedoman tentang diagnosis, tata laksana, dan cara menunda perkembangan penyakit ginjal kronik pada tahun 2024. Langkah dalam menunda perkembangan penyakit ginjal kronik dalam pedoman ini mencakup modifikasi aktivitas fisik dan diet, kontrol tekanan darah, dan farmakoterapi.
Dalam pedoman ini, pasien dengan penyakit ginjal kronik dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik 150 menit/minggu, menjaga asupan protein 0,8 g/kg/hari, dan membatasi asupan natrium kurang dari 2 g/hari. Untuk farmakoterapi, penggunaan renin-angiotensin-system inhibitors (RASi), seperti angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEi) dan angiotensin II receptor blocker (ARB), direkomendasikan.[1]
Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini
| Penyakit | Penyakit Ginjal Kronik |
| Tipe | Diagnosis dan Penatalaksanaan |
| Yang Merumuskan | Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) |
| Tahun | 2024 |
| Negara Asal | Internasional |
| Dokter Sasaran | Dokter Umum, Dokter Layanan Primer, Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Konsultan Ginjal-Hipertensi |
Penentuan Tingkat Bukti
Penentuan tingkat bukti dilakukan menggunakan metodologi GRADE (Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation). Setiap rekomendasi dikategorikan sebagai graded recommendations atau ungraded practice points.
Rekomendasi yang diberi tingkat bukti (graded) didasarkan pada tinjauan sistematis terhadap literatur, baik melalui telaah baru yang dilakukan oleh Evidence Review Team (ERT) independen maupun dari ulasan berkualitas yang sudah ada. Kekuatan rekomendasi ini ditentukan berdasarkan kualitas bukti ilmiah, keseimbangan manfaat dan risiko intervensi, serta relevansi klinis dalam konteks praktik nyata.
Sementara itu, ungraded practice points digunakan untuk aspek-aspek klinis yang penting namun tidak memiliki dasar bukti yang cukup untuk dilakukan tinjauan sistematis (misalnya karena kurangnya uji acak terkontrol/RCT atau masalah etis untuk melakukan studi tersebut). Meski tidak diberi tingkat bukti formal, practice points tetap dianggap penting untuk membantu pengambilan keputusan klinis.[1]
Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda
Beberapa penyebab dan faktor yang memperberat terjadinya gagal ginjal pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) dapat diidentifikasi, dimodifikasi dan ditangani. Penyakit penyerta metabolik seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia sangat erat kaitannya dengan progresivitas PGK. KDIGO menekankan pentingnya deteksi dan intervensi dini sehingga diharapkan PGK tidak berkembang menjadi gagal ginjal.
Rekomendasi skrining diutamakan pada populasi berisiko tinggi, termasuk individu dengan hipertensi, diabetes melitus, dan usia di atas 65 tahun. Pemeriksaan skrining meliputi urinalisis, pemeriksaan kreatinin serum, pemeriksaan rasio albumin kreatinin, dan estimasi laju filtrasi glomerulus (GFR).[1]
Rekomendasi Modifikasi Gaya Hidup
Berikut adalah rekomendasi KDIGO terkait modifikasi gaya hidup untuk menunda perkembangan penyakit ginjal kronik:
- Pasien PGK direkomendasikan untuk berhenti merokok, serta melakukan aktivitas fisik intensitas sedang dengan total durasi minimal 150 menit/minggu, disesuaikan dengan toleransi kardiovaskular dan kondisi fisik.
- Dorong penerapan diet sehat dan beragam, dengan proporsi lebih tinggi makanan nabati dibanding hewani, serta mengurangi konsumsi makanan ultra-proses.
- Pada pasien PGK dengan obesitas, dokter sebaiknya menganjurkan penurunan berat badan yang aman dan berkelanjutan.
- Pertahankan asupan protein sekitar 0,8 g/kgBB/hari pada pasien dewasa PGK stadium G3–G5. Hindari asupan tinggi (>1,3 g/kgBB/hari) karena berisiko mempercepat progresi penyakit.
- Pada pasien PGK yang berisiko mengalami gagal ginjal tetapi stabil secara metabolik, dapat dipertimbangkan diet sangat rendah protein (0,3–0,4 g/kgBB/hari) dengan suplementasi asam amino esensial atau ketoanalog, di bawah pengawasan ketat.
