Penatalaksanaan Supraventricular Tachycardia
Penatalaksanaan supraventricular tachycardia dimulai dengan tata laksana akut yang bertujuan untuk mengatasi kegawatan hemodinamik dengan mengontrol ventricular rate, mengatasi aritmia dengan kardioversi, serta mengatasi gejala pasien. Tata laksana lanjutan berupa terapi definitif atau pengobatan rumatan yang disesuaikan dengan jenis supraventricular tachycardia dan penyebabnya. Selain itu, dokter juga harus mencegah terjadinya komplikasi tromboemboli pada pasien yang berisiko mengalami emboli.[1,5]
Tata Laksana Akut
Tata laksana akut dilakukan di ruang emergensi pada pasien dengan gejala klinis supraventricular tachycardia. Tenaga medis sebaiknya segera memeriksa jalan nafas, fungsi pernafasan, dan fungsi sirkulasi pasien (disesuaikan dengan kondisi pasien) serta tanda vital pasien dan selanjutnya melakukan pemeriksaan EKG 12 lead jika memungkinkan untuk membedakan tipe takiaritmia yang terjadi pada pasien. Pasien dengan supraventricular tachycardia biasanya menunjukkan hasil EKG adanya takikardia dengan gelombang QRS yang tidak lebar (<120 ms). Namun jika gelombang QRS lebar (>120 ms) maka harus dipastikan dan dibedakan antara ventricular tachycardia (VT) dan supraventricular tachycardia (SVT) dengan konduksi aberans, atau kondisi pre eksitasi.[1,5]
Algoritma Brugada untuk Membedakan SVT Aberans dengan VT
SVT aberans dapat dibedakan dengan VT dengan menggunakan algoritma Brugada:
- Apakah kompleks RS tidak ditemukan pada semua lead prekordial? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 2
- Interval RS>100 milidetik pada salah satu lead prekordial? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 3
- Apakah terdapat disosiasi AV? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan No. 4
- Apakah kriteria morfologi ditemukan pada lead prekordial V1-2 dan V6 ? Jika ya, maka gelombang merupakan ventricular tachycardia (VT). Jika tidak, maka gelombang merupakan SVT aberans[11]
Rekomendasi Tata Laksana Akut
Beberapa rekomendasi tata laksana akut pada supraventricular tachycardia menurut pedoman American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) tahun 2015 :
- Manuver vagal dan pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien dengan supraventricular tachycardia reguler
- Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil ketika manuver vagal dan pemberian adenosin tidak efektif atau tidak memungkinkan
- Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil serta terapi farmakologi tidak efektif atau tidak memungkinkan
- Pemberian calcium channel blocker intravena seperti diltiazem dan verapamil atau beta blocker intravena seperti metoprolol dan esmolol, dapat diberikan pada pasien dengan hemodinamik stabil[1,3]
Tata Laksana Lanjutan
Tata laksana lanjutan pada supraventricular tachycardia bertujuan untuk memberikan terapi definitif serta pengobatan rumatan pada pasien yang telah stabil atau yang memang memerlukan terapi definitif. Beberapa pilihan tata laksana lanjutan untuk supraventricular tachycardia adalah:
- terapi farmakologi
- ablasi
- observasi pasien
Pemilihan terapi lanjutan didasarkan pada frekuensi dan durasi terjadinya supraventricular tachycardia, gejala klinis yang terjadi sebelumnya, dan konsekuensi supraventricular tachycardia, seperti kardiomiopati.[1,3]
Terapi Farmakologi
Pada supraventricular tachycardia yang jarang terjadi tetapi dengan durasi yang lama (di atas satu jam), dokter dapat memberikan calcium channel blocker nondihidropridine, beta blocker, atau obat antiaritmia lainnya, yang diberikan bila perlu. Namun, bila supraventricular tachycardia memiliki frekuensi yang lebih sering, obat antiaritmia dapat diberikan secara teratur.
Ablasi Kateter
Terapi definitif utama untuk supraventricular tachycardia adalah ablasi kateter, yang biasanya dilakukan pada pasien dengan focal atrial tachycardia. Hal ini karena kondisi tersebut memiliki titik sumber eksitasi abnormal yang jelas sehingga ablasi dapat dilakukan pada titik tersebut untuk mengembalikan eksitasi yang normal.[1,3]
Medikamentosa
Pilihan medikamentosa untuk supraventricular tachycardia adalah adenosin, calcium channel blocker, beta blocker, atau obat antiaritmia lainnya.
Adenosin Intravena
Pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien supraventricular tachycardia reguler dengan hemodinamik stabil. Pemberian adenosin dilakukan dengan cara memasukkan 6 mg adenosin secara bolus intravena, melalui vena yang sedekat mungkin dengan jantung (biasanya vena brakialis). Kemudian dilakukan flushing vena dengan cairan salin normal diikuti dengan meminta pasien mengangkat tangan. Pasien dapat diminta untuk batuk ketika obat sampai di jantung, ditandai dengan adanya rasa panas pada dada pasien. Jika pasien tidak menunjukkan respons terhadap pemberian awal, maka dapat diberikan kembali 1-2 menit kemudian dengan dosis 12 mg, maksimal 2 kali pengulangan.[1]
Calcium Channel Blocker Nondihidropiridin
Terdapat dua obat dalam kelas ini, antara lain :
- Diltiazem: dosis awal 0,25 mg/kg intravena bolus, diberikan selama 2 menit; dosis rumatan 5-10 mg/jam hingga 15 mg/jam melalui infus
- Verapamil: dosis awal 5-10 mg (0,075-0,15 mg/kg) intravena bolus selama 2 menit, jika tidak ada respon pasien maka tambahkan 10 mg pada 30 menit setelah pemberian awal; dosis rumatan 0,005 mg/kgBB/menit[1,3]
Beta Blocker
Beta blocker dapat diberikan jika kedua obat sebelumnya tidak efektif atau tidak menungkinkan untuk diberikan, beberapa beta blocker yang biasanya digunakan :
- Esmolol: dosis awal 500 mcg/kg intravena bolus selama 1 menit; dosis rumatan 50-300 mcg/kg/menit melalui infus
- Metoprolol tartrate: dosis awal 2,5-5 mg intravena bolus selama 2 menit, dapat diulangi 2,5-5 mg intravena bolus dalam 10 menit, maksimal pemberian 3 dosis
Propranolol: dosis awal 1 mg intravena selama 1 menit, dapat diulangi 1 mg intravena dalam interval 2 menit, maksimal pemberian 3 dosis[1,3]
Obat Antiaritmia Lainnya
Obat lain yang dapat diberikan, antara lain :
Digoxin: dosis awal 0,25-0,5 mg, dapat diulangi 0,25 mg. Dosis awal dapat diberikan secara oral atau intravena, dosis maksimal 1 mg/24 jam, dosis awal maksimal 8-12 mcg/kgBB
Amiodarone: dosis awal 150 mg intravena selama 10 menit; dosis rumatan 1 mg/menit (360 mg) selama 6 jam selanjutnya, kemudian 0,5 mg/menit (540 mg) pada 18 jam berikutnya[1,3]