Patofisiologi Non Alcoholic Fatty Liver
Patofisiologi non-alcoholic fatty liver atau perlemakan hati non-alkohol melibatkan penumpukan lemak pada hepar yang mengakibatkan lipotoksisitas hepar. Non-alcoholic fatty liver disease sendiri mencakup 4 tahap penyakit, yakni steatosis sederhana, non-alcoholic steatohepatitis, fibrosis dan sirosis, hingga penyakit hepar tahap akhir dan karsinoma hepatoseluler.
Non-alcoholic fatty liver adalah sebutan lain dari steatosis hepar sederhana, manifestasi awal dari non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Non-alcoholic steatohepatitis adalah tahap manifestasi berat dan ireversibel dari NAFLD dengan inflamasi intralobular dan pembengkakan hepatosit yang bersifat degeneratif.[4]
Peran Gangguan Metabolik pada Non-Alcoholic Fatty Liver
Overnutrisi dan ketidakseimbangan nutrisi mengganggu aktivitas metabolisme hepar. Konsumsi lemak berlebih dapat melampaui batas kemampuan hepar dalam mengerjakan proses metabolisme lemak. Konsumsi protein berlebih juga mengganggu jalur AMPK (AMP-activated protein kinase). Kondisi ini mengakibatkan deposisi adiposa pada hepar.
Konsumsi lemak berlebih, konsumsi protein berlebih (terutama asam amino jenis leucine), konsumsi gula berlebih, dan gangguan metabolik seperti resistensi insulin, obesitas, sindrom metabolik, dislipidemia, diabetes melitus mengurangi ekspresi, fosforilasi, aktivasi dan aktivitas AMPK.[5]
Berkurangnya Aktivitas AMPK
Berkurangnya aktivitas AMPK mengurangi sensitivitas sistemik terhadap insulin dan membebaskan aktivitas enzim Acetyl-CoA Carboxylase (ACC). Proses ini juga menghambat carnitine palmitoyl transferases (CPTs) dan menghambat beta-oksidasi asam lemak.
Berkurangnya aktivitas AMPK juga menghambat penambahan mitokondria untuk mengimbangi kebutuhan aktivitas metabolisme. ACC yang bebas juga meningkatkan pembentukan asam lemak dari acetyl-CoA.
Berkurangnya AMPK juga mengurangi hambatan terhadap aktivitas mTOR, maturasi dan aktivasi sterol regulatory element–binding proteins (SREBPs), sehingga meningkatkan sintesis kolesterol oleh hepar. Akibatnya akumulasi lemak, trigliserida, dan asam lemak tidak terkendali.[4,5]
Akumulasi Sel Lemak dan Inflamasi
Akumulasi lemak ditambah berkurangnya AMPK ini memicu disfungsi mitokondria, stres pada retikulum endoplasma, dan stress oksidatif. Akibatnya produksi reactive oxygen species (ROS) meningkat, terjadi kerusakan jaringan, dan proses inflamasi.
Dari sini terjadi aktivasi jalur NF-KB dan JNK. Aktivasi jalur ini meningkatkan produksi dan peningkatan ekspresi mediator inflamasi seperti CCL2. Produksi ROS mengaktivasi NLRP3. Proses kerusakan ini juga menarik leukosit ke jaringan hepar dan memicu produksi sitokin, kemokin, dan eicosanoid sehingga terjadi inflamasi hepar.
Proses ini memicu diferensiasi makrofag ke jalur M1 yang meningkatkan produksi mediator dan proses inflamasi, serta jalur M2 yang meningkatkan produksi TGF-beta. Produksi TGF-beta ini memicu aktivasi hepatic stellate cells (HSC) yang memicu proses fibrosis hepar.[4,5]
Gangguan pada Gen
Konsumsi lemak berlebih dan kondisi diabetes melitus telah dilaporkan dapat meningkatkan ekspresi gen SOX9 (SRY-box transcription factor 9) yang berperan dalam fibrosis hepar, CCL20 (C-C motive chemokine ligand 20), CXCL1 (C-X-C motif chemokine ligand 1), CD24 (Cluster of differentiation 24), dan CHST4 (Carbohydrate sulfotransferase 4).
Peningkatan ekspresi gen ini berperan dalam proses ekstraseluler seperti pembentukan neutrophil extracellular traps yang mengakibatkan inflamasi dan adhesi faktor inflamasi yang mengundang leukosit dalam liver. Proses inflamasi ini akan merusak hepatosit.[4,6]
Sementara itu, kerusakan hepatosit akan mengurangi ekspresi gen Smoothened (Smo). Berkurangnya Smo mengganggu fosforilasi subunit beta reseptor insulin dan efektornya Akt, serta mengganggu fosforilasi Foxo1. Dari sini kerusakan hepatosit menimbulkan resistensi insulin dan membebaskan proses glukoneogenesis. Glukosa yang dicerna juga dialihkan ke jalur lipogenik sehingga meningkatkan akumulasi asam lemak bebas pada liver.
