Diagnosis Dry Eye Syndrome
Belum ada pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis dry eye syndrome (DES). Diagnosis dry eye syndrome didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti, serta beberapa pemeriksaan penunjang seperti tes Schimmer, pengukuran tear film break-up time, tes matrix mettaloproteinase-9 (MMP-9), dan pemeriksaan serum biomarker. [11]
Anamnesis
Keluhan yang dapat diperoleh pada anamnesis pasien dengan dry eye syndrome antara lain rasa terbakar, gatal, mata perih, mata berair, sensasi benda asing pada mata, sering berkedip, mata merah, penglihatan kabur, fotofobia, nyeri pada mata, mata terasa berat, dan sakit kepala. Keluhan tersebut umumnya cenderung memberat setelah penggunaan mata berlebih atau adanya paparan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (misalnya udara kering). [4,16]
Pada anamnesis juga harus menanyakan riwayat pengobatan pasien baik pengobatan sistemik maupun topikal mata. Riwayat penyakit seperti rheumatoid arthritis dan hipertiroid juga perlu ditanyakan. Riwayat tindakan pembedahan mata seperti bedah refraktif kornea juga perlu ditanyakan pada anamnesis. [2,10]
Beberapa kuesioner dapat digunakan untuk membantu anamnesis dry eye syndrome, yakni Ocular Surface Disease Index (OSDI), System for Patient Evaluation of Eye Dryness (SPEED), Symptom Assessment in Dry Eye (SANDE), dan The Dry Eye Questionnaire. [3,10]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik oftalmologi menggunakan slit lamp dapat membantu menemukan tanda klinis pada pasien dry eye syndrome. Pemeriksaan meliputi bagian bulu mata, palpebra (lakukan eversi), segmen anterior mata, meniskus air mata, kelenjar Meibom, serta staining kornea dan konjungtiva. Pemeriksa juga perlu mengamati frekuensi berkedip pasien dan apakah penutupan palpebra komplit atau tidak.[4,14]
Tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain injeksi konjungtiva, erosi epitel kornea pungtata, dan berkurangnya meniskus air mata bagian bawah (<0,25 mm). [4]
Pada dry eye syndrome akibat meibomian gland dysfunction (MGD) dapat ditemukan penebalan margin palpebra dan telangiektasis. Pada pemeriksaan oftalmologi perlu dilakukan evaluasi palpebra, ada atau tidaknya kelainan seperti entropion, ektropion, atau penutupan palpebra yang tidak adekuat. Pemeriksaan margin palpebra, bulu mata, dan muara kelenjar meibom menggunakan slit lamp diperlukan untuk mengevaluasi kelainan yang dapat menyebabkan dry eye syndrome. Obstruksi muara kelenjar meibom ditandai dengan adanya sekresi padat keruh atau granular saat palpebra ditekan. MGD akibat inflamasi ditandai dengan blefaritis atau meibomitis. [11]
Ditemukannya temporal lid-parallel conjunctival folds (LIPCOF) merupakan indikator dry eye syndrome. LIPCOF timbul akibat gesekan antara palpebra dengan konjungtiva. Pada dry eye syndrome derajat yang lebih berat, dapat ditemukan komplikasi pada kornea berupa ulserasi dan bahkan perforasi kornea. Pemeriksaan visus pada dry eye syndrome akan mengalami penurunan bila terdapat komplikasi pada kornea. [11]
Staining Epitel
Staining epitel dapat dilakukan menggunakan slit lamp dan penetesan pewarna seperti fluoresen, lissamine green, atau rose bengal. Fluoresen mengumpul di daerah epitel yang mengalami erosi, umumnya lebih mewarnai bagian kornea dibandingkan konjungtiva. Staining menggunakan lissamine green dan rose bengal dapat digunakan untuk mendeteksi dry eye derajat ringan, dan memberikan pewarnaan lebih banyak pada konjungtiva. Baik lissamine green maupun rose bengal keduanya dapat mewarnai epitel yang sehat yang tidak tertutupi lapisan mucin. Staining menggunakan lissamine green tidak menimbulkan rasa nyeri dan toksisitas pada kornea seperti pada penggunaan rose bengal. [4,9-11]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dry eye syndrome adalah konjungtivitis, blefaritis, dan keratitis.
