Stigma HIV pada Tenaga Kesehatan

Oleh :
dr. Immanuel Natanael Tarigan

Stigma terhadap penderita HIV masih terjadi, bahkan di kalangan tenaga kesehatan. Padahal, stigma tersebut akan berdampak pada penurunan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS, penurunan kepatuhan pengobatan, dan peningkatan perilaku berisiko.

Saat ini, HIV merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di dunia. WHO mencatat secara global terdapat sekitar 37,7 juta penderita HIV pada tahun 2020, 1,5 juta penderita yang baru terinfeksi pada tahun 2020, dan 680.000 orang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Sejak 2010, infeksi HIV baru telah menurun sebesar 31%, di mana 28,2 juta orang mengakses terapi antiretroviral pada 30 Juni 2021.[1]

Stigma HIV pada Tenaga Kesehatan-min

Stigma pada Orang dengan HIV/AIDS

Stigma adalah perilaku dalam hubungan sosial yang ditandai dengan pemberian label, stereotyping, pemisahan, diskriminasi, dan penghilangan status sosial. Stigma pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) memberikan efek negatif pada fisik dan psikologis, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup pasien.[2,3]

Dampak Stigma

Pemberian stigma terhadap ODHA dapat menyebabkan perasaan ditolak dan terasingkan, sehingga ODHA berupaya untuk menutupi status kesehatannya. Akibatnya, ODHA akan menunda mencari pengobatan, memiliki tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah, dan meningkatkan perilaku berisiko.[3,5]

Bentuk Stigma

Beberapa bentuk stigma yang sering direkatkan oleh masyarakat pada ODHA adalah pasien bertanggung jawab penuh akan penyakit yang dideritanya, atau berhak dan layak akan penyakit yang dideritanya. Oleh karenanya, ODHA tidak seharusnya mendapatkan simpati dan pengertian.[4]

ODHA dianggap berbahaya pada orang lain, sehingga tidak berhak mendapatkan pelayanan medis seperti penyakit lainnya dan identitasnya harus diungkapkan untuk mencegah penularan penyakit pada pihak lainnya. Banyak orang yang memutuskan pertemanan, tidak bersedia berbicara, atau bekerja sekantor dengan ODHA. Juga tidak mau mengonsumsi makanan yang disiapkan oleh ODHA, sehingga seringkali ODHA kehilangan pekerjaannya.[4]

Stigma HIV/AIDS oleh Tenaga Kesehatan

Pemberian stigma pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien. Pada tahun 2005, Schuster et al mempublikasikan bahwa ODHA masih mengalami stigma dalam kehidupan sehari-hari, termasuk oleh tenaga kesehatan di negara maju seperti Amerika Serikat. Sekitar 1 dari 4 ODHA mengalami stigma oleh tenaga kesehatan.[6]

Stigma yang sering mereka alami adalah pembiaran (neglected) pasien dan penggunaan alat pelindung diri berlebihan oleh tenaga kesehatan, termasuk penggunaan masker, apron dan sarung tangan ganda. Beberapa bentuk ekstrim yang juga dilaporkan pasien adalah tenaga kesehatan yang menolak bersentuhan, bersalaman, melakukan pemeriksaan fisik,  dan menolak memberikan layanan pengobatan pada pasien, serta tidak memperdulikan kerahasiaan pasien.[6]

Marshall et al, pada tahun 2017 melakukan meta analisis terhadap 5 studi mengenai stigma tenaga kesehatan terhadap ODHA, dan melibatkan hampir 2500 subjek. Hanya 1 dari 5 studi yang melakukan penelitian dari sudut pandang tenaga kesehatan, sedangkan 4 studi lainnya dari sudut pandang ODHA.[7]

Penelitian ini mendapatkan bahwa stigma terhadap ODHA masih banyak terjadi dalam interaksi dokter pasien. Namun, sulit untuk mendapatkan kesimpulan mengenai stigma yang dirasakan pasien karena skala pengukuran yang digunakan masih banyak dan belum terstandar.[7]

Stigma oleh Tenaga Kesehatan di Indonesia

Sebuah penelitian tahun 2014 di Pekanbaru Indonesia mendapati bahwa ODHA masih merasakan stigma saat mendapatkan pelayanan kesehatan. Bentuk stigma yang dialami misalnya menyebutkan HIV dengan nada lantang, pemberian kode pada status pasien, tempat pembuangan sampah yang dibedakan dan diberi label HIV, serta pelayanan yang berbeda.[9]

Bentuk pelayanan yang berbeda adalah perawatan isolasi, di mana pemberian makanan lewat bawah pintu, tidak mengganti sprei, dan petugas yang masuk ruangan menggunakan alat pelindung secara berlebihan. Bahkan terdapat kasus tindakan yang dilakukan tanpa informed consent, yaitu pemeriksaan darah tertentu. Perbedaan perlakuan juga dialami keluarga ODHA yang meninggal, seperti perbedaan biaya pemulasaraan jenazah yang signifikan.[9]

