Deteksi Dini TBC pada Orang dengan HIV/AIDS

Oleh :
dr.Fredy Rodeardo Maringga

TBC (tuberkulosis), dikenal juga sebagai TB paru, adalah penyebab utama kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dewasa sehingga diperlukan deteksi dini untuk menurunkan angka mortalitas. Pada beberapa negara, kematian terjadi pada 50% pasien saat menjalani pengobatan tuberkulosis, biasanya dalam 2 bulan setelah pasien didiagnosis tuberkulosis. Diagnosis tuberkulosis yang terlambat kemungkinan merupakan penyebab penting tingginya mortalitas.

Meskipun pemberian terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan risiko terjadinya kematian, pemberian ARV ini dapat menyebabkan terjadinya immune-reconstitution inflammatory syndrome. Untuk mengurangi mortalitas dan meningkatkan keamanan pemberian terapi antiretroviral, WHO merekomendasikan skrining tuberkulosis pada waktu infeksi HIV terdiagnosis, sebelum memulai terapi antiretroviral dan terapi pencegahan isoniazid, dan secara teratur dilakukan berikutnya.

Sampai saat ini, tidak ada pedoman untuk melakukan skrining TBC pada pasien yang terinfeksi HIV yang diterima secara internasional dan dijadikan kebijakan kesehatan global. Pemeriksaan foto toraks dan pewarnaan basil tahan asam sputum relatif tidak sensitif untuk mendeteksi tuberkulosis pada orang dengan HIV/AIDS. Selain itu, banyak ODHA yang tidak bergejala, memiliki hasil foto toraks yang normal, dan sputum BTA negatif masih mungkin memiliki hasil kultur sputum positif tuberkulosis. Banyak studi sebenarnya yang sudah dilakukan untuk mengembangkan metode sederhana untuk menyingkirkan kemungkinan tuberkulosis aktif pada ODHA, tetapi masalah-masalah terkait metode membuat tidak satupun dari studi-studi yang ada benar-benar dapat dijadikan dasar untuk dasar kebijakan kesehatan global.[1]

Referensi