Toksin Botulinum sebagai Terapi Nyeri Neuropatik

Oleh :
dr. Evlyne Erlyana Suryawijaya, M.Biomed, Sp.S

Toksin botulinum dapat dimanfaatkan dalam terapi nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik merupakan kondisi nyeri yang diakibatkan oleh lesi atau penyakit pada sistem somatosensori. Kondisi ini akan berdampak pada kualitas hidup penderita, karena dapat menyebabkan gangguan mood hingga gangguan tidur. Risiko mengalami nyeri neuropatik akan meningkat seiring bertambahnya usia, adanya obesitas, maupun riwayat keganasan.[1-3]

Tata laksana ideal dari nyeri neuropatik meliputi pendekatan multidisiplin, baik secara farmakologis maupun nonfarmakologis, tetapi keseluruhan terapi yang ada saat ini masih dianggap belum memuaskan.[1-3]

Toksin botulinum memblokade pelepasan asetilkolin pada taut neuromuskular, sehingga merelaksasi otot. Toksin botulinum telah banyak digunakan dalam berbagai kasus neurologi sentral maupun perifer, seperti kasus distonia fokal, spastisitas, dan migraine kronik. Seiring perkembangan dalam dunia medis, penggunaan toksin botulinum sebagai terapi potensial untuk nyeri neuropatik juga turut diteliti.[3-6]

shutterstock_795660709-min

Sekilas Tentang Tata Laksana Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik dapat disebabkan oleh perubahan patologis pada sistem saraf pusat maupun perifer akibat berbagai etiologi, seperti infeksi virus herpes zoster; gangguan metabolik misalnya diabetes mellitus; stroke, cedera mekanik pada sistem saraf, hingga terapi antineoplasma. [1,2,4] Adapun alur tata laksana dari nyeri neuropatik berdasarkan Canadian Pain Society meliputi 4 lini terapi, yakni:

  • Lini pertama: berupa penggunaan gabapentin; antidepresan trisiklik seperti amitriptyline; dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI) seperti duloxetine

  • Lini kedua: yang direkomendasikan adalah penggunaan tramadol atau analgesik opioid lain
  • Lini ketiga: analgesik jenis cannabinoid
  • Lini keempat: methadone, tapentadol, lidocaine topikal, dan toksin botulinum[1,2]

Penggunaan toksin botulinum tidak disarankan sebagai terapi lini pertama, melainkan menjadi alternatif ataupun terapi kombinasi dengan terapi lini terdahulu.[2]

Peran Toksin Botulinum dalam Tata Laksana Nyeri Neuropatik

Mekanisme aksi dari toksin botulinum pada nyeri neuropatik dihubungkan dengan penghambatan dari pelepasan neurotransmitter dan neuropeptida yang terkait dengan mekanisme nyeri dan inflamasi, seperti substansi P, CGRP (Calcitonin gene-related peptide), dan glutamat. [2,4,6] Selain itu, toksin botulinum menurunkan aktivitas kanal dari transient receptor potential vanilloid-1 (TRPV-1) yang berperan dalam transduksi stimulus noksius.[3,4]

Hingga saat ini terdapat 2 jenis serotipe toksin botulinum yang paling banyak digunakan, yakni:

  • Toksin botulinum A (BoNT/A): meliputi onabotulinum toxin A, abobotulinum toxin A, dan incobotulinum toxin A

  • Toksin botulinum B (BoNT/B): meliputi rimabotulinum toxin B

Kedua toksin ini memiliki kompleksitas, kemurnian, potensi, dosis, dan imunogenitas yang berbeda. Kebanyakan studi yang membahas nyeri neuropatik menggunakan BoNT/A.[4]

Bukti Ilmiah Manfaat Toksin Botulinum dalam Tata Laksana Nyeri Neuropatik

Sebuah uji klinis acak terkontrol buta ganda dilakukan untuk menganalisis keamanan dan efikasi toksin botulinum A pada pasien dengan nyeri neuropatik. Studi ini dilakukan pada 152 pasien dari 2 klinik rawat jalan di Perancis dan 1 di Brazil. Pasien diacak untuk mendapat 2 injeksi subkutan toksin botulinum (hingga 300 IU) atau plasebo dengan interval 12 minggu.

Hasil studi menunjukkan bahwa toksin botulinum A mampu menurunkan intensitas nyeri secara signifikan dibandingkan plasebo. Efek samping yang dilaporkan adalah nyeri di lokasi injeksi, 19 (56%) pada kelompok toksin botulinum dan 17 (53%) kelompok plasebo.[7]

Hasil ini didukung oleh sebuah meta analisis yang mengevaluasi 10 uji klinis acak terkontrol dengan total sampel 391 partisipan, untuk mengetahui efikasi toksin botulinum dalam tata laksana trigeminal neuralgia dan nyeri neuropatik perifer. Hasil studi menunjukkan bahwa toksin botulinum lebih efektif dalam menurunkan intensitas nyeri secara signifikan dibandingkan plasebo. Namun, perlu dicatat bahwa studi yang dievaluasi dalam meta analisis ini memiliki sampel yang kecil dan heterogenitas data.[8]

Pada tahun 2020, Egeo et al mempublikasikan tinjauan ilmiah mengenai efikasi toksin botulinum dalam tata laksana nyeri neuropatik. Hampir seluruh studi yang dianalisis menggunakan sediaan onabotulinum toxin tipe A.  Secara umum, hasil studi yang dianalisis mendukung manfaat dari toksin botulinum, meskipun terdapat heterogenitas antar studi, termasuk dosis yang digunakan, dilusi, dan teknik injeksi.

Dalam tinjauannya, Egeo et al menganalisis efek toksin botulinum dalam berbagai kasus nyeri neuropatik, termasuk trigeminal neuralgia, sindrom nyeri regional kompleks, nyeri pasca stroke, cedera korda spinalis, painful diabetic neuropathy, neuralgia oksipital, neurogenic thoracic outlet syndrome, carpal tunnel syndrome, sindrom nyeri pelvis kronik, serta nyeri neuropatik pasca pembedahan, traumatika, atau kompresi.

Tinjauan Egeo et al menemukan sebanyak 19 dari 21 uji klinis acak terkontrol menilai BoNT/A cukup efektif dalam mengatasi nyeri neuropatik. Dua uji klinis mendapatkan hasil negatif, antara lain pada satu studi untuk nyeri pasca stroke dan satu studi untuk carpal tunnel syndrome. Selain itu, terdapat satu uji klinis untuk sindrom nyeri regional kompleks yang dihentikan akibat tolerabilitas yang rendah.

Efek BoNT/A pada nyeri neuropatik dilaporkan mulai bekerja setelah 4-8 minggu (1 minggu pada kasus trigeminal neuralgia) dan bertahan hingga 6 bulan pasca terapi. Dalam seluruh studi yang dianalisis, BoNT/A tidak digunakan sebagai terapi lini pertama melainkan pada pasien yang telah mengalami kegagalan terapi farmakologi sebelumnya. Secara umum, mayoritas studi yang dianalisis menunjukkan tolerabilitas terhadap BoNT/A cukup baik, dengan efek samping yang umumnya ringan dan transien.[4]

Kesimpulan

Hingga kini, tata laksana nyeri neuropatik masih mengalami berbagai kendala, termasuk respon terapi pasien yang buruk dan banyaknya efek samping terapi yang dapat menyebabkan diskontinuitas terapi.

Berbagai studi yang ada telah menunjukkan potensi toksin botulinum sebagai alternatif dalam tata laksana nyeri neuropatik, dengan efikasi dan tolerabilitas yang baik. Meski demikian, masih dibutuhkan uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel lebih besar dan model terapi yang lebih terstandar untuk berbagai jenis nyeri neuropatik agar kesimpulan yang lebih pasti dapat ditarik.

Referensi