Penatalaksanaan Peripheral Artery Disease
Penatalaksanaan peripheral artery disease (PAD) ditujukan untuk menghilangkan gejala, seperti klaudikasio atau nyeri pada ekstremitas dan menurunkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular dan komplikasi. Modalitas penatalaksanaan penyakit arteri perifer (PAD) terjadi dari modifikasi faktor risiko, berhenti merokok, latihan fisik, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Pasien dengan nyeri iskemik atau ulserasi mungkin memerlukan intervensi dini untuk penyelamatan ekstremitas.
Modifikasi Faktor Risiko
Faktor risiko termasuk merokok, hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia harus dimodifikasi dan ditujukan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas penyakit arteri perifer (PAD), baik pada pasien tanpa gejala maupun gejala.
Berhenti Merokok
Tata laksana awal yang paling utama pada pasien dengan peripheral artery disease (PAD) adalah modifikasi gaya hidup, yaitu berhenti merokok. Hubungan yang signifikan antara dosis rokok dan risiko PAD telah dilaporkan dalam penelitian: pasien berusia 50 hingga 69 tahun dengan riwayat merokok lebih dari 10 bungkus-tahun atau riwayat diabetes memiliki insiden PAD serupa dengan mereka 70 tahun. Hubungan yang signifikan antara dosis rokok dan risiko PAD telah dilaporkan dalam penelitian: pasien berusia 50 hingga 69 tahun dengan riwayat merokok lebih dari 10 bungkus per tahun atau riwayat diabetes memiliki insiden PAD serupa dengan pasien yang >70 tahun.[23] Konsumsi rokok pada pasien peripheral artery disease (PAD) akan memperparah progresivitas penyakitnya. Pasien dengan PAD memiliki risiko lebih tinggi mengalami amputasi dan penurunan survival rate dalam 5 tahun bila masih merokok dibanding bila pasien sudah berhenti merokok. Upaya berhenti merokok dapat dilakukan dengan konseling atau terapi farmakologis. Kombinasi terapi farmakologis dan konseling memberikan efektivitas yang lebih baik untuk berhenti merokok.[5,16]
Memperbaiki Kontrol Glikemik
Pada pasien peripheral artery disease (PAD) dengan diabetes mellitus (DM), kontrol glikemik disarankan untuk mencegah komplikasi mikrovaskular. NICE merekomendasikan target hemoglobin A1C (HbA1C) pada pasien PAD dengan DM adalah <48 mmol/mol. Kontrol glikemik pada pasien dapat dilakukan dengan modifikasi dengan atau tanpa terapi farmakologis.[5,7]
Kontrol Tekanan Darah
Pemberian terapi anti hipertensi diberikan pada pasien peripheral artery disease (PAD) dengan hipertensi guna mencegah komplikasi major adverse cardiac events (MACE) dan gagal jantung. Walaupun demikian, studi menemukan bahwa pemberian anti hipertensi tidak menunjukkan perbaikan gejala klaudikasio. Pilihan terapi utama yang untuk mengontrol tekanan darah pada PAD adalah angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI), seperti ramipril dan lisinopril, atau angiotensin II receptor blockers (ARB), seperti candesartan dan valsartan. ARB akan menghambat proses aterosklerosis dan memperbaiki fungsi endotel. Pemberian ramipril ditemukan secara signifikan menurunkan kematian dan MACE pada pasien.[1,5,7]
Menurunkan Berat Badan
Pada semua pasien peripheral artery disease (PAD) dengan berat badan berlebih harus dilakukan upaya untuk menurunkan berat badan pasien.[7]
Latihan Fisik
