Pentingnya Terapi Tuberkulosis Pada Kehamilan untuk Mencegah Transmisi ke Janin

Oleh :
Debtia Rahmah

Terapi tuberkulosis (TB) pada kehamilan berbeda dengan terapi tuberkulosis pada populasi lain karena tidak hanya bertujuan untuk menyembuhkan infeksi, tetapi juga mencegah penularan ke janin yang dapat terjadi secara hematogen via vena umbilikalis. Transmisi ke janin juga dapat terjadi melalui aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Terapi tuberkulosis pada kehamilan juga berperan untuk mencegah komplikasi atau kematian ibu.

Di sisi lain, terdapat potensi teratogenik pada obat antituberkulosis (OAT). Untuk itu, perlu dipertimbangkan pemilihan regimen obat antituberkulosis dengan risiko yang minimal terhadap janin.[1-3]

Depositphotos_164062260_m-2015_compressed

Keamanan Terapi Tuberkulosis pada Ibu Hamil

Obat antituberkulosis (OAT) sebagian besar terbukti dapat menembus plasenta. Akan tetapi obat pyrazinamide, ethionamide, paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserine, gatifloxacin belum diketahui dapat menembus plasenta atau tidak.[4]

Kategori Obat Antituberkulosis pada Kehamilan oleh FDA

Pemberian terapi untuk tuberkulosis pada kehamilan harus dilakukan secara berhati-hati dengan menimbang manfaat dan risiko. Hal ini karena obat antituberkulosis oleh FDA dikategorikan ke dalam kategori C atau D.

Kategori OAT lini pertama adalah kategori C, kecuali streptomycin yang tergolong kategori D. OAT lini kedua, umumnya digunakan untuk multidrug-resistant tuberculosis (TB MDR), juga sebagian besar termasuk dalam kategori C, kecuali kanamycin dan amikacin yang tergolong kategori D.

Potensi Efek Buruk Obat terhadap Janin

Obat antituberkulosis yang dapat menyebabkan dampak buruk bagi janin adalah sebagai berikut:

Perbandingan Manfaat Terapi dan Risiko Penggunaan OAT pada Kehamilan

Beberapa studi menunjukkan manfaat terapi lebih besar dibanding risiko pada kasus TB paru sensitif obat maupun resisten.

Suatu meta analisis terhadap 14 studi dengan jumlah sampel 375 ibu hamil menilai luaran terapi TB pada kehamilan.

Luaran ibu:

Luaran kehamilan dari 332 pasien melahirkan:

  • 1 aborsi terapeutik
  • 3 abortus

  • 3 lahir mati
  • 25 meninggal

Luaran neonatus dari 322 kelahiran:

  • Kematian 4 neonatus akibat pneumonia dan kelahiran prematur

  • 1 neonatus mengalami TB aktif
  • 2 neonatus menderita infeksi TB laten
  • 50 neonatus dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
  • 7 neonatus mengalami restriksi pertumbuhan[5]

Suatu studi terhadap 38 partisipan dengan TB MDR menunjukkan luaran ibu:

  • 61% sembuh
  • 13% meninggal
  • 13% putus obat
  • 5% dalam proses terapi
  • 5% gagal pengobatan

Terkait luaran kehamilan maupun neonatus:

  • 5 kasus abortus spontan
  • 1 lahir mati
  • 32 bayi lahir: 25 bayi sehat, 7 bayi komplikasi BBLR, pneumonia, TB MDR[6]

Studi menunjukkan persentase kesembuhan dan pencegahan transmisi ke janin yang cukup tinggi. Walaupun masih terdapat luaran buruk, hal ini dinilai tidak sebanding dengan manfaat pencegahan komplikasi dan kematian ibu, serta transmisi tuberkulosis ke janin. Hal ini menjadi dasar rasionalisasi pemberian obat antituberkulosis pada kehamilan.

Regimen Pengobatan Tuberkulosis pada Ibu Hamil

Pada ibu hamil, infeksi tuberkulosis dapat aktif menimbulkan gejala maupun infeksi laten. Pada infeksi tuberkulosis aktif, pengobatan tuberkulosis paru diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat untuk mencegah terjadinya resistensi. Konsumsi OAT harus teratur dan dalam dosis yang tepat. Pengobatan diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal/intensif serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Penentuan pemilihan regimen obat berdasarkan indikasi sebagaimana penderita tuberkulosis dewasa lainnya. Akan tetapi, beberapa OAT dikontraindikasikan untuk ibu hamil.[2,7]

Obat Antituberkulosis Kategori I

Panduan OAT lini pertama kategori I diberikan untuk pasien TB paru maupun ekstra paru kasus baru. Tidak ada perbedaan regimen terapi untuk ibu hamil jika direncanakan mendapat terapi OAT kategori I.[2]

Tabel 1. Dosis OAT kategori 1

Obat Dosis Dosis Maksimum/Hari
Rifampisin (R) 10 mg/kgBB/hari 600 mg
Isoniazid (H) 5 mg/kgBB/hari (tiap hari) atau                            10 mg/kgBB/hari (untuk pemberian 3x/minggu) 300 mg
Pirazinamid (Z) 25 mg/kgBB/hari 2000 mg
Etambutol (E) 15 mg/kgBB/hari

Sumber: dr. Debtia, 2018.

Jika diberikan OAT dalam bentuk  kombinasi dosis tetap (KDT) maka dosis obat terangkum dalam tabel berikut.

Tabel 2. Dosis KDT

Berat Badan (kg)

Tahap Intensif Tiap Hari

4KDT

Tahap Lanjutan Tiga Kali Seminggu

2KDT

selama 56 hari selama 16 minggu
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet

Sumber: dr. Debtia, 2018.

CDC merekomendasikan pada tahap intensif pasien diterapi dengan isoniazide, rifampicin, dan etambutol setiap hari, selama 2 bulan. Tahap lanjutan isoniazide dan rifampicin tiap hari atau dua kali per minggu selama 7 bulan. Pemberian tahap lanjutan lebih lama karena pyrazinamide tidak disertakan dalam regimen terapi tahap intensif. CDC tidak merekomendasikan pyrazinamide karena belum diketahui efeknya terhadap janin. Belum ada studi pyrazinamide terhadap hewan untuk mengetahui potensi teratogenik.[8] Sebaliknya, WHO memperbolehkan penggunaan pyrazinamide.

Obat Antituberkulosis Kategori II

Penggunaan OAT kategori II untuk pasien kambuh,  gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya serta kasus putus berobat. Perbedaannya pada ibu hamil, streptomycin dikontraindikasikan karena berpotensi ototoksik terhadap janin (kategori FDA D).[2,8]

Tabel 3. Obat Antituberkulosis Kategori II

Berat badan (kg)

Tahap Intensif Tiap Hari

RHZE (150 / 75 / 400 / 275)

Tahap Lanjutan 3 kali Seminggu

RH (150 / 150) + E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet etambutol
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tablet etambutol
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet etambutol
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet etambutol

Sumber: dr. Debtia, 2018.

Profilaksis Tuberkulosis pada Kehamilan

Profilaksis tuberkulosis pada ibu hamil sebaiknya diberikan pada ibu hamil dengan HIV atau memiliki riwayat kontak positif dengan penderita TB. Berikan isoniazide preventive therapy dengan dosis 5 mg/kg sekali sehari (maksimal dosis 300 mg) atau 15 mg/kg dua kali per minggu (maksimal 900 mg), selama 6 atau 9 bulan. Terapi 9 bulan memberikan efikasi yang lebih baik dibanding terapi 6 bulan tetapi tingkat kepatuhan lebih baik jika terapi hanya selama 6 bulan. Jika tidak termasuk dalam kelompok berisiko maka sebaiknya terapi ditunda hingga 2-3 bulan post partum.[10]

Suplementasi pada Ibu Hamil yang Mendapat Izoniazide

Pemberian pyridoxine (vitamin B6) 25-50 mg/hari disarankan pada ibu hamil yang mendapat terapi INH untuk mencegah neuropati.[11] WHO juga merekomendasikan suplementasi zat besi, asam folat serta vitamin dan mineral lainnya juga harus diberikan pada ibu hamil penderita tuberkulosis. Pemberian kalsium juga sebaiknya diberikan terutama pada daerah dengan kecenderungan asupan kalsium rendah.

Penanganan Koinfeksi Tuberkulosis dan HIV (TB-HIV)

Ibu hamil yang terinfeksi HIV sering kali mengalami koinfeksi tuberkulosis.[3] Tata laksana pengobatan TB pada wanita hamil dengan HIV prinsipnya adalah sama seperti pada pasien HIV-TB lainnya yang tidak hamil. Pasien diberikan OAT dan antiretroviral therapy (ARV) dengan mendahulukan pengobatan OAT untuk mengurangi risiko timbul immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).[12] Kementerian Kesehatan menyarankan setelah pengobatan TB 2-8 minggu baru memulai terapi ARV.[13] Studi menunjukkan angka mortalitas lebih rendah pada kelompok penderita HIV-TB yang memulai terapi ARV saat terapi TB dibanding terapi ARV baru memulai setelah terapi TB selesai.[12] Selain itu, pemberian pyridoxine direkomendasikan untuk mencegah neuropati.[9]

Pemantauan Pengobatan

Pemantauan pengobatan meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, kepatuhan minum obat serta efek samping obat.

Evaluasi Bakteriologi

Pemantauan keberhasilan terapi salah satunya melalui pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) pada bulan kedua, kelima dan keenam. Jika pemeriksaan sputum BTA negatif maka pengobatan terus dilanjutkan. Jika hasil pemeriksaan BTA positif pada bulan kedua maka ditambahkan sisipan. Pada akhir fase sisipan jika BTA tetap positif maka lanjutkan pengobatan tahap lanjutan sambil merujuk ke fasilitas pengobatan TB MDR. Jika pada pemeriksaan sputum bulan kelima atau keenam hasil BTA positif maka rujuk pasien ke fasilitas pengobatan TB MDR dan mulai pengobatan OAT kategori 2.[2]

Evaluasi Efek Samping

Evaluasi efek samping pengobatan tuberkulosis pada ibu hamil meliputi pemantauan fungsi hati terutama jika mendapat terapi INH, ethionamide dan PAS.[4,9] Risiko hepatotoksik yang diinduksi obat terutama INH harus dipantau hingga 2-3 bulan pasca melahirkan.

Penanganan Post Partum

Segera lakukan evaluasi klinis pada bayi. Jika tidak terdapat gejala klinis maka cukup berikan profilaksis. Profilaksis untuk neonatus dapat diberikan setelah lahir yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari hingga 6 bulan. Lakukan evaluasi setelah profilaksis selesai. Jika timbul gejala klinis atau pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin menjadi positif maka bayi mendapat terapi TB. Jika tuberkulin tetap negatif maka cukup lanjutkan profilaksis hingga selesai. Setelah profilaksis selesai segera vaksinasi BCG jika terbukti tidak terinfeksi tuberkulosis. Beberapa pedoman merekomendasikan waktu pemberian profilaksis yang berbeda. WHO merekomendasikan profilaksis selama 6 bulan, American Academy of Pediatric (AAP) merekomendasikan 3-4 bulan sedangkan the National Institute for Health and Care Excellence (NICE), Inggris, hanya merekomendasikan profilaksis selama 6 minggu.[1]

Neonatus juga harus diberikan vitamin K1 segera setelah lahir untuk menurunkan risiko perdarahan jika ibu mengonsumsi rifampisin selama kehamilan.[7]

Kesimpulan

Pengobatan tuberkulosis paru pada ibu hamil lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan dengan risiko yang mungkin muncul. Terapi tuberkulosis pada ibu hamil harus tetap diberikan sebagaimana terapi pasien dewasa lainnya kecuali streptomycin, kanamycin dan amikacin. Kehamilan harus tetap dipertahankan karena infeksi tuberkulosis bukan indikasi untuk mengugurkan kandungan.

Referensi