Penghentian Terapi Antihipertensi

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan, Sp.PD

Penghentian terapi antihipertensi pada pasien yang tekanan darahnya sudah kembali normal masih menuai perdebatan. Sebagian klinisi meyakini bahwa penghentian antihipertensi bisa dilakukan, sedangkan sebagian lagi meyakini bahwa penghentian terapi akan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular dan stroke.

Hipertensi merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dari berbagai penyakit, termasuk penyakit tromboemboli dan serebrovaskular. Secara keseluruhan, penggunaan obat antihipertensi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada pasien hipertensi.

Penghentian Terapi Antihipertensi

Kontrol adekuat dari hipertensi dapat mengurangi risiko komplikasi seperti stroke, infark miokard, dan gagal jantung. Selama ini dipercayai bahwa pasien akan memerlukan obat antihipertensi seumur hidup untuk kontrol tekanan darah. Namun, penggunaan antihipertensi berkaitan dengan risiko tersendiri, seperti kejadian hipotensi, sinkop, gangguan ginjal akut, dan hiperkalemia.[1-4]

Mempertimbangkan Penghentian Terapi Antihipertensi

Tidak semua pasien dapat menghentikan terapi antihipertensi yang dijalaninya. Beberapa karakteristik yang dikaitkan dengan kemampuan mempertahankan tekanan darah normal meski telah menghentikan obat adalah kondisi hipertensi derajat 1 sebelum pengobatan, usia yang lebih muda, berat badan normal, asupan garam rendah, bukan alkoholik, dan hanya menggunakan 1 obat antihipertensi.[3,5-7]

Ada tidaknya kerusakan target organ merupakan faktor utama yang menentukan bisa tidaknya antihipertensi dihentikan. Pasien yang tidak memiliki tanda kerusakan target organ dan tekanan darah secara konsisten berada dalam rentang normal merupakan kandidat terbaik untuk menurunkan atau menghentikan terapi antihipertensi.[3,5-7]

Pada pasien yang mengalami efek samping, seperti hipotensi ortostatik, penghentian atau penurunan dosis antihipertensi juga sebaiknya dipikirkan. Ini utamanya relevan bagi lansia yang cenderung memiliki banyak komorbiditas. Keputusan untuk memulai atau melanjutkan terapi pada lansia, terutama dengan frailty atau usia sangat lanjut (≥ 80 tahun), harus berhati-hati. Penghentian terapi antihipertensi perlu dipertimbangkan pada lansia usia ≥80 tahun dengan tekanan sistolik ≤120 mmHg, terutama bila ada frailty dan polifarmasi.[3-5]

Penghentian Terapi Antihipertensi Menurut Pedoman Klinis

Menurut European Society of Cardiology (ESC), pemberian antihipertensi dan intervensi gaya hidup direkomendasikan untuk lansia bugar (65-80 tahun) ketika tekanan sistolik berada pada kisaran 140-159 mmHg, asalkan pengobatan dapat ditoleransi dengan baik. Penghentian antihipertensi berdasarkan usia tidak dianjurkan, bahkan pada lansia ≥80 tahun, jika pengobatan dapat ditoleransi. Namun, penting diketahui bahwa pedoman ESC hanya mencakup lansia sehat dan mandiri karena pasien yang lemah secara fisik dan mental serta yang dirawat di rumah sakit tidak diikutsertakan dalam mayoritas uji klinis.[4]

Beberapa pedoman lain merekomendasikan penurunan dosis bertahap ketika rerata tekanan darah ≥20/10 mmHg di bawah target yang ditetapkan. Ini direkomendasikan untuk pasien yang stabil sesuai target setidaknya selama 1 tahun. Pengurangan dosis dimulai dengan satu jenis obat dan penurunan setengah dosis setiap kali, dengan penyesuaian dilakukan setiap 2 minggu. Jika tekanan darah tetap terkontrol selama 1-3 bulan, protokol penghentian terapi dapat dilanjutkan dengan pengawasan berkala.[3,6]

Bukti Ilmiah Mengenai Kesuksesan Menjaga Tekanan Darah Setelah Penghentian Terapi Antihipertensi

Sebuah tinjauan sistematik terhadap 66 studi menunjukkan bahwa penghentian terapi antihipertensi bisa berhasil pada sebagian pasien, terutama yang menggunakan monoterapi dan memiliki tekanan darah lebih rendah sebelum penghentian. Dari 28 studi yang dievaluasi, rerata proporsi keberhasilan penghentian antihipertensi adalah 38% pada 6 bulan, 40% pada 1 tahun, dan 26% pada 2 tahun atau lebih.[7]

