Edukasi dan Promosi Kesehatan HIV
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV (human immunodeficiency virus) sepatutnya diberikan sejak dini, seiring dengan pemberian pendidikan seksual. Hal ini perlu dimulai sejak masa sekolah sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menghindari perilaku berisiko. Menurut Permenkes No. 21 Tahun 2013 yang mengatur mengenai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, promosi kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan stigma serta diskriminasi.
Upaya edukasi dan promosi kesehatan ini perlu diberikan untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama pada populasi kunci, yakni:
- Pengguna NAPZA suntik
- Pekerja seks (PS) langsung maupun tidak langsung
- Pelanggan/pasangan seks PS
- Homoseksual, waria, Laki pelanggan/pasangan Seks dengan sesama Laki (LSL)
- Warga binaan pemasyarakatan
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui upaya:
- Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia)
- Setia dengan pasangan (be faithful)
- Menggunakan kondom secara konsisten (condom use)
- Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no drug)
- Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati infeksi menular seksual (IMS) sedini mungkin (edukasi)
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan nonseksual, ditujukan untuk mencegah penularan HIV melalui darah, yakni meliputi:
- Uji saring darah pendonor (saringan donor darah)
- Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan nonmedis yang melukai tubuh (dengan penggunaan peralatan steril dan mematuhi standar prosedur operasional, serta memperhatikan kewaspadaan umum (universal precaution)
- Pengurangan dampak buruk pengguna NAPZA suntik
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya:
- Pencegaan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
- Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV
- Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya, dan
- Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya
PITC (Provider-Initiated Counseling and Testing) atau TIPK (Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling) harus dianjurkan sebagai bagian dari standar pelayanan bagi:
- Setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis dan IMS
- Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
- Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi HIV
- Anak-anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi di wilayah epidemi luas, atau anak dengan malnutrisi yang tidak menunjukkan respon yang baik dengan pengobatan nutrisi yang adekuat, dan
- Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV
TIPK sebaiknya terutama diselenggarakan pada:
- Pelayanan IMS
- Pelayanan kesehatan bagi populasi kunci/orang yang berperilaku risiko tinggi
- Fasilitas pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan nifas, dan
- Pelayanan tuberkulosis
Pengobatan dan Perawatan
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan (faskes)/health care facility (HCF) dilarang menolak pengobatan dan perawatan ODHA (Orang hidup Dengan HIV/AIDS), jika memang tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan maka wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain yang mampu atau ke Rumah Sakit rujukan ARV.
Setiap orang terinfeksi HIV wajib mendapatkan konseling pasca diagnosis HIV, diregistrasi secara nasional dan mendapatkan pengobatan.
Pengobatan HIV dilakukan bersamaan dengan penapisan dan terapi infeksi oportunistik, pemberian kondom dan konseling. Pengobatan bertujuan untuk menurunkan sampai jumlah virus (viral load) HIV tidak terdeteksi dalam darah dengan menggunakan kombinasi terapi ARV.
Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan terhadap setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama pekerja seks dan pengguna NAPZA suntik, dapat dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan kualitas hidup untuk menjadi produktif secara ekonomis dan sosial.
Strategi Promosi Kesehatan WHO
Menurut WHO, dari Pertemuan Kesehatan Dunia ke-69, menampilkan “Global Health Sector Strategy on HIV for 2016-2021”, strategi ini meliputi 5 strategi pengearahan yang membimbing aksi prioritas dari berbagai negara dan WHO selama beberapa tahun ke depan:
- Informasi untuk aksi yang terarah (mengetahui epidemik dan respon)
- Intervensi berdampak (melingkupi berbagai pelayanan yang dibutuhkan)
- Menghadirkan hak untuk keadilan (menjangkau berbagai populasi yang membutuhkan pelayanan)
- Pembiayaan yang berkesinambungan (meliputi pendanaan biaya layanan)
- Inovasi untuk laju perubahan (melihat menuju masa depan)
Penggunaan ARV Sebagai Pengobatan Pencegahan
Dari hasil penelitian tahun 2011, ODHA yang memiliki kepatuhan minum ARV secara efektif, maka risiko penularan virus terhadap pasangan yang tidak terinfeksi dapat dikurangi hingga 96%. Untuk itu, rekomendasi WHO untuk inisiasi terapi ARV bagi ODHA sangat bermakna dalam mengurangi transmisi HIV.
Pre-Exposure Prophylaxis
Pre-exposure prophylaxis (PrEP), merupakan pemberian terapi ARV untuk pasangan ODHA yang negatif HIV / pasangan serodiskordan agar tidak terinfeksi HIV, PrEP direkomendasikan WHO sebagai pilihan pencegahan bagi orang yang berisiko terinfeksi HIV, sebagai bagian dari kombinasi pendekatan upaya pencegahan.
Post-exposure Prophylaxis
Post-exposure prophylaxis (PEP), merupakan penggunaan ARV yang dimulai dalam jangka waktu 72 jam terpapar HIV atau perilaku berisiko, sebagai upaya pencegahan infeksi. Layanan PEP umumnya termasuk konseling, penanganan awal, pemeriksaan HIV, dan pemberian terapi ARV selama 28 hari dengan perawatan berkala. WHO merekomendasikan pemberian PEP baik untuk kasus paparan okupasional maupun nonokupasional dan untuk orang dewasa maupun anak-anak.[4,10,11]