Klorokuin Fosfat dan Remdesivir Sebagai Terapi COVID- 19

Oleh :
dr. Nathania S. Sutisna

Klorokuin fosfat, obat antimalaria yang telah lama digunakan dan remdesivir ditemukan memberikan efek terapeutik pada penyakit COVID-19 pada awalnya.Namun, penelitian terkini menemukan bahwa kedua golongan obat ini tidak memberikan luaran positif pada pasien dengan COVID-19.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

 

Data yang dilaporkan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga bulan Agustus 2020 terdapat 1.8 juta kasus baru dan 39.000 kematian akibat COVID-19. Total kumulatif kasus COVID-19 sejak awal hingga saat ini terhitung 21.2 juta kasus COVID-19. [1]

Hingga saat ini, belum ada tatalaksana spesifik untuk pengobatan COVID-19 ini. Tatalaksana medis yang diberikan bersifat suportif, antara lain pemberian oksigen suplemental dengan target saturasi oksigen di atas 90%, pemberian cairan secara konservatif bila tidak ada bukti renjatan, dan pemberian antimikroba empirik yang mengikuti pedoman tatalaksana pneumonia komunitas (Community-acquired pneumonia).[2]

Klorokuin

 

Penelitian-penelitian yang ada saat ini banyak ditemukan pada obat-obatan yang diteliti untuk penyakit virus sejenis, seperti SARS-CoV (Severe Acute Respiratory Syndrome-related Coronavirus) dan MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus). Obat-obatan baru telah dicoba sebagai terapi untuk COVID-19 antara lain klorokuin fosfat dan beberapa antivirus seperti salah satunya adalah Remdesivir.

Klorokuin Fosfat sebagai Terapi COVID-19

Klorokuin fosfat dikenal luas sebagai agen antimalaria. Aktivitas antivirus dari klorokuin ditemukan untuk virus Human Immunodeficiency (HIV) dan SARS-CoV. Penelitian in vitro klorokuin sebagai anti retrovirus secara in vitro ditemukan bahwa klorokuin bekerja dengan menghambat glikosilasi dari partikel-partikel virus dan bersifat spesifik terhadap replikasi dari HIV. 

Mekanisme Kerja Klorokuin Fosfat

Peningkatan pH endosomal dan penghambatan glikosilasi juga ditemukan sebagai mekanisme kerja klorokuin dalam menghambat replikasi dari SARS-CoV secara in vitro. Lebih dalam lagi, dengan adanya penghambatan glikosilasi, kemungkinan terjadi adanya interaksi spesifik antara klorokuin dengan glukosiltransferase.[3] ACE2 merupakan komponen dari permukaan SARS-CoV yang memediasi masuknya virus ke sel melalui ikatan dengan protein S (spike). Penghambatan ACE2 merupakan target kerja dari klorokuin.[4]

Asam sialat merupakan salah satu komponen virus yang terkait dengan glikoprotein dan gangliosida. Komponen ini digunakan untuk virus sebagai reseptor untuk masuk ke dalam sel. Virus yang menggunakan komponen ini antara lain virus corona, influenza, parainfluenza, mumps, rota, noro dan virus DNA-tumor.[5] Penghambatan dari biosintesis dari asam sialat merupakan salah satu target kerja klorokuin sebagai antivirus.[3] Secara in vivo, klorokuin juga memiliki dampak untuk memodulasi imun yang bersifat sinergis dengan aksi antivirusnya.[6]

Klorokuin pada penghambatan SARS-CoV pada kultur yang dibuktikan dengan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ditemukan pada fase sebelum infeksi, setelah inisiasi dan infeksi, sehingga memiliki keuntungan klinis sebagai obat profilaktik dan terapeutik.[7] Nilai konsentrasi efektif 90% dari klorokuin untuk 2019-nCoV pada sel Vero E6 adalah 6.90 μM yang ditemukan pada pemberian klorokuin 500 mg pada penderita artritis rheumatoid.[6]