Dalam tinjauan lain yang lebih spesifik membahas lansia, dilakukan evaluasi terhadap 6 uji klinis dengan 1073 partisipan. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa penghentian antihipertensi pada lansia tidak terbukti meningkatkan risiko infark miokard, stroke, rawat inap, atau kematian. Penghentian terapi antihipertensi pada lansia juga tidak ditemukan menyebabkan peningkatan tekanan darah bermakna dan kebanyakan pasien yang menjalani penghentian terapi tidak perlu memulai kembali terapi mereka.[2]

Penghentian Terapi Harus Diimbangi Intervensi Gaya Hidup

Penghentian terapi farmakologis harus diimbangi dengan terapi non-farmakologis. Gaya hidup sehat, seperti pengurangan asupan natrium, berolahraga, dan meminimalkan konsumsi alkohol sangat direkomendasikan. Modifikasi gaya hidup ini dapat menunda dimulainya terapi farmakologis, terutama pada mereka dengan risiko kardiovaskular rendah dan hipertensi derajat 1, serta dapat meningkatkan efek terapi farmakologis dan mengurangi kebutuhan antihipertensi setelah program untuk penghentian terapi dijalankan.

Namun, penting dicatat bahwa modifikasi gaya hidup tidak boleh menjadi alasan untuk menunda inisiasi terapi medikamentosa pada pasien dengan kerusakan target organ atau risiko kardiovaskular tinggi. Perlu diingat pula bahwa modifikasi gaya hidup memerlukan konsistensi untuk meningkatkan keberhasilannya. Sebuah studi menunjukkan bahwa semua pasien yang tetap normotensi setelah menghentikan antihipertensi adalah mereka yang menjalani modifikasi gaya hidup konsisten dan persisten.[4,6,8]

Konsekuensi Penghentian Terapi Antihipertensi

Sebuah tinjauan sistematik terhadap 66 studi melaporkan bahwa 1 dari 4 orang dapat secara sukses menghentikan terapi antihipertensi selama lebih dari 2 tahun. Efek samping didapatkan sedikit lebih sering terjadi pada kelompok yang menghentikan terapi dibandingkan dengan kelompok yang melanjutkan, tetapi mayoritas hanya bersifat ringan seperti sakit kepala, nyeri sendi, jantung berdebar, dan edema.[7]

Meski begitu, kemungkinan withdrawal syndrome perlu diwaspadai pada pasien yang menjalani penghentian terapi antihipertensi. Withdrawal syndrome adalah kembalinya sekresi katekolamin atau sensitivitas reseptor yang sebelumnya telah ditekan oleh obat antihipertensi. Sindrom ini lebih mungkin terjadi pada pasien yang sebelumnya mendapat antihipertensi kerja pendek, misalnya agonis alfa seperti clonidine atau beta blocker seperti propranolol.[3]

Selain withdrawal syndrome, ada juga beberapa studi yang melaporkan komplikasi kardiovaskular merugikan setelah  penghentian terapi antihipertensi. Rebound hypertension juga bisa terjadi ketika penurunan dosis. Sebuah studi intervensi menunjukkan bahwa kekambuhan hipertensi paling banyak terjadi pada 5 bulan setelah penghentian obat. Studi lain yang dilakukan pada pasien berusia lebih tua (55-81 tahun) melaporkan tekanan darah meningkat kembali dalam 10-12 minggu setelah penghentian terapi.[3,7,8]

Kesimpulan

Tidak semua pasien hipertensi cocok menjalani program penghentian terapi antihipertensi. Seleksi pasien merupakan komponen yang penting untuk memastikan tidak ada efek merugikan yang dialami pasien setelah menghentikan ataupun melanjutkan obat antihipertensi.

Beberapa pasien yang dapat dipertimbangkan untuk menghentikan terapi antihipertensi adalah pasien yang tidak mengalami kerusakan target organ, pasien dengan hipertensi yang stabil dan terkontrol, pasien dengan tekanan darah sebelum pengobatan masuk dalam kategori hipertensi derajat 1, pasien dengan berat badan normal, serta pasien yang diperkirakan dapat konsisten menjalani modifikasi gaya hidup dan follow up.

Jika akan menghentikan terapi antihipertensi, pastikan untuk melakukan penghentian secara bertahap, yakni dengan menurunkan dosis dari satu jenis obat secara perlahan dalam jangka waktu tertentu sembari melakukan pemantauan tekanan darah. Setelah antihipertensi dihentikan, minta pasien menjaga gaya hidup sehat, kontrol teratur, dan mewaspadai efek samping yang bisa timbul seperti rebound hypertension, withdrawal syndrome, maupun kejadian kardiovaskular yang merugikan (misalnya krisis hipertensi atau angina pektoris).

Referensi