Penatalaksanaan Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
Penatalaksanaan MERS terfokus pada pemberian terapi suportif pada pasien dan bersifat multi disiplin. Sampai saat ini antiviral belum terbukti efektif dalam menangani MERS. Sehingga penanganan suportif yang adekuat penting untuk terapi yang baik pada pasien. Terapi mencakup oksigen dan ventilasi , hidrasi, antipiretik, analgesik, serta antibiotik untuk superinfeksi bakteri.
Untuk mencegah penyebaran, pasien yang dicurigai terinfeksi MERS CoV harus dirawat diruang yang terpisah atau ruang isolasi dengan pasien lain agar tidak menginfeksi pasien lainnya. Pasien akan dimonitoring sampai hasil RT PCR terkonfirmasi negatif dan pasien tidak lagi ditemukan tanda infeksi.
Untuk tenaga kesehatan yang merawat pasien curiga MERS dan terdiagnosis MERS. Tenaga kesehatan harus menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari terjangkit infeksi menular MERS.
Selama dalam perawatan, tata laksana yang diberikan mencakup farmakologis dan non farmakologis. Tata laksana tersebut adalah :
Terapi Oksigen dan Ventilasi
Pasien dengan MERS memiliki pneumonia, sehingga sangat mungkin apabila pasien merasa sesak. Penggunaan terapi oksigen dapat dilakukan pada pasien dengan Severe Acute Respiratory Infection (SARI), yang ditandai dengan depresi nafas berat, hipoksemia (SpO2 < 90%). Pemberian oksigen dimulai dari 5 L/menit, lalu di titrasi hingga SpO2 ≥90% pada orang dewasa yang tidak hamil, dan SpO2 ≥92-95% pada ibu hamil.
Pemberian oksigen 10-15 L/menit dengan Nonrebreathing Oxygen Face Mask, dan konsentrasi oksigen yang tinggi dapat dilakukan apabila SpO2 tetap turun walaupun telah diberikan oksigen 5L/menit. Apabila tetap tidak membaik, mungkin dapat terjadi tingginya fraksi shunt intrapulmonary, dapat di intubasi dan menggunakan ventilasi mekanis.
Terdapat 2 buah teknik pemberian ventilasi mekanik, ventilasi non-invasif, yaitu dengan memberikan ventilasi melalui masker dengan support, dan ventilasi invasif melalui penggunaan endotracheal tube atau trakeostomi.
Penggunaan ventilasi non-invasif dapat dilakukan apabila terdapat petugas medis yang terlatih dan harus dilakukan secara dini dan harus dipantau ketat di ICU. Apabila ventilasi non-invasif tidak berhasil, segera lakukan intubasi. [9,25]
Farmakoterapi
Antipiretik
Antipiretik yang digunakan pada pasien dengan MERS tidak dikhususkan. Pemberian paracetamol dengan dosis 500 mg per 8 jam dapat mengurangi keluhan demam pada pasien.
Antibiotik
Pemberian antibiotik empiris dapat dilakukan secepatnya pada pasien dengan pneumonia yang dicurigai infeksi MERS. Antibiotik disesuaikan dengan penyebab dari uji kepekaan antibiotik.[25] Suatu laporan kasus menunjukkan bahwa penggunaan cefotaxime dan levofloxacin selama 3 hari tidak mengurangi keluhan pasien. [32]
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid tidak disarankan karena efek samping steroid, yaitu infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, dan replikasi virus yang berkepanjangan. Hal ini tentunya sangat berbahaya mengingat tingginya angka mortalitas pasien dengan MERS. [25]
Antiviral
Antiviral sebagai terapi MERS sebenarnya masih kontroversial. Masih sedikit penelitian yang menunjukkan efektivitas penggunaan antiviral sebagai manajemen MERS. Bahkan, dalam satu penelitian, ditemukan bahwa penggunaan antivirus memiliki sintasan yang lebih pendek dibanding kontrol pada hari ke-14. Sehingga, pemberian antiviral jenis apapun sebenarnya masih belum direkomendasikan. [33,34]
Hingga saat ini, antiviral yang digunakan adalah ribavirin, biasanya dikombinasikan dengan antibiotik dan oksigen. Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa penggunaan ribavirin meningkatkan efektivitas interferon dalam penanganan MERS, walaupun begitu, hal ini harus diteliti lebih lanjut dengan desain studi yang lebih baik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ribavirin dengan interferon yang digunakan pada awal MERS lebih efektif dibanding beberapa hari setelahnya. [35-37]