Pada tahun 2021, studi di Yogyakarta dan Belu Indonesia melakukan wawancara mendalam kepada 92 ODHA (52 perempuan, 40 laki-laki) dan 20 petugas kesehatan. Studi menunjukkan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA masih terjadi oleh petugas kesehatan. Bentuk stigma termasuk pelabelan negatif, pemisahan barang pribadi, penghindaran, dan penolakan pengobatan ODHA oleh penyedia layanan kesehatan, keluarga, dan anggota masyarakat.[12]

Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Stigma

Studi di Indonesia menyebutkan bahwa kurangnya pengetahuan tentang HIV, ketakutan tertular HIV, nilai-nilai pribadi, pemikiran agama, dan norma sosial budaya merupakan faktor pendorong dibalik stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS. Penelitian lain menemukan bahwa stigma HIV yang lebih tinggi dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki, serta tingkat pendapatan dan pengetahuan HIV yang lebih rendah. Interaksi disiplin kesehatan dan provinsi juga signifikan.[11,13]

Sedangkan studi pada 422 mahasiswa kedokteran di Cina menunjukkan bahwa skor pengetahuan penularan HIV tidak berkorelasi secara signifikan dengan skor stigma terkait HIV/AIDS.[4]

Faktor yang berperan terhadap stigma yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah agama, ras, lokasi tempat bekerja, dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan. Suatu penelitian di Iran menunjukkan bahwa pengalaman bekerja dengan ODHA sebelumnya, pelatihan atau kursus terkait HIV , dan pengalaman kerja <10 tahun dikaitkan dengan skor stigma yang lebih rendah.[11]

Fasilitas pelayanan kesehatan juga berperan penting melalui pembuatan peraturan tentang pencegahan diskriminasi terhadap ODHA di tempat kerja. Pemberlakuan aturan dan pemberian sanksi kepada pelanggaran dapat menurunkan stigma. Selain itu, bekerja di klinik khusus HIV atau klinik yang memiliki banyak pasien HIV, dan mengetahui adanya profilaksis pasca pajanan secara signifikan menurunkan stigma.[8]

Perspektif Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Pada studi di Yogyakarta dan Belu Indonesia, peserta yang diwawancarai di seluruh rangkaian penelitian menjelaskan bahwa sikap dan perilaku diskriminatif dari anggota keluarga, anggota masyarakat, dan penyedia layanan kesehatan terhadap ODHA sering menyebabkan penyembunyian status HIV dan isolasi diri, sehingga menghambat akses terapi.[12]

“Mereka (ODHA) takut akan stigma dan diskriminasi dari penyedia layanan kesehatan yang tidak mengerti tentang HIV, atau dari masyarakat jika status HIV mereka diketahui. Inilah salah satu alasan mengapa masih ada pasien HIV yang menolak berobat” (HCP1, perawat dan konselor laki-laki, Yogyakarta).[12]

“Salah satu hal yang membuat mereka (ODHA) takut mengakses layanan kesehatan terkait HIV adalah stigma dan diskriminasi dari tenaga kesehatan dan anggota masyarakat. Mereka tidak datang ke klinik HIV karena tidak ingin orang lain mengetahui status mereka. Selain itu, mereka yang mendapat stigma dan diskriminasi dari anggota keluarganya kebanyakan tidak mengakses layanan kesehatan karena tidak didukung oleh anggota keluarganya….” (HCP4, perawat dan konselor pria, Belu).[12]

Temuan dalam studi ini menunjukkan pentingnya pendidikan HIV/AIDS bagi keluarga dan anggota masyarakat, dan penyedia layanan kesehatan untuk menerima ODHA. Diperlukan perbaikan sistem dan pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan ODHA, termasuk peran lembaga pemerintah dan non-pemerintah untuk meningkatkan pemberian pelayanan kesehatan kepada ODHA.[12]

Kesimpulan

Stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS masih banyak dialami bahkan dari tenaga kesehatan tersendiri. Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku memberikan stigma terhadap ODHA oleh tenaga kesehatan adalah agama, ras, lokasi tempat bekerja, dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa pengetahuan tentang penularan HIV tidak berkorelasi secara signifikan dengan skor stigma terkait HIV/AIDS.

Stigma yang diberikan pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien yang akhirnya mempengaruhi proses terapi. Memang petugas kesehatan yang bekerja di klinik khusus HIV memiliki sikap stigma yang lebih rendah, tetapi ODHA lebih sungkan datang berobat ke sana karena takut status kesehatannya diketahui masyarakat.

Diperlukan solusi terhadap masalah stigma dan diskriminasi tenaga kesehatan terhadap ODHA. Solusi yang dapat dilakukan adalah edukasi kepada mahasiswa di bidang kesehatan untuk mengerti mengenai stigma dan faktor yang mempengaruhi, penggunaan universal precautions (alat pelindung diri yang wajar) sudah cukup untuk pasien HIV, petugas kesehatan tidak melanggar hak kerahasiaan pasien, serta tempat pelayanan kesehatan perlu membuat sistem aturan yang mencegah terjadinya diskriminasi terhadap pasien HIV.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi