Penanganan Awal Cedera Tersengat Listrik

Oleh :
dr. Inge Nandya H

Penanganan awal cedera akibat tersengat listrik (electrical shock atau electrical injury) harus cepat dan tepat. Pertolongan awal korban cedera listrik terdiri dari tata laksana sebelum masuk rumah sakit (pre-hospital), dan tata laksana di rumah sakit terutama di unit gawat darurat. Walaupun cedera ini sering bersifat ringan, tetapi sengatan listrik dapat menyebabkan berbagai kerusakan organ bahkan henti jantung. [1-4]

Di unit gawat darurat (UGD), dokter harus melakukan triage dan menerapkan penatalaksanaan sesuai dengan electrical shock protocol. Petunjuk penting tentang jalur arus dapat ditemukan dengan mengetahui luka masuk dan luka keluar, yaitu luka bakar atau luka terbuka. Jalur listrik lain mungkin bisa menjadi penyebab cedera ini, sehingga penting dilakukan primary survey dan secondary survey.[5-8]

Penanganan Awal Cedera Tersengat Listrik-min

Cedera Tersengat Listrik

Sekitar 5% pasien yang datang ke unit penanganan trauma di Amerika Serikat merupakan korban tersengat listrik. Cedera tersengat listrik merupakan trauma mekanik kompleks akibat kontak tubuh dengan sumber energi listrik.[1-4]

Kejadian ini sering ditemukan di kehidupan sehari-hari, di mana tingkat keparahan cedera tergantung dari jenis arus sengatan listrik, jenis tegangan listrik (voltage), kondisi fisik korban saat itu, dan seberapa cepat korban mendapatkan pertolongan pertama.[1-4]

Manifestasi klinis yang terjadi dapat bervariasi tergantung jaringan yang terkena. Kulit yang kering memiliki hambatan listrik (resistensi) yang tinggi, sedangkan kulit yang basah memiliki hambatan yang kecil. Oleh karena itu, kulit basah menyerap lebih banyak energi listrik dan mudah mengalami kerusakan. Jaringan saraf juga dapat mengalami kerusakan lebih parah tanpa menunjukkan manifestasi luka pada kulit.[2]

Tata Laksana Awal sebelum Masuk Rumah Sakit

Pertolongan pertama diberikan  secepat mungkin pada korban tersengat listrik di tempat kejadian. Apabila pertolongan pertama dilakukan dengan baik akan menurunkan mortalitas dan morbiditas. Oleh karena itu, tata laksana awal sebelum masuk rumah sakit perlu untuk diketahui.

Aktifkan Sistem Pelayanan Gawat Darurat

Penolong harus segera memanggil bantuan dengan menghubungi fasilitas kesehatan terdekat. Kondisi korban saat itu harus dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas. Selain itu, tempat kejadian juga perlu dilaporkan agar tim bantuan dapat memberikan respons dengan tepat.[2,5,6]

Aman Diri dan Aman Lingkungan

Pertolongan awal pada korban cedera listrik dilakukan sesuai prinsip bantuan hidup dasar (basic life support). Sebelum melakukan pertolongan pertama, penolong harus selalu memastikan lingkungan sekitar korban aman. Seluruh sumber energi listrik di tempat kejadian harus sudah dalam keadaan mati.[5-7]

Jika tidak dapat mematikan sumber listrik, maka penolong harus memindahkan korban menjauhi sumber listrik menggunakan alat yang kering atau dengan barang yang tidak dapat menghantarkan listrik, seperti kain, plastik, atau kayu. Pada lingkungan dengan listrik voltase tinggi, penolong harus menjaga jarak aman dengan korban setidaknya 25 meter hingga sumber listrik dipastikan sudah mati.[1,5,7]

Resusitasi Jantung Paru

Setelah memastikan lingkungan korban dan penolong aman, pemeriksaan kesadaran dapat dilakukan dengan menentukan respon korban. Tindakan ini misalnya dengan memanggil korban, berbicara di dekat telinga meminta korban membuka mata, dan mencubit telinga atau menepuk bahu. Pemeriksaan kesadaran ini bersamaan dengan memeriksa denyut nadi pasien.[5-7]

Korban cedera tersengat listrik dapat mengalami aritmia yang berat, bahkan henti jantung. Pada pasien yang tidak sadarkan diri atau mengalami henti jantung, penolong harus melakukan resusitasi jantung paru (RJP).[5-7]

Trauma sengatan listrik sering terjadi akibat voltase tinggi, sehingga penting untuk melakukan cervical spine immobilization terutama pada korban dengan trauma berat atau penurunan kesadaran. Manipulasi yang dilakukan harus tetap mencegah gerakan berlebihan pada vertebra. Pemasangan cervical collar dapat dipertimbangkan.[2,5,7]

Jika terdapat luka bakar pada wajah dan leher, penolong harus memastikan jalan napas aman. Korban dengan kondisi ini berisiko tinggi mengalami gagal napas, sehingga memerlukan intubasi sesegera mungkin.[2,5,7]

Penanganan Syok

Syok dapat terjadi pada korban cedera tersengat listrik, dengan manifestasi klinis akral dingin, capillary refill time (CRT) >2 detik, penurunan kesadaran, dan denyut nadi lemah. Tindakan awal yang dapat dilakukan adalah mengatur posisi kaki pasien lebih tinggi daripada jantung. Selain itu, jika terdapat sumber perdarahan yang terlihat segera tekan atau bebat dengan kain/benda yang ada.[5-7]

Tim Bantuan Gawat Darurat Datang

Ketika tim bantuan datang, penolong pertama harus melaporkan kondisi awal pasien, mekanisme kejadian, tindakan resusitasi apa saja yang sudah dilakukan, kondisi terbaru pasien (tanda-tanda vital), dan hal penting lain yang ditemukan. Semua informasi tersebut penting untuk tata laksana lebih lanjut saat pasien tiba di rumah sakit.[5,7]

Tata Laksana Primary Survey pada Korban Cedera Listrik

Primary survey terdiri dari resusitasi secara simultan. Terapi yang diberikan berdasarkan luka yang ada, tanda vital, dan mekanisme trauma yang terjadi. Tanda-tanda vital harus diperiksa secara cepat dan tepat, kemudian dilakukan ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, exposure). Selama primary survey, kondisi kegawatan pada pasien merupakan prioritas utama.[2,4,6]

Airway dan Cervical Spine Immobilization

Pemeriksaan ini harus dilakukan dalam waktu singkat (10-second assessment) dengan menanyakan nama dan apa yang terjadi pada pasien. Apabila pasien memberikan jawaban yang sesuai maka kemungkinan tidak terdapat masalah pada airway (berbicara dengan jelas), breathing (dapat mengeluarkan suara saat berbicara), dan kesadaran pasien juga baik (sadar untuk menjelaskan apa yang terjadi).[2,6]

Pada glasgow coma scale (GCS) ≤8, pasien biasanya membutuhkan penanganan jalan napas definitif seperti intubasi. Patensi jalan napas dapat terjadi akibat benda asing di jalan napas, fraktur mandibula atau servikal, atau darah/cairan lain yang menyumbat.[2,6]

Tindakan head-tilt dan chin-lift hanya dilakukan pada pasien yang sudah terbukti tidak mengalami cedera leher, sedangkan jaw-thrust pada pasien dengan kecurigaan cedera leher. Tindakan ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas pasien.[2,6]

Breathing dan Ventilation

Patensi jalan napas tidak menjamin ventilasi yang adekuat. Ventilasi membutuhkan kerja dari paru, dinding dada, dan diafragma, sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan dengan melihat distensi vena jugular, posisi trakea, leher, dan wajah, disertai inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi toraks.[2,4,6]

Pasien dapat mengalami pneumotoraks. Semua pasien trauma harus mendapatkan terapi oksigen serta pemantauan saturasi oksigen.[2,4,6]

Circulation dan Kontrol Perdarahan

Pasien trauma dapat mengalami gangguan sirkulasi akibat perdarahan hingga kondisi syok. Volume darah, cardiac output, dan perdarahan merupakan hal yang harus diperhatikan. Apabila ditemukan perdarahan, bebat luka dilakukan dengan kassa atau tourniquet. Jangan lupa untuk juga dilakukan pemeriksaan perdarahan internal.[4,6]

Pada korban cedera listrik dapat mengalami syok atau mengalami luka bakar, sehingga perlu dilakukan pemasangan akses intravena. Bolus cairan isotonik intravena dapat diberikan sebanyak 10−20 mL/kgBB. Cairan tersebut dapat dihangatkan terlebih dahulu pada suhu 37−40°C.[2,7]

Pada pasien dengan luka bakar, pemberian cairan intravena untuk mensuport tekanan darah dan nadi, serta menormalkan pH disesuaikan dengan formula Parklands.[2,7]

Disability (Evaluasi Neurologis)

Evaluasi neurologi terdiri dari pemeriksaan kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda lateralisasi, dan derajat cedera vertebra apabila ada. Glasgow coma scale (GCS) ditentukan dengan cepat, simpel, dan objektif. Nilai GCS ini akan mempengaruhi prognosis korban trauma.[2,6,7]

Exposure dan Environment Control

Selama primary survey, semua pakaian pasien harus dilepaskan untuk mengetahui cedera lain yang terjadi. Kemudian pasien diberi selimut dan ruangan diberi penghangat untuk mencegah hipotermia. Hipotermia dapat menjadi salah satu penyebab kematian pada pasien trauma, termasuk tersengat listrik. Misalnya pada pekerja yang sedang memperbaiki listrik ketika hujan sehingga suhu lingkungan pasien juga lebih rendah.[6,7]

Tata Laksana Secondary Survey pada Korban Cedera Listrik

Setelah ABCDE pada primary survey selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan secondary survey. Pemeriksaan dari kepala hingga kaki (head-to-toe) dilakukan dengan lebih detail, termasuk pemeriksaan ulang tanda-tanda vital dan pemeriksaan penunjang.[4,6,7]

Anamnesis

Pada pemeriksaan sekunder, anamnesis pasien dilakukan lebih terperinci untuk mengetahui mekanisme terjadinya sengatan listrik. Anamnesis lanjutan harus menggunakan pedoman AMPLE history (allergy, medicationpast illnesses/pregnancy, last meal, dan events/environment), yaitu riwayat alergi, Riwayat pengobatan yang sedang dikonsumsi, riwayat penyakit terdahulu atau kehamilan, waktu makan terakhir, serta mekanisme dan lingkungan yang berkaitan dengan trauma. Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme trauma sehingga jika diketahui mekanismenya penanganan yang diberikan akan lebih tepat.[4,6,7]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus menyeluruh, yaitu:

  • Kepala: cedera neurologis, kulit kepala (laserasi, kontusio, tanda fraktur), mata (tajam penglihatan, ukuran pupil, perdarahan konjungtiva atau fundus, trauma penetrasi, pemakaian lensa kontak, ocular entrapment), dan maksilofasial (fraktur)[2,6]
  • Toraks: nyeri dada, dyspnea, dan hipoksia yang dapat disebabkan pneumothorax, flail chest, atau tamponade jantung[4,6,7]
  • Abdomen dan pelvis: trauma/perdarahan intraabdomen yang memerlukan observasi ketat karena sering tidak terlihat secara jelas pada awal trauma. Fraktur pelvis dapat terjadi pada korban yang jatuh dari ketinggian karena tidak sadarkan diri saat tersetrum listrik[6,7]
  • Sistem integumen: luka bakar dari paparan listrik voltase rendah seringkali superfisial, baik pada luka masuk dan keluar. Luka bakar kilat (flash burn) dapat disebabkan oleh paparan energi listrik tegangan tinggi yang melalui udara dan melintasi area kulit luas[2,4]
  • Sistem muskuloskeletal: kontusio atau deformitas akibat trauma otot, tendon, dan tulang. Trauma termal dapat mengakibatkan kerusakan otot, rhabdomyolysis, mionecrosis, dan compartment syndrome. Selain itu, cedera pada tulang dapat terjadi akibat jatuh. Sebanyak 11% pasien dengan sengatan listrik mengalami fraktur, dislokasi, dan trauma otot[2,4,6,7]
  • Sistem saraf: evaluasi motorik dan sensorik, disertai pemeriksaan ulang (GCS) serta ukuran dan respon pupil dan risiko spinal cord injury. Keluhan neurologis yang paling umum setelah tersengat listrik adalah kehilangan kesadaran. Namun, lebih dari 80% pasien memiliki keluhan neurologis yang tertunda, termasuk parestesia dan mati rasa permanen pada luka masuk dan keluar. Gejala jangka panjang lainnya adalah fatigue dan kesulitan berkonsentrasi[2,4,6]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan oleh korban cedera listrik adalah elektrokardiogram (EKG), laboratorium darah, dan pencitraan.

Elektrokardiogram:

Salah satu efek yang paling mengkhawatirkan dari luka bakar listrik adalah aritmia dan kerusakan otot jantung, sehingga perlu pemeriksaan EKG. Jika pasien cedera tegangan rendah (<1000 Volt), dengan EKG normal pada saat tiba di UGD di mana cedera otot jantung tidak signifikan (kenaikan troponin tidak signifikan) dan tidak sadar,  maka tidak memerlukan pemantauan jantung.

