Masuk atau Daftar

Alo! Masuk dan jelajahi informasi kesehatan terkini dan terlengkap sesuai kebutuhanmu di sini!
atau dengan
Facebook
Masuk dengan Email
Masukkan Kode Verifikasi
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan melalui SMS ke nomor
Kami telah mengirim kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Kami telah mengirim ulang kode verifikasi. Masukkan kode tersebut untuk verifikasi
Terjadi kendala saat memproses permintaan Anda. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Selanjutnya

Tidak mendapatkan kode? Kirim ulang atau Ubah Nomor Ponsel

Mohon Tunggu dalam Detik untuk kirim ulang

Nomor Ponsel Sudah Terdaftar

Nomor yang Anda masukkan sudah terdaftar. Silakan masuk menggunakan nomor [[phoneNumber]]

Masuk dengan Email

Silakan masukkan email Anda untuk akses Alomedika.
Lupa kata sandi ?

Masuk dengan Email

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk akses Alomedika.

Masuk dengan Facebook

Silakan masukkan nomor ponsel Anda untuk verifikasi akun Alomedika.

KHUSUS UNTUK DOKTER

Logout
Masuk
Download Aplikasi
  • CME
  • Webinar
  • E-Course
  • SKP
  • Diskusi Dokter
  • Penyakit & Obat
    Penyakit A-Z Obat A-Z Tindakan Medis A-Z
Diagnosis Botulisme general_alomedika 2022-11-28T23:09:26+07:00 2022-11-28T23:09:26+07:00
Botulisme
  • Pendahuluan
  • Patofisiologi
  • Etiologi
  • Epidemiologi
  • Diagnosis
  • Penatalaksanaan
  • Prognosis
  • Edukasi dan Promosi Kesehatan

Diagnosis Botulisme

Oleh :
dr. Giovanni Gilberta
Share To Social Media:

Penegakan diagnosis botulisme dapat diidentifikasi dari paralisis neuromuskular yang bersifat descending, bilateral dan simetris, klinis afebril, serta temuan toksin botulinum dan C. botulinum pada kultur.[15]

Anamnesis

Onset dan progresi gejala botulisme penting untuk digali saat anamnesis penderita yang diduga menderita botulisme. Penderita biasanya datang dengan keluhan paralisis neuromuskular yang bersifat mendadak dan memburuk dalam beberapa hari. Paralisis bersifat descending dan simetris, dimulai dari otot leher, otot respirasi, hingga ke tungkai.[3,8]

Penderita juga biasa mengeluhkan keluhan neurologis lain, seperti gangguan penglihatan, sulit menelan, dan gangguan berbicara atau berbicara pelo, akibat terganggunya saraf kranial.

Pada beberapa kasus, terutama botulisme tipe foodborne, pasien biasa mengalami gejala gastrointestinal sebelum manifestasi paralisis. Gejala yang sering dialami, antara lain nyeri perut, mual, dan muntah. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya sesak atau gangguan pernapasan. Pada kasus botulisme jenis infant, gejala diawali dengan konstipasi yang diikuti dengan letargi, penurunan nafsu makan, dan penurunan aktivitas spontan.[1,5]

Anamnesis juga ditujukan untuk mengetahui sumber transmisi penyakit dengan menanyakan riwayat konsumsi makanan, kebiasaan buang air besar, riwayat trauma, dan penggunaan obat–obatan terlarang. Gejala botulisme terkait konsumsi makanan umumnya terjadi dalam 12–36 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Pada botulisme yang ditransmisikan lewat luka, masa inkubasi penyakit adalah 4–14 hari.[3,6,24]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita botulisme akan menunjukkan adanya afebril serta paralisis pada otot-otot tubuh, seperti otot leher, tungkai, dan pernapasan, yang bersifat descending, bilateral, dan simetris. Kelemahan pada ekstremitas biasanya dimulai dari proksimal ke arah distal. Kelemahan motorik tidak diikuti oleh gangguan pada sensorik dan tanpa disertai demam.[3,6,8,23,24]

Botulisme ditandai dengan adanya gangguan pada saraf kranial, kecuali saraf kranial 1 dan 2, yang juga bersifat simetris. Gangguan saraf kranial dapat ditemukan dengan pemeriksaan nervus kranialis dan ditandai dengan gejala sebagai berikut:

  • Ptosis, gangguan penglihatan, diplopia, penurunan refleks kornea
  • Disfagia
  • Kelemahan otot wajah
  • Gangguan berbicara atau disartria
  • Penurunan refleks menelan[3,6,8]

Penderita botulisme juga menunjukkan gangguan saraf otonom yang ditunjukkan oleh pemeriksaan fisik, yaitu dilatasi gaster dan vesika urinaria, ileus, hipotensi ortostatik, berkurangnya lakrimasi, serta berkurangnya salivasi. Pada bayi, gangguan saraf otonom yang sudah lanjut ditunjukkan dengan penurunan variabilitas denyut jantung. Pemeriksaan refleks tendon juga dapat menunjukkan penurunan.

Pada botulisme lanjut, penderita akan mengalami kelemahan otot napas yang bersifat progresif yang dapat berujung pada gangguan pernapasan dan kematian. Sebanyak 29,8% penderita membutuhkan ventilasi mekanik untuk membantu bernapas.[5,6,8]

Diagnosis Banding

Diagnosis banding botulisme adalah penyakit dengan paralisis general, seperti myasthenia gravis, Guillain-Barré syndrome, dan sindrom Lambert-Eaton. Botulisme harus dipertimbangkan pada pasien dengan paralisis descending tanpa gangguan sensorik, afebril, dan tanpa gangguan status mental.[15,16]

Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis adalah suatu kondisi autoimun yang yang menyerang reseptor asetilkolin di neuromuscular junction (NMJ). Penyakit ini ditandai dengan adanya kelemahan dan paralisis flaksid, manifestasi yang juga dijumpai pada botulisme. Akan tetapi, gambaran paralisis atau kelelahan otot pada miastenia gravis biasa terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas otot.

Eksklusi penyakit miastenia gravis dari penyakit botulisme dilakukan pula dengan uji Tensilon (edrofonium). Penderita miastenia gravis akan mengalami perbaikan gejala kelemahan otot pasca pemberian edrofonium pada uji tersebut.[3,16,17]

Guillain-Barré Syndrome

Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan kondisi demielinasi dan kerusakan akson yang disebabkan oleh autoimun dan didahului oleh infeksi Campylobacter jejuni. Pada beberapa kasus, kondisi botulisme sering salah didiagnosis sebagai GBS karena memberikan manifestasi klinis yang serupa, yaitu paralisis flaksid.

Kondisi GBS dibedakan dengan botulisme melalui karakteristik manifestasi klinis berupa kelemahan anggota tubuh yang diawali pada daerah lengan dan tungkai bawah yang bersifat ascending. Progresi kelemahan dapat berlangsung hingga 6 minggu setelah onset gejala. Selain disertai dengan gangguan pada sistem otonom dan bersifat simetris, kondisi GBS juga mempengaruhi fungsi sensorik.[16,18]

Sindrom Lambert-Eaton

Sindrom Lambert-Eaton ditandai dengan adanya kelemahan proksimal dan disfungsi sistem otonom akibat antibodi yang menyerang kanal kalsium tipe P/Q. Sindrom ini berbeda dengan botulisme karena kelemahan terjadi dari kaudal ke arah kranial dan dari proksimal menuju distal hingga akhirnya mencapai regio okulobulbar. Kondisi ini sering dikaitkan dengan karsinoma paru tipe small cell.

Selain klinis, penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan penunjang spesifik berupa deteksi antibodi voltage-gated calcium channels (VGCC) dan SOX1. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) akan menunjukkan trias berupa rendahnya amplitudo compound muscle action potential (CMAP) saat istirahat, penurunan respons pada stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation/RNS) derajat rendah, dan peningkatan respons terhadap stimulasi derajat tinggi atau setelah latihan singkat.[6,19]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada kasus botulisme umumnya dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis dan mengeksklusi diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan, antara lain pemeriksaan toksin, kultur, dan elektromiografi.

Pemeriksaan Toksin

Deteksi toksin botulinum digunakan untuk mengonfirmasi temuan klinis yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, temuan toksin dapat memberikan prognosis terkait keparahan penyakit.

Spesimen pemeriksaan biasanya didapatkan dari tinja, aspirat lambung, muntahan, serum, eksudat luka, maupun sumber makanan yang diduga mengandung toksin. Toksin dideteksi melalui metode mouse neutralization assay dan spesimen harus didinginkan terlebih dahulu.[3,6]

Kultur

Serupa dengan pemeriksaan toksin, kultur juga dapat dilakukan untuk mengonfirmasi keberadaan C.botulinum. Bakteri tersebut bukan merupakan flora normal yang ada pada manusia sehingga penemuan bakteri dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis botulisme.

Meskipun bisa didapatkan dari beberapa sumber, namun tinja, enema, dan aspirat lambung lebih disarankan untuk pengambilan spesimen. Berbeda dengan sampel untuk pemeriksaan toksin, spesimen untuk kultur tidak boleh didinginkan. Bakteri  C.botulinum dapat ditemukan di kultur tinja pada 70% kasus dan dapat bertahan hingga 5 bulan pada penderita botulisme tipe infant.[3,6]

Elektromiografi (EMG)

Pemeriksaan EMG dapat digunakan untuk mengeksklusi kasus yang menyerupai botulisme, seperti GBS atau diferensial diagnosis lainnya. Pemeriksaan menunjukkan adanya voltase rendah pada satuan motorik, amplitudo rendah gelombang M, dan potensial aksi yang berlebih.

Namun, kekurangannya, temuan pemeriksaan EMG tersebut tidak dapat ditemukan pada botulisme tipe infant. Selain itu, EMG dapat menimbulkan rasa nyeri selama pemeriksaan.[3,6]

Analisis Gas Darah

Salah satu komplikasi penyakit botulisme adalah gangguan pada saluran pernapasan. Pemantauan progresifitas penyakit terkait komplikasi tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya abnormalitas pada analisis gas darah, yaitu penurunan pH dan PaO2.[3,20]

Pencitraan

Pencitraan seperti CT scan dan MRI biasanya dipakai untuk mengeksklusi kondisi lain yang dapat menyebabkan paralisis seperti tumor otak atau stroke apabila penderita menunjukkan gejala yang samar.[6]

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi

1. Chatham-Stephens K, Fleck-Derderian S, Johnson S, et al. Clinical Features of Foodborne and Wound Botulism: A Systematic Review of the Literature, 1932–2015. Clinical Infectious Diseases. 2017;66(suppl_1):S11-S16.
3. Carrillo-Marquez M. Botulism. Pediatrics in Review. 2016;37(5):183-192.
5. Rosow L, Strober J. Infant Botulism: Review and Clinical Update. Pediatric Neurology. 2015;52(5):487-492.
6. Chan-Tack K. Botulism: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. Emedicine.medscape.com. 2019. https://emedicine.medscape.com/article/213311-overview
8. Chalk C, Benstead T, Pound J, et al. Medical treatment for botulism. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2019;2019(4):1-25.
15. Rimawi B. Botulism in pregnancy – a clinical approach to diagnosis and management. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine. 2018;32(18):3125-3132.
16. Sobel J, Rao A. Making the Best of the Evidence: Toward National Clinical Guidelines for Botulism. Clinical Infectious Diseases. 2017;66(suppl_1):S1-S3.
17. Gilhus N, Verschuuren J. Myasthenia gravis: subgroup classification and therapeutic strategies. The Lancet Neurology. 2015;14(10):1023-1036.
18. Willison H, Jacobs B, van Doorn P. Guillain-Barré syndrome. The Lancet. 2016;388(10045):717-727.
19. Kesner V, Oh S, Dimachkie M, Barohn R. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome. Neurologic Clinics. 2018;36(2):379-394.
20. Zhang P, Dong J, Bai L, Qiu Z. Clinical analysis of 53 patients with Clostridium botulinum food poisoning. Chinese Critical Care Medicine. 2017;29(5):459-464.
21. Thwaites C. Botulism and tetanus. Medicine. 2017;45(12):739-742.
22. Medscape. Metronidazole. https://reference.medscape.com/drug/flagyl-metronidazole-342566
23. Jeffery IA, Karim S. Botulism. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459273/
24. Lonati D, Schicchi A, Crevani M, Buscaglia E, Scaravaggi G, Maida F, Cirronis M, Petrolini VM, Locatelli CA. Foodborne Botulism: Clinical Diagnosis and Medical Treatment. Toxins (Basel). 2020 Aug 7;12(8):509. doi: 10.3390/toxins12080509. PMID: 32784744; PMCID: PMC7472133.

Epidemiologi Botulisme
Penatalaksanaan Botulisme
Diskusi Terkait
Anonymous
03 Desember 2020
Pemberian bee pollen dan madu untuk bayi
Oleh: Anonymous
1 Balasan
Selamat siang, Dok, apakah bee pollen sama dengan madu, tidak diperbolehkan utnuk diberikan pada anak bayi? atau apakah sebenarnya boleh diberikan untuk anak...

Download Aplikasi Alomedika & Ikuti CME Online-nya!
Kumpulkan poin SKP sebanyak-banyaknya, Gratis!

  • Tentang Kami
  • Advertise with us
  • Syarat dan Ketentuan
  • Privasi
  • Kontak Kami

© 2021 Alomedika.com All Rights Reserved.