Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • SKP Online
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit
  • Obat
  • Tindakan Medis
Penatalaksanaan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) general_alomedika 2019-11-01T14:45:15+07:00 2019-11-01T14:45:15+07:00
Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Middle East Respiratory Syndrome (MERS)

Oleh :
Rainey Ahmad Fajri Putranta
Share To Social Media:

Penatalaksanaan MERS terfokus pada pemberian terapi suportif pada pasien dan bersifat multi disiplin. Sampai saat ini antiviral belum terbukti efektif dalam menangani MERS. Sehingga penanganan suportif yang adekuat penting untuk terapi yang baik pada pasien. Terapi mencakup oksigen dan ventilasi , hidrasi, antipiretik, analgesik, serta antibiotik untuk superinfeksi bakteri.

Untuk mencegah penyebaran, pasien yang dicurigai terinfeksi MERS CoV harus dirawat diruang yang terpisah atau ruang isolasi dengan pasien lain agar tidak menginfeksi pasien lainnya. Pasien akan dimonitoring sampai hasil RT PCR terkonfirmasi negatif dan pasien tidak lagi ditemukan tanda infeksi.

Untuk tenaga kesehatan yang merawat pasien curiga MERS dan terdiagnosis MERS. Tenaga kesehatan harus menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari terjangkit infeksi menular MERS.

Selama dalam perawatan, tata laksana yang diberikan mencakup farmakologis dan non farmakologis. Tata laksana tersebut adalah :

Terapi Oksigen dan Ventilasi

Pasien dengan MERS memiliki pneumonia, sehingga sangat mungkin apabila pasien merasa sesak. Penggunaan terapi oksigen dapat dilakukan pada pasien dengan Severe Acute Respiratory Infection (SARI), yang ditandai dengan depresi nafas berat, hipoksemia (SpO2 < 90%). Pemberian oksigen dimulai dari 5 L/menit, lalu di titrasi hingga SpO2 ≥90% pada orang dewasa yang tidak hamil, dan SpO2 ≥92-95% pada ibu hamil.

Pemberian oksigen 10-15 L/menit dengan Nonrebreathing Oxygen Face Mask, dan konsentrasi oksigen yang tinggi dapat dilakukan apabila SpO2 tetap turun walaupun telah diberikan oksigen 5L/menit. Apabila tetap tidak membaik, mungkin dapat terjadi tingginya fraksi shunt intrapulmonary, dapat di intubasi dan menggunakan ventilasi mekanis.

Terdapat 2 buah teknik pemberian ventilasi mekanik, ventilasi non-invasif, yaitu dengan memberikan ventilasi melalui masker dengan support, dan ventilasi invasif melalui penggunaan endotracheal tube atau trakeostomi.

Penggunaan ventilasi non-invasif dapat dilakukan apabila terdapat petugas medis yang terlatih dan harus dilakukan secara dini dan harus dipantau ketat di ICU. Apabila ventilasi non-invasif tidak berhasil, segera lakukan intubasi. [9,25]

Farmakoterapi

Antipiretik

Antipiretik yang digunakan pada pasien dengan MERS tidak dikhususkan. Pemberian paracetamol dengan dosis 500 mg per 8 jam dapat mengurangi keluhan demam pada pasien.

Antibiotik

Pemberian antibiotik empiris dapat dilakukan secepatnya pada pasien dengan pneumonia yang dicurigai infeksi MERS. Antibiotik disesuaikan dengan penyebab dari uji kepekaan antibiotik.[25] Suatu laporan kasus menunjukkan bahwa penggunaan cefotaxime dan levofloxacin selama 3 hari tidak mengurangi keluhan pasien. [32]

Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid tidak disarankan karena efek samping steroid, yaitu infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, dan replikasi virus yang berkepanjangan. Hal ini tentunya sangat berbahaya mengingat tingginya angka mortalitas pasien dengan MERS. [25]

Antiviral

Antiviral sebagai terapi MERS sebenarnya masih kontroversial. Masih sedikit penelitian yang menunjukkan efektivitas penggunaan antiviral sebagai manajemen MERS. Bahkan, dalam satu penelitian, ditemukan bahwa penggunaan antivirus memiliki sintasan yang lebih pendek dibanding kontrol pada hari ke-14. Sehingga, pemberian antiviral jenis apapun sebenarnya masih belum direkomendasikan. [33,34]

Hingga saat ini, antiviral yang digunakan adalah ribavirin, biasanya dikombinasikan dengan antibiotik dan oksigen. Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa penggunaan ribavirin meningkatkan efektivitas interferon dalam penanganan MERS, walaupun begitu, hal ini harus diteliti lebih lanjut dengan desain studi yang lebih baik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ribavirin dengan interferon yang digunakan pada awal MERS lebih efektif dibanding beberapa hari setelahnya. [35-37]

Akan tetapi, penggunaan ribavirin dan interferon sendiri juga memiliki efek samping, yaitu anemia hemolitik untuk ribavirin dan disfungsi myeloid untuk interferon. Selain itu, dosis ribavirin dan interferon yang digunakan belum terfiksasi, pemberiannya masih berdasarkan penelitian deskriptif. [38]

Penggunaan antiviral spektrum luas, seperti klorokuin, chlorpromazine, dan toremifin, masih jarang digunakan. Suatu studi menunjukkan chlorpromazine memiliki respon yang baik pada kultur sel. Sedangkan klorokuin dan toremifine memberikan efek sitotoksik, sehingga tidak dapat digunakan sebagai terapi. [4] Selain itu, studi lain menemukan bahwa flavonoid dapat mengurangi efek proteolitik dari MERS CoV. Akan tetapi, penelitian dilakukan secara in vitro dan belum pada tahap hewan maupun manusia. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitasnya pada manusia. [39]

Blokade Neuromuskular

Pada pasien dengan ARDS berat yang terintubasi dan terventilasi, dapat diberikan blokade neuromuskular dalam 48 jam pertama. Hal ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi kemungkinan kelemahan otot yang signifikan. [9] Pemberian dapat dilakukan secara intravena pada pasien dengan PaO2/FiO2 <150. Cisatracurium besylate dapat digunakan dengan dosis 15mg dalam 3mL infus intravena cepat diikuti dengan infus lanjutan 37,5 miligram per jam selama 48 jam. Sebuah penelitian menunjukan bahwa cisatracurium besylate dapat mengurangi mortalitas 90 hari dan meningkatkan hari tanpa ventilator. [40,41]

Vassopresor

Pemberian vasopressor, seperti epinephrine, norepinephrine, dan dopamin dapat dilakukan apabila gejala syok berlanjut, walaupun sudah diberikan resusitasi cairan telah dilakukan. Vasopressor paling baik diberikan melalui kateter vena sentral. Jika vena sentral tidak tersedia, dapat diberikan melalui intravena. Pertimbangkan pemberian hydrocortisone atau prednisolone pada pasien syok persisten dengan vasopressor yang harus ditingkatkan. [9,42]

Vasopressor yang dipilih dalam penanganan syok sepsis adalah norepinephrine, diberikan secara intravena sebanyak 0.2-0.5 mcg/kgBB/menit hingga target tekanan darah sistolik 90 mmHg tercapai. Selain itu, vasopressin, hingga 0.03 unit/menit dapat ditambahkan untuk meningkatkan Mean Arterial Pressure (MAP) dan apabila ingin menurunkan dosis norepinefrin. [9,42]

Dosis hydrocortisone yang dapat digunakan adalah 200 mg perhari secara intravena, sedangkan untuk prednisolone adalah 75mg per hari secara intravena. [9,42]

Terapi Cairan

Terapi cairan pada pasien MERS harus dilakukan dengan hati-hati. Terapi cairan berperan penting pada pasien MERS dengan syok sepsis. Syok sepsis ditandai dengan hipotensi yang menetap setelah challenge cairan atau adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan (konsentrasi laktat dalam darah >4mmol/Liter). [9,25]