Jika diperlukan, durasi monitoring EKG diperlukan minimal 24 jam. Gambaran EKG dapat menunjukkan adanya ST elevasi dan atrial fibrilasi. Selain itu, juga dapat menunjukkan gambaran Brugada.[2,4,9,11]

Laboratorium:

Pemeriksaan darah lengkap dan urinalisis diperlukan untuk cedera tersengat listrik dengan luka masuk dan keluar yang parah atau dengan EKG abnormal. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai cedera jantung, terutama jika pemeriksaan troponin dan creatine kinase-muscle/brain (CK-MB) tidak tersedia. Sedangkan untuk menilai rhabdomyolysis, creatine kinase (CK) yang meningkat signifikan (>80 ng/mL) menunjukkan risiko nekrosis tubular akut dan mungkin memerlukan debridemen atau amputasi pada beberapa kasus.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan analisa gas darah (AGD), terutama pada pasien dengan gangguan pernapasan. Selain untuk evaluasi kecukupan oksigenasi dan ventilasi, AGD juga dapat menunjukkan syok jika pH rendah serta pengeluaran basa yang berlebihan.  Urinalisis dilakukan karena pasien tersengat listrik dapat mengalami gagal ginjal akut yang menunjukkan adanya myoglubinuria dan/atau hematuria.[2,4,6]

Pencitraan:

Focused assessment with sonography in trauma (FAST) dengan USG abdomen dilakukan untuk skrining cedera dan/atau perdarahan intraabdomen. Pemeriksaan rontgen (x-ray) pada korban cedera listrik dilakukan sesuai indikasi, misalnya CT scan otak, tulang belakang, abdomen, toraks, atau area tulang yang nyeri atau mengalami deformitas. Pemeriksaan arterial and venous doppler dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan trombosis.[2,4]

Penanganan pada Ibu Hamil

Cedera listrik akibat paparan arus rendah tidak akan mempengaruhi outcome janin. Awwad et al. menyampaikan sebuah laporan kasus ibu hamil usia kehamilan 28 minggu yang tersengat listrik. Ibu hamil tersebut mengalami penurunan gerakan pada janin. Walaupun EKG ibu dalam batas normal, tetapi ditemukan adanya tanda-tanda fetal distress. Oleh karena itu, ibu hamil dengan usia kehamilan >20 minggu harus mendapatkan monitoring janin setelah tersengat listrik.[2,4,10]

Penanganan pada Anak

Meskipun pada anak seringkali terpapar tegangan rendah di rumah, mereka memiliki kecenderungan morbiditas luka bakar yang lebih parah, karena kulit yang lebih tipis, area tubuh yang lebih kecil, dan resistansi energi listrik yang lebih rendah.[2,4]

Anak usia <5 tahun lebih sering bermanifestasi dengan oro-facial burns. Sekitar 24% mengalami perdarahan pada arteri labia dan kerusakan gigi. Anak usia yang lebih tua juga sering terkena paparan tegangan rendah dan trauma pada ekstremitas atas yang membutuhkan fasciotomi atau skin graft.[2,4]

Kesimpulan

Bahaya utama pada korban cedera listrik adalah henti jantung yang dapat menimbulkan kematian. Penanganan awal korban tersengat listrik yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Pertolongan diberikan mulai dari pre-hospital hingga di rumah sakit.

Sebelum bertindak, penolong pertama harus memastikan diri aman dan lingkungan aman. Sumber listrik harus dipastikan telah mati terlebih dahulu. Pada lingkungan dengan listrik voltase tinggi, penolong harus menjaga jarak aman dengan korban setidaknya 25 meter hingga sumber listrik mati. Jika tidak dapat mematikan sumber listrik, maka penolong harus memindahkan korban menjauhi sumber listrik menggunakan alat yang kering atau dengan barang yang tidak dapat menghantarkan listrik, seperti kain, plastik, atau kayu.

Di rumah sakit, penanganan awal korban dilakukan berdasarkan primary dan secondary surveyPrimary survey dilakukan dengan melakukan pemeriksaan ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, exposure), di mana prioritas adalah mengatasi kondisi kegawatan pasien. Sedangkan pada secondary survey, dilakukan pemeriksaan yang lebih detail dan teliti, yaitu anamnesis dengan AMPLE history, pemeriksaan fisik head-to-toe, serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah EKG, laboratorium darah dan urinalisis, dan pencitraan.

Referensi