Latihan fisik ditemukan dapat membantu mengurangi gejala pada pasien. Latihan fisik yang disarankan pada pasien adalah latihan fisik di bawah supervisi. Latihan fisik di bawah supervisi dapat memperbaiki ankle-brachial index (ABI) pasien, memperbaiki kemampuan pasien berjalan, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. beberapa studi menemukan bahwa latihan fisik di bawah supervisi menunjukkan manfaat yang serupa dengan angioplasti. Pada kasus klaudikasio kronik ditemukan bahwa aktivitas fisik di bawah supervisi selama 3-24 bulan menunjukkan perbaikan gejala pada pasien.[5,7,8]
Latihan fisik yang direkomendasikan adalah berjalan selama minimal 30 menit, setidaknya 3 kali seminggu, selama minimal 6 bulan. Beberapa aktivitas latihan fisik lain yang direkomendasikan adalah latihan kekuatan otot, latihan ekstremitas atas dan bawah, atau menaiki tangga dengan bantuan alat. NICE merekomendasikan latihan fisik diberikan pada semua pasien minimal 2 jam per minggu selama 3 bulan.[7,8]
Terapi Medikamentosa
Jika modifikasi risiko dan terapi olahraga belum efektif, pasien dengan peripheral artery disease (PAD) dapat ditawarkan terapi medikamentosa yang ditujukan untuk mengurangi nyeri dengan ambulasi atau meningkatkan jarak berjalan kaki, baik total maupun bebas nyeri. Sejumlah obat telah dievaluasi dalam studi klinis untuk mengobati klaudikasio, tetapi bukti kuat untuk meningkatkan parameter berjalan hanya tersedia untuk cilostazol dan naftidrofuryl.[25] Selain itu, pasien PAD disarankan untuk minum obat untuk menurunkan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular dan komplikasi.
Agen vasoaktif
Agen vasoaktif seperti naftidrofuryl dan cilostazol direkomendasikan untuk memperbaiki gejala klaudikasio pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan latihan fisik. Evaluasi pemberian agen vasoaktif dilakukan setelah 3-6 bulan pemberian. Bila dalam waktu 3-6 bulan pasca pemberian agen vasoaktif pasien tidak menunjukkan perbaikan maka terapi sebaiknya dihentikan dan pasien dirujuk untuk mendapat terapi lanjutan.[7]
Naftidrofuryl, obat golongan 5 hydroxytryptamine antagonist, adalah lini pertama pengobatan klaudikasio. Dosis yang direkomendasikan adalah 300 atau 600 mg sehari, satu atau dua 100 mg kapsul tiga kali sehari untuk minimum 3 bulan dan harus selalu diminum dengan segelas air putih. [26] Naftidrofuryl bermanfaat untuk meningkatkan metabolisme otot serta mencegah agregasi platelet dan eritrosit. Jika dibandingkan dengan plasebo, keluhan berkurang pada 26% pasien klaudikasio intermiten yang diberikan naftidrofuryl. Efikasi naftidrofuryl diteliti dalam suatu studi meta analisis dengan sampel 1266 pasien. Jika dibandingkan dengan plasebo, naftidrofuryl dapat meningkatkan jarak berjalan pada pasien klaudikasio intermiten sebesar 50%.[1,18] Naftidrofuryl telah terbukti menjadi agen vasoaktif yang lebih efektif, dibandingkan dengan cilostazol dan pentoxifylline, menurut meta-analisis 2012 dari 11 uji klinis acak. Naftidrofuryl menduduki peringkat pertama untuk jarak berjalan kaki maksimum dan jarak berjalan bebas rasa sakit: peningkatan dari awal adalah 60% dan 49% masing-masing, dibandingkan dengan plasebo.[26] Naftidrofuryl telah digunakan secara efektif di Eropa selama lebih dari 20 tahun, namun belum tersedia di Amerika Serikat. Naftidrofuryl tersedia di Indonesia.