Akan tetapi, terapi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan hemodilusi, meningkatnya cardiac filling pressure dan overload cairan. Hal ini dapat menyebabkan edema paru dan meningkatnya waktu penggunaan ventilasi. Pemberian cairan pada pasien hipoksemia harus diperhatikan karena pemberian volume yang berlebihan dapat memperparah shunt, sehingga pasien akan semakin sesak. Sebaiknya, dilakukan fluid challenge sebelum diberikan terapi agar dokter mengetahui apakah pasien tersebut memang membutuhkan dan responsif terhadap cairan atau tidak. [43]

Pemberian cairan yang berlebih dapat diperiksa dengan adanya crackles pada auskultasi, serta edema paru pada foto thoraks. Selain itu, pemeriksaan SpO2 pada pasien dapat dilakukan untuk monitoring pasien yang diberikan terapi cairan. [44,45]

Cairan kristaloid ≥30 mL/kgBB dalam 3 jam pertama diberikan untuk loading cairan, setelah itu tentukan apakah pasien membutuhkan loading selanjutnya atau tidak. Berhasilnya terapi cairan dapat dilihat dari tekanan darah yang normal serta tidak adanya suara abnormal pada auskultasi paru. [9,25]

Referensi

4. Cong Y, Hart BJ, Gross R, Zhou H, Frieman M, Bollinger L, Wada J, Hensley LE, Jahrling PB, Dyall J, Holbrook MR. MERS-CoV pathogenesis and antiviral efficacy of licensed drugs in human monocyte-derived antigen-presenting cells. PloS one. 2018 Mar 22;13(3):e0194868.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat Suspek Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV).Jakarta: Kementerian Kesehatan.2018.Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/puskes-haji/4-pedoman-tatalaksana-klinis-ispa-berat-suspek-mers-cov.pdf
25. World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory infections when novel coronavirus is suspected: what to do and what not to do.2013. Available from: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/178529/WHO_MERS_Clinical_15.1_eng.pdf?sequence=1&isAllowed=y&ua=1
32. Kim I, Lee JE, Kim KH, Lee S, Lee K, Mok JH. Successful treatment of suspected organizing pneumonia in a patient with Middle East respiratory syndrome coronavirus infection: a case report. Journal of thoracic disease. 2016 Oct;8(10):E1190.
33. Chong YP, Song JY, Seo YB, Choi JP, Shin HS, Team RR. Antiviral treatment guidelines for Middle East respiratory syndrome. Infection & chemotherapy. 2015 Sep 1;47(3):212-22.
34. Arabi YM, Balkhy HH, Hayden FG, Bouchama A, Luke T, Baillie JK, Al-Omari A, Hajeer AH, Senga M, Denison MR, Nguyen-Van-Tam JS. Middle East respiratory syndrome. New England Journal of Medicine. 2017 Feb 9;376(6):584-94.
35. Al-Tawfiq JA, Momattin H, Dib J, Memish ZA. Ribavirin and interferon therapy in patients infected with the Middle East respiratory syndrome coronavirus: an observational study. International Journal of Infectious Diseases. 2014 Mar 1;20:42-6.
36. Ling Y, Qu R, Luo Y. Clinical analysis of the first patient with imported Middle East respiratory syndrome in China. Zhonghua wei zhong bing ji jiu yi xue. 2015 Aug;27(8):630-4.
37. Rhee JY, Hong G, Ryu KM. Clinical implications of five cases of Middle East respiratory syndrome coronavirus infection in South Korea Outbreak. Japanese journal of infectious diseases. 2016:JJID-2015.
38. Chong YP, Song JY, Seo YB, Choi JP, Shin HS, Team RR. Antiviral treatment guidelines for Middle East respiratory syndrome. Infection & chemotherapy. 2015 Sep 1;47(3):212-22.
39. Jo S, Kim H, Kim S, Shin DH, Kim MS. Characteristics of flavonoids as potent MERS‐CoV 3C‐like protease inhibitors. Chemical biology & drug design. 2019 Aug 22.
40. Papazian L, Forel JM, Gacouin A, Penot-Ragon C, Perrin G, Loundou A, Jaber S, Arnal JM, Perez D, Seghboyan JM, Constantin JM. Neuromuscular blockers in early acute respiratory distress syndrome. New England Journal of Medicine. 2010 Sep 16;363(12):1107-16.
41. Sottile PD, Kiser TH, Burnham EL, Ho PM, Allen RR, Vandivier RW, Moss M. An observational study of the efficacy of cisatracurium compared with vecuronium in patients with or at risk for acute respiratory distress syndrome. American journal of respiratory and critical care medicine. 2018 Apr 1;197(7):897-904.
42. Gamper G, Havel C, Arrich J, Losert H, Pace NL, Müllner M, Herkner H. Vasopressors for hypotensive shock. Cochrane database of systematic reviews. 2016(2).
43. Monnet X, Marik PE, Teboul JL. Prediction of fluid responsiveness: an update. Annals of intensive care. 2016 Dec 1;6(1):111.
44. Schrier RW, Wang W. Acute renal failure and sepsis. New England Journal of Medicine. 2004 Jul 8;351(2):159-69.
45. Arabi YM, Arifi AA, Balkhy HH, Najm H, Aldawood AS, Ghabashi A, Hawa H, Alothman A, Khaldi A, Al Raiy B. Clinical course and outcomes of critically ill patients with Middle East respiratory syndrome coronavirus infection. Annals of internal medicine. 2014 Mar 18;160(6):389-97.

Diagnosis Middle East Respirator...
Prognosis Middle East Respirator...

Artikel Terkait

  • Efikasi Masker Bedah dan Masker Respirator N95 untuk Mencegah Infeksi Saluran Pernapasan pada Tenaga Medis
    Efikasi Masker Bedah dan Masker Respirator N95 untuk Mencegah Infeksi Saluran Pernapasan pada Tenaga Medis
  • Klorokuin Fosfat dan Remdesivir Sebagai Terapi COVID- 19
    Klorokuin Fosfat dan Remdesivir Sebagai Terapi COVID- 19
  • Opsi Terapi Potensial Untuk COVID-19
    Opsi Terapi Potensial Untuk COVID-19
  • Efektivitas dan Keamanan Plasma Konvalesen sebagai Terapi COVID-19
    Efektivitas dan Keamanan Plasma Konvalesen sebagai Terapi COVID-19
  • Fibrosis Paru Pada Pasien COVID-19
    Fibrosis Paru Pada Pasien COVID-19

Lebih Lanjut

Diskusi Terbaru
Anonymous
1 jam yang lalu
Standar rekam medik pasien
Oleh: Anonymous
2 Balasan
Alo dokter, adakah referensi rekam medis pasien (format yang harus diikuti) untuk praktek dokter umum? Untuk yang rawat jalan. Lalu, apakah perlu lembar...
dr. Lina Ikramina
Kemarin, 10:10
Pasien usia 65 tahun post pemasangan Ring Cardio dengan Demensia Vaskular
Oleh: dr. Lina Ikramina
1 Balasan
Alo dokter, izin bertanya, bagaimanakah tatalaksana yang tepat untuk kasus demensia vaskular, pada pasien usia 65 tahun post pemasangan Ring Cardio, ketika...
Anonymous
Kemarin, 01:01
Pasien laki-laki usia 20 tahun dengan riwayat luka jahitan di wajah bagaimana perawatan lukanya
Oleh: Anonymous
3 Balasan
Alo dokter, saya mendapat pasien laki-laki 20 tahun, kontrol luka jahitan di wajah (pipi) karena kecelakaan. Saat kontrol ini hari ke-6 setelah penjahitan....

Lebih Lanjut

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya, Gratis!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2021 Alomedika.com All Rights Reserved.