Ketiadaan Smo meningkatkan ekspresi SREBP1c dan PPARã1, dan meningkatkan aktivasi mTORC1, sehingga meningkatkan lipogenesis dan akumulasi lemak. Kerusakan Smo juga merusak mitokondria hepatosit sehingga mengganggu homeostasis lemak dan beta oksidasi asam lemak. Kerusakan mitokondria ini memicu ekspresi sekretoma yang meningkatkan inflamasi dan fibrosis.[7,8]
Terjadinya Inflamasi Kronik
Proses inflamasi ekstensif yang berlangsung seperti lingkaran setan ini, jika tidak dikendalikan segera akan berlangsung kronis hingga melampaui kemampuan regenerasi hepar. Proses ini mengaktifkan berbagai jalur kematian hepatosit seperti apoptosis, aktivasi receptor-interacting serine/threonine-protein kinase 3 (RIPK3) yang memicu nekroptosis, dan ferroptosis.
Diferensiasi makrofag ke jalur M2 menimbulkan overproliferasi dan transdiferensiasi HSC menjadi miofibroblas. Miofibroblas ini memproduksi protein matriks ekstraseluler berlebih, termasuk osteopontin. Akumulasi protein ini semakin memicu fibrosis, sirosis, bahkan diferensiasi menuju karsinoma hepatoseluler.[4,5]
Proses fibrosis hepar ekstensif hingga mencapai sirosis menjepit seluruh vena portal, menimbulkan portosystemic shunt, dan mengganggu sirkulasi portal. Tidak hanya itu, sebelum timbul fibrosis, akumulasi lemak dalam hepatosit membuat hepatosit membengkak sehingga aliran darah portal juga terjepit.
Akibatnya asupan oksigen hepatosit semakin berkurang, semakin banyak hepatosit yang mengalami hipoksia dan mati, semakin banyak juga fibrosis berlangsung. Kondisi ini juga memicu hiperplasia saluran empedu pada hepar.[9,10]
Kaitan Gagal Jantung dan Non-Alcoholic Fatty Liver
Menurut tinjauan sistematik dari American Heart Association, gagal jantung dengan non-alcoholic fatty liver saling berkaitan satu sama lain dan dibagi dalam 3 fenotipe.
Fenotipe HFpEF Obstruktif
Proses akumulasi lipid dalam jaringan hepar mengubah bentuk hepatosit sehingga meningkatkan resistensi antar sinusoid hepatik. Peningkatan ini menghambat aliran balik vena transhepatik melalui vena portal ke jantung, sehingga mengurangi preload reserve.
Akibatnya aliran darah ke dalam ventrikel kanan pun berkurang, dan konsumsi oksigen penderita berkurang. Efek ini semakin terasa ketika penderita melakukan aktivitas berat.[11]
Fenotipe HFpEF-NAFLD Metabolik
Akumulasi lemak akibat gangguan metabolisme meningkatkan produksi dan pelepasan mediator pro-inflamasi seperti interleukin (IL)–1β, IL-6, C-reactive protein, TNF-α, dan chemokine (C-C motif) ligand 3, sehingga semakin merusak endotel. Kerusakan endotel membentuk plak dalam pembuluh darah, sehingga menyempitkan hampir seluruh pembuluh darah termasuk vena hepar.
Dalam kondisi perlemakan hepar, semakin banyak osteopontin dan dimethyl arginine asimetris, yang merupakan antagonis endogen terhadap nitric oxide xynthase. Osteopontin meningkatkan fibrosis hepar dan kardiak. Antagonis endogen terhadap nitric oxide xynthase memperberat disfungsi endotel. Kondisi ini mengganggu metabolisme metionin sehingga menimbulkan akumulasi homosistein dalam darah, yang memperberat disfungsi endotel.[11]
Fenotipe HFpEF- Penyakit Hepar Tahap Lanjut
Pada tahap sirosis hepar, jaringan hepar sudah dipenuhi jaringan fibrosa yang menjepit seluruh sirkulasi sinusoid. Jepitan ini menimbulkan peningkatan tekanan vena portal hingga hipertensi portal.
Dari sini terbentuk spontaneous portosystemic shunt (SPSS) untuk jalan pintas aliran darah tanpa melewati hepar dan dekompresi sistem vena porta. Sistem ini meningkatkan aliran darah paru dan memfasilitasi transit faktor vasoaktif, vasokonstriksi paru, hipertensi pulmonal, hingga cor pulmonale.[11]
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta