Perbandingan Keamanan Obat Golongan Penghambat COX-1 dan COX-2

Oleh :
dr.Trisni Untari Dewi Sp.FK

Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat dibagi menjadi golongan penghambat siklooksigenase 1 (COX-1) seperti aspirin dan indomethacin, serta penghambat COX-2 seperti celecoxib dan etoricoxib. Penghambat COX-2 dianggap lebih aman dibandingkan OAINS non-selektif yang lebih dominan menghambat COX-1, karena memiliki efek samping gastrointestinal minimal. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa COX-2 dapat meningkatkan efek samping kardiovaskular, termasuk infark miokard dan kematian kardiovaskular.[1-6]

Ketidakseimbangan antara prostaglandin I2 (PGI2) dan tromboksan A2 (TXA2) diduga menyebabkan efek buruk kardiovaskular terkait konsumsi OAINS. Penghambatan COX-2 selektif menyebabkan berkurangnya PGI2 dari endotel pembuluh darah, sehingga efek perlindungan PGI2 hilang. Di sisi lain, produksi TXA2 oleh trombosit tidak dihambat, yang menyebabkan keadaan protrombotik.[1,2,7-11]

obatdokter

Mekanisme Kerja Penghambat Siklooksigenase (COX)

Enzim siklooksigenase (COX) merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin ketika terjadi respon inflamasi. COX membentuk prostaglandin G2 dari asam arakidonat menjadi prostaglandin H2 yang membentuk tromboksan A2 (TXA2), prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin D2 (PGD2), prostaglandin I2 (PGI2), dan prostaglandin F2 alfa (PGF2α). Enzim siklooksigenase memiliki isoform yang berbeda yaitu COX-1 dan COX-2.[2,12,13]

Perbedaan COX-1 dan COX-2

COX-1 merupakan isoform konstitutif fisiologis yang mengatur berbagai macam proses seluler, termasuk agregasi platelet, vasodilatasi arteriol aferen ginjal, dan proteksi pada mukosa lambung. Prostaglandin yang diproduksi oleh COX-1 berperan dalam mengatur sekresi mukus dan bikarbonat yang dapat melindungi mukosa lambung.

Sementara itu, COX-2 adalah isoform yang dapat diinduksi oleh kondisi inflamasi dan merupakan sumber mediator inflamasi prostaglandin E2 yang berpengaruh terhadap perlekatan endotel-leukosit dan proliferasi epitel, serta PGI2 melalui jalur asam arakidonat. COX-2 terdapat di dalam otak, ginjal, tulang dan sistem reproduksi wanita.[2,12,13]

Perbedaan Penghambat COX-1 dan COX-2

Obat penghambat COX-2 merupakan subkelas obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) selektif yang mengganggu produksi mediator inflamasi tanpa mengganggu fungsi epitel lambung. Ekspresi penghambat COX-2 pada organ ginjal juga tidak banyak dibandingkan dengan penghambat COX-1. COX-2 pada ginjal berperan pada ekskresi air dan natrium, sedangkan COX-1 berperan dalam pengontrolan hemodinamik dan kecepatan filtrasi ginjal.

Pada sistem kardiovaskular, hambatan COX-2 akan mengurangi produksi PGI2 yang merupakan vasodilator poten dan memiliki efek hambatan terhadap adhesi leukosit, agregasi platelet, serta proliferasi sel otot polos vaskular. Ini diduga dapat meningkatkan risiko efek samping kardiovaskular.[1,2,13,14]

Di sisi lain, OAINS non-selektif bekerja menghambat kedua enzim siklooksigenase meskipun lebih dominan terhadap COX-1. Hambatan pada COX-1 menyebabkan efek samping gastrointestinal lebih tinggi, disertai gangguan fungsi platelet dan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. OAINS non-selektif juga tetap membawa risiko efek samping kardiovaskular.[5,12-14]

Contoh Obat Penghambat COX-1 dan COX-2

Contoh OAINS non-selektif atau penghambat COX-1 adalah aspirin, indomethacin, asam mefenamat, diklofenak, dan ibuprofen. Sementara itu, obat penghambat COX-2 antara lain celecoxib, rofecoxib, etoricoxib, dan valdecoxib.[1-5]

Perbandingan Keamanan Penghambat COX-1 dan COX-2

Penghambat siklooksigenase (COX) memiliki efek analgesik dan antiinflamasi, tetapi juga meningkatkan risiko ulkus gastrointestinal, perdarahan, serta efek samping ginjal dan kardiovaskular.[2-4]

Perbandingan Risiko Kardiovaskular Antara COX-1 dan COX-2

Sebuah studi membandingkan efek rofecoxib, celecoxib dan naproxen pada 400 pasien rawat jalan dengan diagnosis hipertensi arterial, diabetes melitus, dan osteoarthritis. Studi ini menyimpulkan bahwa rofecoxib, tapi bukan celecoxib dan naproxen, meningkatkan tekanan darah secara signifikan dalam 24 jam setelah diberikan terapi.[2]

Sebuah tinjauan sistematik yang mengevaluasi hasil 40 studi membandingkan risiko gagal jantung terkait penggunaan OAINS non-selektif dengan penghambat COX-2. Tinjauan ini menemukan peningkatan risiko hipertensi 45% pada penggunaan penghambat COX-2, tapi menjadi tidak signifikan secara statistik ketika rofecoxib dikeluarkan dari analisis. Rofecoxib dikeluarkan dari analisis karena telah ditarik dari pasar oleh FDA Amerika Serikat terkait peningkatan risiko infark miokard.

Selain itu, ditemukan peningkatan risiko gagal jantung dan edema hingga 70% pada penggunaan penghambat COX-2 dibandingkan plasebo. Hasil tidak berubah meski rofecoxib dikeluarkan dari analisis.[2]

Di sisi lain, uji klinis PRECISION yang melibatkan 24.081 partisipan membandingkan keamanan celecoxib dengan ibuprofen atau naproxen pada pasien osteoarthritis atau rheumatoid arthritis. Studi ini menyimpulkan celecoxib non-inferior terhadap naproxen atau ibuprofen untuk luaran kematian kardiovaskular, infark miokard nonfatal, atau stroke nonfatal. Dalam analisis subgrup pasien osteoarthritis, lebih sedikit efek samping kardiovaskular mayor yang diamati pada kelompok celecoxib dibandingkan ibuprofen.[3,4]

Perbandingan Risiko Gastrointestinal Antara COX-1 dan COX-2

Selama ini, obat penghambat COX-2 dianggap lebih superior dalam hal efek samping gastrointestinal. Dalam uji klinis PRECISION, risiko efek samping gastrointestinal dilaporkan lebih rendah secara signifikan pada penggunaan celecoxib dibandingkan ibuprofen dan naproxen.[3,4]

Di sisi lain, tinjauan sistematik yang mengevaluasi hasil dari 40 studi menunjukkan hasil berbeda. Penggunaan penghambat COX-2 pada pasien osteoarthritis dilaporkan meningkatkan risiko efek samping keseluruhan. Secara lebih spesifik, risiko efek gastrointestinal seperti dispepsia, gastritis, dan heartburn ditemukan meningkat. Efek samping nyeri abdomen ditemukan meningkat secara nyata, yakni sebesar 40% pada penggunaan penghambat COX-2 dibandingkan plasebo.[2]

Kesimpulan

Obat golongan penghambat siklooksigenase (COX) sangat sering digunakan sebagai antiinflamasi dan analgesik. Penghambat COX-2 disukai karena dianggap memiliki efek gastrointestinal yang lebih baik dibandingkan penghambat COX-1. Meski demikian, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa penghambat COX-2 juga masih meningkatkan risiko efek samping gastrointestinal secara signifikan pada pasien osteoarthritis. Ditambah lagi, penghambat COX-2 juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kardiovaskular seperti gagal jantung, edema, infark miokard, stroke, dan kematian kardiovaskular. Risiko kardiovaskular ini nampaknya terutama berkaitan dengan penggunaan rofecoxib dibandingkan celecoxib.

Secara keseluruhan, meresepkan OAINS perlu dilakukan dengan hati-hati. Hindari pemberian resep pada pasien di atas 65 tahun dan pasien yang diketahui memiliki penyakit jantung, penyakit ginjal, atau GERD ataupun yang memiliki faktor risiko untuk penyakit ini. Baik dalam meresepkan OAINS COX-1 atau COX-2, praktik peresepan yang aman perlu melibatkan pemberian informasi tentang potensi efek samping kepada pasien dan gejalanya.

Referensi