Efektivitas Klorokuin Fosfat untuk COVID-19

Penelitian meta-analisis oleh Kashour et al. menilai efektivitas klorokuin maupun hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19. Sebanyak 7 Randomized Clinical Trials (RCTs) dan 14 studi kohort masuk kedalam kriteria inklusi dan melibatkan sebanyak 20.979 pasien. Studi ini melaporkan bahwa klorokuin maupun hidroksiklorokuin tidak menunjukan perbaikan clearance virus dan tidak menurunkan admisi ke ICU/ventilasi mekanik. [8]

Hal ini ditunjang oleh penelitian terbaru WHO Solidarity Trial menilai terapi yang diberikan pada penyakit COVID-19 di 30 negara. Dari 11.266 sampel, sebanyak 954 pasien mendapatkan hidroksiklorokuin. Pada penelitian ini, hidroksiklorokuin dinilai tidak memberikan keuntungan pada pasien tanpa ventilator maupun dengan ventilator. Pemberian hidroksiklorokuin meningkatkan risiko kematian dibandingkan plasebo (RR=1.19, CI=95%).  [9]

Keamanan Klorokuin Fosfat

Penelitian uji klinis, randomized, double-blinded, phase IIB, yang dilakukan oleh Borba et al. membandingkan klorokuin fosfat dosis tinggi dan rendah pada pasien dengan sindrom pernapasan berat SARS-CoV-2. Sampel adalah pasien usia >18 tahun, dengan frekuensi napas >24x/menit dan/atau frekuensi jantung 125x/menit, dan/atau saturasi oksigen <90%.[10]

Pasien dirandomisasi dan mendapatkan klorokuin fosfat dosis tinggi (2 x 600 mg selama 10 hari, total dosis 12 gram) atau klorokuin fosfat dosis rendah (2 x 450 mg selama 5 hari, total dosis 2.7 gram). 81 sampel dirandomisasi, 40 pasien mendapatkan dosis rendah, dan 41 pasien mendapatkan dosis tinggi. 11 pasien dari 73 (15,1%) memiliki pemanjang QT interval, 8 dari 57(14%) adalah kasus konfirmasi COVID-19.[10]

Pasien dengan pemanjangan QT interval lebih banyak pada populasi klorokuin fosfat dosis tinggi. 2 dari 37 pasien (2,7%) kasus konfirmasi COVID-19, mengalami ventrikel takikardi dengan torsade de pointes pada populasi klorokuin dosis tinggi. Angka kematian dosis tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan dosis rendah (39% vs 15%). Namun, penelitian ini tidak secara khusus menilai toksisitas pada klorokuin. Setiap pasien mendapatkan azithromycin sesuai dengan saran protokol di Cina, ditambah beberapa pasien mendapatkan oseltamivir yang mempunyai efek samping pemanjangan QT interval juga. [10]

Antiviral Sebagai Terapi COVID-19

Antivirus yang pernah diteliti untuk penatalaksanaan virus Corona antara lain Ribavirin (RBV), Lopinavir (LPV)-Ritonavir (RTV), Remdesivir (RDV), Nelfinavir, Arbidol, dan gas nitrit oksida (NO). Antivirus seperti Arbidol, Nelfinavir dan RBV yang dikombinasi dengan interferon beta ditemukan dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat replikasi virus SARS-CoV. Kombinasi LPV-RTV bersama dengan RBV ditemukan dapat memperbaiki hasil luaran dari SARS. Gas NO yang dapat menghambat sintesis protein virus dan RNA (Ribonucleic Acid) ditemukan juga dapat menghambat replikasi dari SARS-CoV.[4] 

Remdesivir

Remdesivir, merupakan salah satu antivirus yang telah diberikan dan menghasilkan luaran positif  yang dicoba pada COVID-19. Remdesivir merupakan antivirus spektrum luas dan merupakan sebuah analog dari adenosin dapat mengintervensi rantai RNA dari virus Corona. Antivirus ini kemungkinan bekerja dengan membuat mutagenesis letal, terminasi rantai obligat atau nonobligat, dan menghambat biosintesis nukleotida. Hasil dari penghambatan replikasi RNA virus ini terjadi secara dose-dependent.[11]

 Remdesivir ditemukan dapat membuat terminasi prematur dari transkripsi RNA pada MERS-CoV, virus Ebola, virus Nipah, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus). Kombinasi RDV dengan interferon-beta ditemukan memiliki efek lebih superior dibandingkan kombinasi LPV dan RTV, dengan lebih banyak menekan aktivitas replikasi dari MERS-CoV.[12] Penelitian Warren menemukan bahwa pemberian remdesivir pada dosis 10 mg per kilogram berat badan ditemukan proteksi 100% terhadap virus Ebola yang merupakan virus RNA sama seperti virus Corona.[14] 