Cilostazol (fosfodiester 3 inhibitor) secara efektif menurunkan gejala dan meningkatkan kemampuan berjalan pada pasien. Dua studi meta analisis membuktikan bahwa dengan terapi cilostazol 50 mg per hari meningkatkan end point treadmill sejauh 36 meter, dan meningkat 70 meter dengan dosis 100 mg per hari. Rekomendasi pada dosis cilostazol untuk klaudikasio intermiten adalah 2 kali 100 mg, obat harus diminum setengah jam sebelum atau dua jam setelah makan, karena makanan tinggi lemak sangat meningkatkan penyerapan. Salah satu pertimbangan penting dalam pemberian agen vasoaktif adalah efek samping yang mungkin terjadi seperti pusing dan keluhan gastrointestinal. Selain itu, cilostazol juga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung.[1,5,7]
Golongan fosfodiester 3 inhibitor lain yang mempengaruhi darah dapat digunakan adalah pentoxifilin. Pentoxifilin merupakan alternatif dari cilostazol, dengan dosis 3 kali 400 mg setiap hari, per oral, selama minimal 8 minggu, dan dosis maksimum 1200 mg/hari. Namun, efektivitas cilostazol lebih baik daripada pentoxifilin. Selain itu, ulasan Cochrane yang diterbitkan pada tahun 2020 menyimpulkan bahwa ada kekurangan bukti kepastian tinggi untuk efek pentoxifilin dibandingkan dengan plasebo atau perawatan lain untuk klaudikasio.[27]
Antiplatelet, Antitrombosis, Antikoagulan
Penggunaan antiplatelet pada peripheral artery disease (PAD) dapat menurunkan risiko komplikasi berupa gangguan kardiovaskular, berupa infark miokardial, stroke juga kematian akibat kardiovaskular. Antiplatelet diindikasikan terutama pada pasien dengan klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI) dan riwayat revaskularisasi atau amputasi pada ekstremitas bawah. Anti platelet juga diberikan pada pasien asimtomatik dengan nilai ankle-brachial index (ABI) kurang dari 0,9 guna mencegah terjadinya major adverse cardiac events (MACE), walaupun terdapat randomised controlled trials (RCT) yang menemukan bahwa pemberian aspirin tidak menunjukkan keuntungan pada pasien. Pemberian antiplatelet pada pasien dengan ABI 0,91 hingga 0,99 belum didukung oleh bukti yang cukup.[1,5,7,16]
Anti platelet yang direkomendasikan oleh AHA/ACC adalah aspirin (75 hingga 325 mg per hari) atau clopidogrel 75 mg per hari. Studi menemukan bahwa penggunaan clopidogrel 75 mg menunjukkan efektivitas yang lebih baik dalam mencegah terjadinya komplikasi vaskular dibandingkan dengan aspirin 325 mg. Studi lain menemukan bahwa penggunaan dual antiplatelet menurunkan risiko amputasi mayor lebih efektif. Studi lain menemukan penggunaan kombinasi antiplatelet dan warfarin tidak menunjukkan efek yang lebih superior. Namun demikian, baik pada penggunaan dual antiplatelet atau pada penggunaan kombinasi antiplatelet dan warfarin memiliki risiko perdarahan yang besar. Pada pasien yang mengalami alergi terhadap clopidogrel, pilihan terapi yang dapat digunakan adalah aspirin. Antikoagulan seperti warfarin, biasanya diindikasikan pada kasus iskemia pembuluh darah ekstremitas akibat emboli. Studi lain menemukan bahwa pemberian rivaroxaban dosis rendah bersamaan dengan aspirin pada pasien PAD simtomatis dengan coronary artery disease (CAD) menurunkan risiko MACE dan komplikasi terkait tungkai. Namun kombinasi terapi ini belum disetujui sebagai modalitas terapi.[1,2,7,16].
Golongan Statin
Terapi penurun lipid dengan setidaknya dosis moderat statin, terlepas dari kolesterol low-density lipoprotein (LDL), diberikan pada semua pasien dengan peripheral artery disease (PAD) simtomatis untuk menurunkan mortalitas dan stroke.[24] Beberapa penelitian menunjukkan efek positif dari statin pada gejala klaudikasio juga, namun bukti ini tidak tegas.