- Batasi konsumsi natrium hingga <2 g/hari (<5 g garam dapur per hari) untuk membantu mengontrol tekanan darah dan memperlambat progresi PGK.[1]
Rekomendasi Kontrol Tekanan Darah
Berikut adalah rekomendasi KDIGO tentang kontrol tekanan darah untuk menunda perkembangan penyakit ginjal kronik:
- Pasien dewasa dengan hipertensi dan PGK direkomendasikan untuk mencapai tekanan darah sistolik <120 mmHg, bila dapat ditoleransi. Target tekanan darah yang kurang ketat dipertimbangkan pada pasien dengan frailty, risiko jatuh tinggi, harapan hidup terbatas, atau hipotensi ortostatik
- Pada anak dengan PGK, tekanan arteri rata-rata 24 jam (MAP) berdasarkan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) sebaiknya diturunkan hingga ≤ 50 persentil menurut usia, jenis kelamin, dan tinggi badan. Lakukan ABPM setahun sekali dan pengukuran tekanan darah auskultatori di klinik setiap 3–6 bulan untuk pemantauan rutin. Bila ABPM tidak tersedia, gunakan target tekanan darah sistolik auskultatori di klinik antara persentil ke-50 hingga ke-75, selama tidak muncul gejala hipotensi.[1]
Rekomendasi Farmakoterapi
Berikut adalah rekomendasi KDIGO terkait farmakoterapi untuk menunda perkembangan penyakit ginjal kronik:
- RASi, seperti ACEi (contoh: captopril) atau ARB (contoh: valsartan) , merupakan terapi lini pertama pada pasien PGK dengan albuminuria sedang–berat, baik dengan maupun tanpa diabetes. Hindari kombinasi ACEi, ARB, dan direct renin inhibitor.
- Pada penggunaan RASi, berikan dosis tertinggi yang dapat ditoleransi dan pantau tekanan darah, kreatinin serum, serta kalium dalam 2–4 minggu setelah inisiasi atau peningkatan dosis. Lanjutkan terapi kecuali kreatinin meningkat >30% atau terjadi hipotensi atau hiperkalemia
- Terapi SGLT2 inhibitor, seperti empagliflozin, dapat direkomendasikan pada pasien PGK dengan GFR ≥20 ml/menit/1,73 m², baik dengan diabetes, albuminuria ≥200 mg/g, maupun gagal jantung, dan dapat dilanjutkan walau eGFR menurun di bawah 20 ml/menit bila masih ditoleransi.
Nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonist (MRA), seperti finerenone, perlu dipertimbangkan pada pasien diabetes tipe 2 dengan GFR >25 ml/menit/1,73 m² dan albuminuria persisten meskipun sudah menggunakan RASi maksimal, dengan pemantauan ketat kadar kalium.
- Kombinasi RASi + SGLT2i + nonsteroidal MRA dapat dipertimbangkan pada pasien diabetes tipe 2 dengan PGK dan risiko tinggi progresi penyakit ginjal atau kejadian kardiovaskular.
- Tambahkan GLP-1 RA kerja panjang, seperti semaglutide, pada pasien diabetes tipe 2 dengan PGK yang belum mencapai target glikemik meski telah menggunakan metformin dan SGLT2i.[1]
Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia
Pedoman tata laksana penyakit ginjal kronik di Indonesia diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) pada tahun 2023. Pedoman ini memiliki banyak kesamaan dengan dengan pedoman KDIGO, termasuk dalam rekomendasi kontrol tekanan darah, aktivitas fisik, dan restriksi protein. Farmakoterapi yang dianjurkan juga serupa, yakni menggunakan ACEi dan ARB.[1,2]
Kemenkes menyarankan asupan protein rendah 0,55-0,6 g/kgBB/hari atau diet sangat rendah protein 0,28-0,43 g/kgBB/hari. Untuk aktivitas fisik, anjuran Kemenkes sama dengan KDIGO, yakni intensitas sedang dengan durasi kumulatif minimal 150 menit/minggu atau sesuai toleransi kardiovaskular dan fisik.[2]
Kesimpulan
KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcomes) mempublikasikan pedoman diagnosis, tata laksana, dan cara menunda perkembangan penyakit ginjal kronik (PGK). Beberapa rekomendasi dalam pedoman ini adalah:
- Pasien dengan PGK dianjurkan melakukan aktivitas fisik minimal 150 menit/minggu, menurunkan berat badan jika obesitas, restriksi asupan protein sekitar 0,8 g/kgBB/hari pada pasien dewasa PGK stadium G3–G5, serta restriksi natrium <2 g/hari.
- Target tekanan darah adalah tekanan darah sistolik 120 mmHg, kecuali pada pasien dengan frailty, risiko jatuh tinggi, harapan hidup terbatas, atau hipotensi ortostatik simptomatik yang mana target yang kurang ketat bisa diterapkan.
Renin-angiotensin-system inhibitors (RASi), seperti angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEi) dan angiotensin II receptor blocker (ARB), direkomendasikan sebagai lini pertama dengan menggunakan dosis tertinggi yang dapat ditoleransi dan disertai pemantauan tekanan darah, kreatinin serum, serta kalium dalam 2–4 minggu setelah inisiasi atau peningkatan dosis.