Akan tetapi, penggunaan ribavirin dan interferon sendiri juga memiliki efek samping, yaitu anemia hemolitik untuk ribavirin dan disfungsi myeloid untuk interferon. Selain itu, dosis ribavirin dan interferon yang digunakan belum terfiksasi, pemberiannya masih berdasarkan penelitian deskriptif. [38]
Penggunaan antiviral spektrum luas, seperti klorokuin, chlorpromazine, dan toremifin, masih jarang digunakan. Suatu studi menunjukkan chlorpromazine memiliki respon yang baik pada kultur sel. Sedangkan klorokuin dan toremifine memberikan efek sitotoksik, sehingga tidak dapat digunakan sebagai terapi. [4] Selain itu, studi lain menemukan bahwa flavonoid dapat mengurangi efek proteolitik dari MERS CoV. Akan tetapi, penelitian dilakukan secara in vitro dan belum pada tahap hewan maupun manusia. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitasnya pada manusia. [39]
Blokade Neuromuskular
Pada pasien dengan ARDS berat yang terintubasi dan terventilasi, dapat diberikan blokade neuromuskular dalam 48 jam pertama. Hal ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi kemungkinan kelemahan otot yang signifikan. [9] Pemberian dapat dilakukan secara intravena pada pasien dengan PaO2/FiO2 <150. Cisatracurium besylate dapat digunakan dengan dosis 15mg dalam 3mL infus intravena cepat diikuti dengan infus lanjutan 37,5 miligram per jam selama 48 jam. Sebuah penelitian menunjukan bahwa cisatracurium besylate dapat mengurangi mortalitas 90 hari dan meningkatkan hari tanpa ventilator. [40,41]
Vassopresor
Pemberian vasopressor, seperti epinephrine, norepinephrine, dan dopamin dapat dilakukan apabila gejala syok berlanjut, walaupun sudah diberikan resusitasi cairan telah dilakukan. Vasopressor paling baik diberikan melalui kateter vena sentral. Jika vena sentral tidak tersedia, dapat diberikan melalui intravena. Pertimbangkan pemberian hydrocortisone atau prednisolone pada pasien syok persisten dengan vasopressor yang harus ditingkatkan. [9,42]
Vasopressor yang dipilih dalam penanganan syok sepsis adalah norepinephrine, diberikan secara intravena sebanyak 0.2-0.5 mcg/kgBB/menit hingga target tekanan darah sistolik 90 mmHg tercapai. Selain itu, vasopressin, hingga 0.03 unit/menit dapat ditambahkan untuk meningkatkan Mean Arterial Pressure (MAP) dan apabila ingin menurunkan dosis norepinefrin. [9,42]
Dosis hydrocortisone yang dapat digunakan adalah 200 mg perhari secara intravena, sedangkan untuk prednisolone adalah 75mg per hari secara intravena. [9,42]
Terapi Cairan
Terapi cairan pada pasien MERS harus dilakukan dengan hati-hati. Terapi cairan berperan penting pada pasien MERS dengan syok sepsis. Syok sepsis ditandai dengan hipotensi yang menetap setelah challenge cairan atau adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan (konsentrasi laktat dalam darah >4mmol/Liter). [9,25]
Akan tetapi, terapi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan hemodilusi, meningkatnya cardiac filling pressure dan overload cairan. Hal ini dapat menyebabkan edema paru dan meningkatnya waktu penggunaan ventilasi. Pemberian cairan pada pasien hipoksemia harus diperhatikan karena pemberian volume yang berlebihan dapat memperparah shunt, sehingga pasien akan semakin sesak. Sebaiknya, dilakukan fluid challenge sebelum diberikan terapi agar dokter mengetahui apakah pasien tersebut memang membutuhkan dan responsif terhadap cairan atau tidak. [43]
Pemberian cairan yang berlebih dapat diperiksa dengan adanya crackles pada auskultasi, serta edema paru pada foto thoraks. Selain itu, pemeriksaan SpO2 pada pasien dapat dilakukan untuk monitoring pasien yang diberikan terapi cairan. [44,45]
Cairan kristaloid ≥30 mL/kgBB dalam 3 jam pertama diberikan untuk loading cairan, setelah itu tentukan apakah pasien membutuhkan loading selanjutnya atau tidak. Berhasilnya terapi cairan dapat dilihat dari tekanan darah yang normal serta tidak adanya suara abnormal pada auskultasi paru. [9,25]