Konjungtivitis
Konjungtivitis juga dapat mempengaruhi lapisan air mata dan permukaan mata. Konjungtivitis dapat memberikan gejala klinis yang mirip dengan dry eye syndrome. Keluhan utama mata merah, berair, sensasi benda asing dapat juga dikeluhkan oleh pasien dengan konjungtivitis.
Konjungtivitis viral dan bakterial adalah penyakit yang dapat menular, sehingga pada anamnesis mungkin didapatkan riwayat anggota keluar lain atau teman kerja/ sekolah yang menderita keluhan yang sama.
Pada konjungtivitis injeksi konjungtiva biasanya lebih mencolok, dapat disertai pengeluaran sekret mata berlebih hingga menyebabkan kelopak mata sulit dibuka. Pasien juga sering datang dengan edema palpebra.
Pada konjungtivitis alergi, gejala yang dominan adalah rasa gatal pada mata. Gejala alergi lain dapat muncul seperti hidung berair, manifestasi alergi pada kulit, dan biasanya bersifat seasonal atau ada faktor pemicunya.
Blefaritis
Blefaritis memiliki keluhan pada mata hampir mirip dengan dry eye syndrome, ditambah dengan adanya kerak pada bulu mata dan margin palpebra. Blefaritis umumnya bersifat kronis dengan eksaserbasi intermiten. Blefaritis dapat disertai dengan kelainan lain seperti dermatitis seboroik atau rosacea. Blefaritis dapat ditemukan juga pada kasus dry eye syndrome dan menjadi salah satu penyakit yang berhubungan dengan dry eye syndrome.
Pemeriksaan mikroskop pada sampel bulu mata dapat menunjukkan manifestasi demodex. Kultur sampel margin palpebra diperlukan bagi kondisi blefaritis dengan inflamasi yang berat atau yang tidak memberikan respon terhadap terapi.
Keratitis
Keratitis akibat infeksi bakterial atau fungal dapat terjadi bila ada gangguan pada integritas kornea. Faktor risiko keratitis adalah penggunaan lensa kontak, trauma mata, penggunaan tetes mata yang terkontaminasi, serta kondisi dry eye itu sendiri. Keratitis dapat disertai dengan perubahan pada lapisan kornea yang lebih dalam seperti edema pada stroma, Descemet's fold, dan pembentukan hipopion. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah sekret mata mukopurulen. Pemeriksaan apusan sampel kornea dengan pewarnaan Gram atau KOH dapat mengkonfirmasi ada tidaknya mikroorganisme.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang mudah dilakukan pada praktik klinis adalah tes Schirmer, tear film break-up time, pemeriksaan matrix metalloproteinase-9 (MMP-9), tes ferning, tes osmolaritas air mata, dan pemeriksaan serum biomarker. [3]
Tes Schirmer
Tes Schirmer berguna untuk mengukur sekresi kelenjar lakrimal. Kertas filter khusus diselipkan pada kantung konjungtiva di sepertiga temporal palpebra inferior. Pasien kemudian diminta menutup mata selama 5 menit. Hasil Schirmer ≤10 mm/5 menit menunjukkan adanya kelainan sekresi. [4,11]
Tes Schirmer I dan II tidak menggunakan anestesi topikal. Tes Schirmer I mengukur air mata basal dan dari reflex tearing. Tes Schirmer II dilakukan dengan memberikan iritasi pada mukosa nasal menggunakan ujung kapas. Hasil yang <15 mm setelah 5 menit berkaitan dengan refleks sekresi nasal-lakrimal yang abnormal. Hal ini dapat ditemukan pada kondisi dry eye Sjogren syndrome. [4,9-11]
Tear Film Break-up Time
Pengukuran tear film break-up time (TBUT) dapat memberikan gambaran stabilitas lapisan air mata. Pemeriksaan dilakukan dengan meneteskan fluoresen pada mata kemudian diamati menggunakan filter cobalt blue pada slit lamp. Batas normal TBUT adalah 20-30 detik. Nilai pengukuran ≤10 detik menunjukkan adanya kelainan stabilitas air mata. Pengukuran ini juga dapat dilakukan menggunakan videokeratography tanpa menggunakan fluoresen. [4,9-11]
Tes Matrix Metalloproteinase-9
Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) yang meningkat pada tes berkaitan dengan dry eye syndrome. Pada dry eye syndrome, terjadi upregulation MMP-9 untuk pemeliharaan epitel. [4,10]
Tes Ferning
Tes ferning merupakan salah satu tes yang tidak invasif serta mudah untuk dilakukan. Tes ini dapat digunakan untuk menilai kualitas serta stabilitas lapisan air mata. Sampel air mata diambil dan diletakkan pada kaca objek, kemudian diamati di bawah mikroskop. Air mata yang normal akan memberikan gambaran kristal berbentuk daun pakis (ferns). Tes ini tidak umum untuk mendiagnosis dry eye syndrome karena keterbatasan penelitian mengenai validitas dan korelasinya dengan gejala dry eye syndrome. [15]
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang lain seperti osmolaritas air mata, interferometri air mata, dan pemeriksaan autoantibodi Sjogren pada serum dilakukan menggunakan alat bantu pemeriksaan yang berbeda-beda. Peningkatan osmolaritas >308 mOsm/L menandakan adanya dry eye syndrome. Pemeriksaan interferometri dapat menentukan kualitas dan ketebalan lapisan lemak air mata. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk dry eye evaporatif misalnya yang disebabkan oleh meibomian gland dysfunction (MGD). [4]
Pasien yang memiliki gejala Sjogren syndrome dengan dry eye syndrome memerlukan pemeriksaan biomarker serologis yakni autoantibodi serum. Deteksi SS-A (anti Ro) dan SS-B (anti La) dapat menegakkan diagnosis Sjogren syndrome. [4,14]
Tabel 1. Derajat Keparahan Dry Eye Syndrome
Gejala dan Hasil Pemeriksaan | Derajat 1 | Derajat 2 | Derajat 3 | Derajat 4 |
Rasa tidak nyaman, tingkat keparahan gejala, frekuensi | Ringan dan atau episodik; terjadi bila ada stres dari lingkungan | Episodik sedang atau kronis; dengan atau tanpa stres | Sering dengan gejala berat atau konstan tanpa stres | Berat dan atau sangat mengganggu aktivitas dan konstan |
Gejala penglihatan | Tidak ada atau kelelahan mata episodik | Mengganggu dan atau kadang membatasi aktivitas | Mengganggu, kronis, dan atau konstan; membatasi aktivitas | Konstan dan atau menimbulkan disabilitas |
Injeksi konjungtiva | Tidak ada – ringan | Tidak ada – ringan | +/- | ++ |
Corneal staining | Tidak ada – ringan | Bervariasi | Sentral | N/A |
Tanda pada kornea/air mata | Tidak ada – ringan | Debris ringan, penurunan meniskus | Peningkatan debris air mata, keratitis filamen, penggumpalan mukus | Sama seperti derajat 3, ulserasi |
Kelenjar meibom/palpebra | MGD +/- | MGD +/- | MGD + | Trikiasis, keratinisasi, simblefaron |
Tear film break-up time | Bervariasi | ≤10 detik | ≤5 detik | Segera |
Skor Schimmer | Bervariasi | ≤10 mm/5 menit | ≤5 mm/5 menit | ≤2 mm/5 menit |