Keamanan Remdesivir Sebagai Terapi COVID-19

Penelitian acak buta ganda, kontrol plasebo, multicentre, dilakukan oleh Wang et al. selama 5 minggu di 10 Rumah Sakit di provinsi Hubei, Cina. 237 sampel masuk kedalam kriteria penelitian. 158 pasien masuk kedalam kelompok remdesivir dan 79 kedalam kelompok plasebo. Pasien pada kelompok perlakukan mendapatkan remdesivir intravena 200 mg pada hari pertama diikuti oleh 100 mg pada hari 2 - 10. Pasien kontrol mendapatkan cairan infus dengan total pemberian selama 10 hari. [14]

Luaran utama dilihat berdasarkan WHO-International Severe Acute Respiratory and Emerging Infection Consortium (ISARIC) dan perbaikan klinis. Walaupun hasil yang didapatkan tidak secara signifikan memberikan manfaat klinis. Namun, waktu untuk perbaikan klinis dan durasi ventilasi mekanik pada pasien kelompok remdesivir lebih pendek 10 hari setelah onset penyakit dibandingkan perawatan standar. Perlu diperhatikan bahwa penelitian ini membutuhkan penelitian yang lebih besar untuk mengetahui faktor keamanan dari obat remdesivir.[14] 

Namun, penelitian WHO Solidarity Trial menyatakan pemberian remdesivir tidak mempengaruhi angka mortalitas, inisiasi ventilasi maupun lama rawat inap. Sebanyak 11.330 pasien, 2750 sampel dialokasikan pada remdesivir. Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan bermakna antara remdesivir dan plasebo dalam rasio kematian (RR= 0.95, 0.81-1.11,p=0.50). Sedangkan waktu perawatan lebih tinggi pada pemberian remdesivir dibandingkan plasebo, dinilai berdasarkan perawatan setelah hari ke-7 (remdesivir vs plasebo 69% vs 59%). [9]

Rekomendasi Perhimpunan Dokter di Indonesia

Di Indonesia sendiri, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) masih menganjurkan pemberian klorokuin fosfat, hidroksi klorokuin, azitromisin, oseltamivir, lopinavir/ritonavir dan favipiravir sebagai terapi COVID-19. Namun, berdasarkan penelitian terbaru saat ini bukti-bukti mengungkapkan tidak ada luaran positif pemberian hidroksiklorokuin bersamaan dengan azithromycin. Selain itu, hingga saat ini tidak ditemukan adanya bukti klinis penggunaan obat antiviral sebagai terapi COVID-19.[15,16]

Saat ini dalam portalnya WHO tidak lagi menganjurkan pemberian hidroksiklorokuin dan lopinavir/ritonavir sebagai terapi COVID-19. [17]

Kesimpulan

Klorokuin fosfat, hidroksi klorokuin dan remdesivir awalnya dipercaya dapat mengobati COVID-19. Namun, penelitian oleh WHO Solidarity Trial pemberian remdesivir maupun hidroksiklorokuin tidak mempengaruhi angka mortalitas, inisiasi ventilasi maupun lama rawat inap. Pernyataan terkini WHO pun menganjurkan untuk menghentikan pemberian hidroksiklorokuin dan lopinavir/ritonavir sebagai terapi COVID-19.

Penelitian acak buta  oleh Borba et al. menunjukkan klorokuin fosfat dosis tinggi  lebih letal dibandingkan klorokuin dosis rendah. Menggunakan klorokuin fosfat bersamaan dengan azitromisin juga perlu diperhatikan oleh karena efek sinergisme dari kedua obat ini, dan juga menambah efek samping pemanjangan QT interval. Sehingga pemberiannya harus dalam monitor ketat, seperti EKG secara berkala.

Hasil berbagai studi terbaru juga menunjukkan bahwa remdesivir tidak bermanfaat sebagai terapi COVID-19.

 

Direvisi oleh: dr. Renate Parlene Marsaulina

Referensi