Pemberian simvastatin may have some positive effect on memperbaiki kemampuan pasien berjalan. Pemberian atorvastatin menunjukan minimal perbaikan gejala nyeri walaupun tidak memperbaiki kemampuan berjalan pasien. Studi lain menemukan bahwa pemberian atorvastatin menurunkan kebutuhan revaskularisasi dan amputasi pada pasien. Meskipun kurangnya bukti kuat tentang efektivitas statin pada peningkatan parameter berjalan, statin tetap harus diresepkan untuk pasien PAD karena manfaat kardiovaskulernya.
NICE merekomendasikan untuk menurunkan kadar kolesterol non HDL sebanyak 40% atau di bawah 100 mg per dl pada pasien PAD. Dosis awal atorvastatin pada pasien dewasa adalah 10 atau 20 mg, sekali sehari. Namun, pada pasien yang memerlukan penurunan LDL >45%, dosis 40 mg dapat diberikan sebagai dosis awal. Dosis disesuaikan dengan respon terapi, setiap 2-4 minggu. Dosis rumatan 10-80 mg per hari. Dosis awal simvastatin pada pasien dewasa adalah 20 atau 40 mg, sekali sehari dikonsumsi saat malam hari.[1,2,5,7,8,19,28]
Persiapan Rujukan
Tata laksana lanjutan, termasuk tindakan pembedahan, dilakukan pada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Tindakan pembedahan termasuk tindakan revaskularisasi dan tindakan non-invasif. Tata laksana lanjutan diberikan pada:
- Pasien yang datang dengan keluhan critical limb ischaemia (CLI) atau acute limb ischaemia (ALI)
- Pasien dengan komplikasi berupa kaki diabetes
- Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah latihan fisik atau terapi dengan agen vasoaktif
- Pasien yang menunjukkan gejala yang sangat mengganggu kualitas hidupnya[2,7]
Revaskularisasi
Revaskularisasi pada ekstremitas terutama diindikasikan pada kasus klaudikasio dengan gangguan fungsi dan penurunan kualitas hidup yang signifikan. Jika setelah 3 bulan terapi obat dan perubahan gaya hidup tidak cukup untuk mengurangi gejala, dan nyeri terus mengganggu kemampuan pasien untuk bekerja dan melakukan aktivitas normal sehari-hari, pasien tersebut menjadi kandidat untuk revaskularisasi. Revaskularisasi terutama pada kasus critical limb ischemia (CLI) sebagai upaya limb-saving dan life-saving. Melakukan revaskularisasi sebagai intervensi profilaksis, baik perkutan atau bedah, pada pasien dengan klaudikasio minimal memberikan sedikit manfaat, dapat menyebabkan kerugian, dan tidak diindikasikan. Beberapa metode revaskularisasi yang dapat digunakan adalah bypass grafting, endarterektomi, percutaneous angioplasti dengan stent, dan resorbable scaffold.[1,7,17]
Pada kasus lesi atherosclerosis, pendekatan revaskularisasi dilakukan berdasarkan kondisi pasien. Pada kasus aterosklerosis ringan dengan lesi single dan uniform, penggunaan revaskularisasi percutaneous dengan stent endovascular menjadi pilihan. Pada kasus aterosklerosis berat, dengan lesi besar atau multipel atau terkalsifikasi, atau pada pasien dengan gejala yang berat, pilihan terapi adalah bedah terbuka.[7,17]
Setelah revaskularisasi, pasien menjalani pengawasan pasca prosedur - sebulan setelah prosedur, diikuti dengan evaluasi klinis tiga bulan dan enam bulan dan ultrasonografi dupleks. Komplikasi utama setelah revaskularisasi adalah trombosis graft atau stent, stenosis graft vena, stenosis in-stent, dan lesi stenosis pembuluh darah asli baru.[22]