Profilaksis Prapajanan HIV

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Profilaksis prapajanan HIV atau pre-exposure prophylaxis HIV adalah pemberian obat antiretroviral atau ARV pada pasien HIV-negatif yang berisiko tinggi untuk mencegah infeksi HIV. Pre-exposure prophylaxis HIV atau PrEP merupakan metode yang sudah terbukti untuk mencegah infeksi baru HIV.

Data menunjukkan bahwa sekitar 2.000.000 infeksi baru human immunodeficiency virus (HIV) terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia. Karena vaksin efektif untuk mencegah transmisi HIV belum tersedia, strategi pencegahan yang lain masih diperlukan. Salah satu strategi pencegahan akuisisi HIV adalah pemberian PrEP.[1-9]

prepcomp

Sebelum memulai pemberian PrEP HIV, dokter perlu melakukan sejumlah evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi penilaian risiko substansial terhadap akuisisi HIV, evaluasi eligibilitas klinis untuk inisiasi PrEP, regimen inisiasi PrEP, monitoring, dan penghentian PrEP.[1,2,8-10]

Penilaian Risiko Substansial terhadap Akuisisi HIV

Langkah awal sebelum inisiasi PrEP HIV adalah penilaian risiko akuisisi HIV. Populasi utama yang berisiko tinggi terinfeksi HIV adalah pria yang berhubungan seks dengan sesama pria (men who have sex with men atau MSM), orang heteroseksual yang aktif secara seksual, pengguna obat-obat suntik, pekerja seks komersial, orang transgender, serta tahanan penjara.[1-3,8-10]

Risiko substansial yang semakin meningkatkan kemungkinan akuisisi HIV di populasi tersebut adalah perilaku inkonsisten atau tidak menggunakan kondom saat senggama anal maupun vaginal, pasangan seks HIV-positif (serodiscordant couple), orang yang sering berganti pasangan seks, penggunaan alat suntik bersama, pasangan suntik HIV-positif, dan riwayat infeksi menular seksual bakterial (gonorrhea, klamidiasis, atau sifilis) baru-baru ini.[1-3,8-10]

Semua populasi tersebut di atas yang mempunyai risiko substansial untuk akuisisi HIV direkomendasikan oleh pedoman klinis saat ini untuk mendapat PrEP.[1-3,8-10]

Evaluasi Eligibilitas Klinis Sebelum Inisiasi Profilaksis Prapajanan HIV

Evaluasi eligibilitas klinis sebelum inisiasi PrEP meliputi pemeriksaan status HIV pasien dengan melakukan rapid test anti-HIV atau tes RNA HIV pada pasien yang diduga mengalami HIV dengan gejala akut atau pasien yang mengalami pajanan berisiko tinggi HIV dalam waktu 4 minggu sebelumnya.[1,2,8-10]

Selain itu, lakukan penilaian fungsi ginjal, profil hepatitis B dan hepatitis C, penilaian risiko osteoporosis, dan kemungkinan kehamilan. Kontraindikasi mutlak pemberian PrEP adalah pasien dengan status infeksi HIV positif.[1,2,8-10]

Penilaian fungsi ginjal, profil hepatitis B dan C, risiko osteoporosis, dan kemungkinan kehamilan diperlukan untuk perbandingan benefit-risk tenofovir yang merupakan bagian regimen PrEP. Pasien yang mengalami hepatitis B atau C, gangguan fungsi ginjal, risiko osteoporosis tinggi, atau kehamilan perlu menjalani konseling dengan spesialis terkait sebelum menerima PrEP (case-by-case basis). Estimated glomerular filtration rate (eGFR) hendaknya >60 mL/menit/1,73m2 sebelum memulai tenofovir.[1,2,8-10]

Penilaian kepatuhan pasien dalam menggunakan regimen PrEP juga perlu dilakukan. Hal-hal yang bisa memengaruhi kepatuhan adalah depresi, stigma, atau penggunaan substansi terlarang. Hal-hal tersebut perlu ditangani dengan melibatkan pasien atau keluarga pasien. Jika tidak ditangani dengan baik, hal-hal tersebut dapat menurunkan kepatuhan pasien, sehingga efikasi PrEP tidak tercapai.[1]

Regimen Profilaksis Prapajanan HIV Menurut Pedoman Klinis

Saat ini ada 2 pedoman utama dalam penatalaksanaan PrEP, yakni pedoman Central Disease Control (CDC) di Amerika Serikat dan British HIV association (BHIVA) atau British Association for Sexual Health and HIV (BASHH) di Inggris.[1,2,8-10]

Pedoman CDC

Pedoman CDC merekomendasikan PrEP setiap hari (daily) dengan kombinasi dosis tetap tenofovir disoproxil fumarate (TDF) 300 mg dan emtricitabine (FTC) 200 mg oral sekali sehari untuk populasi MSM, orang heteroseksual yang aktif secara seksual, pengguna obat suntik yang berisiko substansial untuk penularan HIV, serta pasien yang mempunyai pasangan HIV-positif.[1,2,8,9]

Penggunaan PrEP pada remaja belum disarankan karena masih kurangnya bukti yang mendukung efikasi maupun keamanan. Pemberian PrEP secara coitally-timed atau on-demand (non-continuous daily use) tidak direkomendasikan. Tidak ada perbedaan regimen PrEP pada populasi MSM ataupun individu heteroseksual atau pengguna obat suntik.[1,2,8,9]

Pedoman BHIVA/BASHH

Pedoman BHIVA/BASHH merekomendasikan PrEP dengan kombinasi TDF 300 mg dan FTC 200 mg sekali sehari setiap hari atau secara on-demand kepada subjek MSM dengan risiko substansial penularan HIV, pria dan wanita heteroseksual yang aktif secara seksual, orang transgender, dan MSM HIV-negatif yang berusia muda (15–25 tahun). Pemberian tenofovir secara tunggal dapat dilakukan pada orang heteroseksual jika ada kontraindikasi FTC.[1,2,8-10]

Cara pemberian PrEP on-demand adalah dengan memberikan dosis awal 2 tablet kombinasi TDF-ETC sekitar 2–24 jam sebelum senggama, yang diikuti tablet ke-3 dosis tunggal 24 jam kemudian dan tablet ke-4 dosis tunggal 48 jam kemudian. Regimen on-demand PrEP tidak dianjurkan pada individu dengan hepatitis B kronis.[1,2,8-10]

Perbandingan Pedoman CDC dan BHIVA/BASHH

Pedoman saat ini tidak menentukan durasi khusus pemberian PrEP. Selama pasien yang bersangkutan mempunyai atau menjalani kehidupan yang berisiko substansial untuk akuisisi HIV, PrEP hendaknya tetap dilanjutkan.[1,2,8-10]

Tidak ada perbedaan mendasar dalam rekomendasi regimen PrEP dari pihak CDC maupun BHIVA/BASHH pada tiap populasi yang berisiko substansial terhadap akuisisi HIV kecuali pada kasus remaja.[1,2,8-10]

Kedua pedoman tersebut menegaskan bahwa pemberian PrEP pada kasus khusus seperti pasien yang terinfeksi hepatitis B atau C, pasien hamil, atau pasien gagal ginjal harus diputuskan secara case-by-case setelah konsultasi benefit-risk dengan spesialis terkait. Hingga saat ini belum ada rekomendasi regimen alternatif selain tenofovir dan emtricitabine untuk PrEP pada kasus khusus tersebut.[1,2,8-10]

Monitoring Profilaksis Prapajanan HIV

Baik pedoman CDC maupun BHIVA/BASHH merekomendasikan agar monitoring PrEP dilakukan secara berkala setiap 3 bulan. Langkah-langkah pada tahap ini adalah tes antigen atau antibodi HIV, penilaian simtom akut HIV, dan penilaian kepatuhan pasien dalam menggunakan regimen PrEP.[1,2,8-10]

Selain itu, dokter juga perlu memantau ada tidaknya efek samping obat, yakni dengan melakukan tes fungsi ginjal dan penilaian osteoporosis dengan DEXA scan atau FRAX tool. Tes kehamilan dan pemeriksaan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan sesuai indikasi.[1,2,8-10]

Rekomendasi Penghentian Profilaksis Prapajanan HIV

Baik pedoman CDC maupun BHIVA/BASHH merekomendasikan penghentian PrEP jika pasien yang bersangkutan telah dipastikan positif HIV. Terjadinya infeksi hepatitis B atau C, kepatuhan berobat pasien yang suboptimal, dan insufisiensi ginjal merupakan kontraindikasi relatif pemberian PrEP lebih lanjut.[1,2,8-10]

Pasien dengan kondisi khusus tersebut perlu berkonsultasi dengan spesialis terkait mengenai regimen PrEP untuk pertimbangan benefit-risk, termasuk penyesuaian dosis obat jika perlu. Kemungkinan hepatitis B perlu disingkirkan terlebih dahulu sebelum menghentikan PrEP (TD-FTC) pada pasien tanpa vaccine-induced immunity. PrEP bisa dilanjutkan pada pasien yang hamil tetapi dengan pertimbangan risk-benefit yang ketat dan pengawasan spesialis obstetri.[1,2,8-10]

Penerapan Profilaksis Prapajanan HIV di Indonesia

Tenofovir dan emtricitabine generik tunggal maupun kombinasi tenofovir/emtricitabine paten sudah tersedia di Indonesia melalui resep dokter. Oleh karena itu, strategi PrEP sudah dapat diterapkan pada pasien-pasien yang termasuk dalam populasi berisiko substansial infeksi HIV. Strategi PrEP hendaknya disosialisasikan dengan luas agar penularan HIV bisa ditekan semaksimal mungkin.

Kesimpulan

Profilaksis prapajanan HIV atau atau pre-exposure prophylaxis (PrEP) HIV dilakukan sebagai strategi pencegahan transmisi HIV pada populasi yang berisiko tinggi. Namun, pemberiannya harus disertai pengawasan. Sebelum memberikan PrEP, dokter harus menentukan risiko substansial infeksi HIV, evaluasi eligibilitas klinis untuk inisiasi PrEP, regimen inisiasi PrEP,  strategi monitoring, dan strategi penghentian PrEP.

Penilaian risiko dilakukan untuk mengetahui populasi yang disarankan mendapatkan PrEP, misalnya pria yang berhubungan seks dengan sesama pria (men who have sex with men atau MSM), pengguna obat suntik, pekerja seks komersial, orang transgender, tahanan penjara, dan orang heteroseksual yang aktif secara seksual.

Setelah penilaian risiko, lakukan evaluasi eligibilitas klinis. Evaluasi ini meliputi tes status HIV dengan rapid test anti-HIV dan tes RNA HIV pada pasien bergejala akut dan pasien yang mengalami pajanan berisiko tinggi HIV dalam waktu 4 minggu. Selain itu, nilai juga fungsi ginjal, profil hepatitis B dan C, risiko osteoporosis, dan kemungkinan kehamilan untuk pertimbangan benefit-risk obat.

CDC menganjurkan tenofovir disoproxil fumarate (TDF) dan emtricitabine (FTC) agar diberikan sekali setiap hari pada populasi berisiko. Namun, CDC tidak menganjurkan pemberian pada remaja. CDC juga tidak menganjurkan pemberian secara coitally-timed atau secara on-demand. Rekomendasi BHIVA/BASHH sedikit berbeda. BHIVA/BASHH menyatakan bahwa kombinasi TDF dan FTC bisa diberikan sekali setiap hari maupun diberikan secara on-demand.

Monitoring perlu dilakukan berkala setiap 3 bulan untuk menentukan status HIV pasien, menilai kepatuhan berobat pasien, dan memeriksa efek samping obat. Berdasarkan CDC dan BHIVA/BASHH, penghentian obat PrEP dilakukan jika pasien terbukti positif terinfeksi HIV.

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi