Red Flags Diplopia

Oleh :
dr. Friska Debby Anggriany, SpM, MKes

Red flags atau tanda bahaya diplopia perlu dikenali setiap dokter karena dapat berhubungan dengan etiologi yang mengancam nyawa. Contoh etiologi yang perlu diwaspadai adalah aneurisma, stroke, atau tumor intrakranial maupun metastasis.[3,7]

Diplopia dapat terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu diplopia monokular dan diplopia binokular. Cara membedakan diplopia monokular dan binokular adalah dengan meminta pasien menutup salah satu mata. Pada diploma monokular, saat salah satu mata ditutup, keluhan penglihatan ganda (diplopia) akan menetap. Sedangkan pada diplopia binokular, keluhan penglihatan ganda membaik. Diplopia binokular, terutama yang terjadi tiba-tiba, merupakan tanda bahaya untuk keluhan diplopia.[3–6,8,9]

Example,Of,Vision,With,Astigmatism,,A,Refractive,Error,That,Causes

Sekilas Mengenai Etiologi Diplopia

Diplopia terjadi karena bayangan objek yang dilihat tidak jatuh pada fovea. Hal ini menyebabkan munculnya persepsi otak bahwa terdapat 2 bayangan berbeda. Berdasarkan jenisnya etiologi diplopia dibagi menjadi diplopia monokular dan binokular.

Diplopia monokular disebabkan karena gangguan intraokular dan biasanya lebih ringan, misalnya gangguan refraksi atau katarak. Akan tetapi, diplopia monokular dapat disebabkan karena lesi pada saraf optik sebelum bersilangan di chiasma opticum, yang dapat disebabkan karena kondisi serius, seperti tumor dan perdarahan intrakranial.

Diplopia binokular terjadi akibat misalignment aksis visual, yang melibatkan area ekstraokular baik otot ekstraokular, saraf kranial III, IV, dan IV, yang memiliki nukleus di pons atau midbrain, serta bagian korteks.[3,5,8,9]

Berdasarkan anatominya, etiologi diplopia meliputi:

  1. Gangguan pada orbita, misalnya akibat dry eyes, lesi kornea, trauma, dan katarak
  2. Gangguan otot ekstraokular dan jaringan penyangga bola mata, misalnya thyroid eye disease, trauma, dan miopati kongenital
  3. Gangguan neuromuscular junction, misalnya akibat miastenia gravis dan botulisme

  4. Parese saraf kranial III, IV, dan VI, misalnya komplikasi mikrovaskular pada diabetes mellitus, perdarahan, tumor, malformasi vaskular, aneurisma, meningitis, dan multipel sklerosis
  5. Gangguan pada sistem saraf pusat, misalnya stroke, aneurisma dan perdarahan subarachnoid, tumor, malformasi vaskular, multipel sklerosis, hidrosefalus, sifilis, Wernicke’s encephalopathy, giant cell arteritis (GCA) dan penyakit neurodegeneratif[2–4,6]

Red Flags Diplopia

Pasien dengan red flags (tanda bahaya) diplopia seringkali memerlukan penanganan neurooftalmologi, neurologi, maupun intervensi bedah saraf segera. Hal ini dilakukan pada etiologi yang mengancam nyawa, seperti aneurisma, perdarahan subarachnoid, dan tumor intrakranial, yang umumnya digambarkan dengan diplopia binokular.[1–3]

Red flags diplopia yang perlu diperhatikan adalah diplopia binokular dengan salah satu di bawah ini:

  • Usia lebih dari 60 tahun dengan new onset diplopia binokular
  • Onset akut
  • Disertai dengan nyeri kepala atau nyeri okular hebat
  • Disertai dengan keterlibatan pupil, yaitu fixed dilated pupil pada pemeriksaan pupil dengan nyeri kepala
  • Disertai dengan gejala neurologis akut
  • Adanya riwayat trauma kepala, maupun area wajah terutama mata[2,3,6,8,9]

Sekilas tentang Manajemen Pasien dengan Red Flags Diplopia

Manajemen pasien dengan red flags diplopia perlu dikaji dari anamnesis serta pemeriksaan yang terarah untuk menentukan etiologi dan tata laksana yang sesuai.

Anamnesa

Anamnesis awal dilakukan untuk membedakan diplopia monokular dan binokular, dengan menanyakan apakah diplopia hilang ketika salah satu mata ditutup. Pada diplopia binokular, keluhan diplopia akan menghilang ketika salah satu mata ditutup, sebaliknya diplopia monokular akan tetap terjadi walaupun hanya melihat dengan satu mata. Diplopia binokular seringkali berhubungan dengan penyakit neurologis.[3,9]

Selanjutnya bila dikeluhkan diplopia binokular, tanyakan onsetnya, akut atau gradual. Diplopia akut mengindikasikan adanya gangguan vaskular (seperti stroke dan perdarahan intrakranial), sementara yang gradual mengindikasikan adanya lesi kompresi. Maka dari itu, diplopia akut lebih mengindikasikan kegawatdaruratan.[5]

Keluhan nyeri dan lokalisasinya juga perlu ditanyakan pada diplopia binokular. Nyeri di dalam atau di belakang mata mengindikasikan patologi intraorbita, sedangkan nyeri kepala mengindikasikan patologi intrakranial. Nyeri kepala hebat (“thunderclap headache”) yang muncul mendadak dapat mengindikasikan ruptur aneurisma yang menyebabkan perdarahan subarachnoid.[4]

Diplopia yang disertai gejala neurologis, terutama yang melibatkan batang otak juga menandakan diperlukannya pencitraan neurologis secepatnya. Hal ini ditandai dengan keluhan pusing berputar, afasia, ataksia, serta kesulitan menelan.

Arah bayangan diplopia, yaitu vertikal, horizontal dan oblik dapat membantu mengidentifikasi letak lesi. Diplopia vertikal dengan riwayat trauma orbita dapat menandakan adanya fraktur lantai orbita. Pada keadaan ini, perlu segera dilakukan pemeriksaan CT scan untuk penegakkan diagnosis dan membantu perencanaan operasi.[5,6,8]

Pemeriksaan Fisik

Identifikasi diplopia pada pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan penlight atau objek tertentu seperti pulpen. Kemudian tanyakan adanya pandangan ganda dengan penglihatan monokular atau binokular dan arah bayangan (vertikal, horizontal, atau oblik). Adanya trauma orbita dengan diplopia vertikal dapat menandakan adanya fraktur lantai orbita.[5,6]

Pemeriksaan fisik juga meliputi funduskopi, terutama untuk melihat papilloedema. Adanya papilloedema dapat menunjukkan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan dapat menjadi tanda kegawatdaruratan.[6]

Saat pemeriksaan fisik, lakukan inspeksi posisi bola mata dan adanya kelainan neurologis terkait saraf kranial yang mengatur posisi bola mata, yaitu saraf kranial III, IV, dan VI. Diplopia dan ptosis dengan dilatasi pupil yang tidak responsif terhadap cahaya dapat menunjukkan parese saraf kranial III.[6,9]

Kelainan neurologis yang melibatkan batang otak dapat diidentifikasi dengan melihat crossed signs. Crossed signs ditunjukkan dengan gejala motorik di ipsilateral lesi kranial dan hemiparesis atau hemianestesia.[8]

Pemeriksaan Penunjang

Pada kecurigaan etiologi neurologis, pemeriksaan penunjang terutama neuroimaging, seperti CT scan kepala, MRI otak, CT angiografi, atau MRA, harus segera dilakukan. Pemeriksaan MRI yang sifatnya semi gawat darurat perlu dilakukan pada keterlibatan saraf kranial III, IV, dan VI.[8]

Pemeriksaan CT scan maupun CT angiografi juga perlu dilakukan segera pada kecurigaan kelumpuhan saraf kranial III yang total dengan midriasis, ptosis, eksotropia, dan tidak mampu melirik ke atas atau ke medial. Hal ini menunjukkan adanya lesi kompresi, seperti aneurisma arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior.[8]

Pemeriksaan laboratorium reaktan fase akut, seperti laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP), perlu dipertimbangkan pada pasien berusia >60 tahun dengan diplopia binokular new onset. Hal ini karena kecurigaan GCA. Pemeriksaan darah lengkap juga dapat dilakukan dengan hasil anemia normositik normokrom dan trombositosis.[8,10]  

Tata Laksana

Tata laksana diplopia binokular, baik onset akut maupun gradual, memerlukan rujukan ke neurooftamologis. Pada keadaan mengancam nyawa, seperti perdarahan subarachnoid, penatalaksanaan meliputi stabilisasi kemudian segera merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, di mana intervensi bedah saraf dan neurologis dapat dilakukan.[3,8,9]

Referensi