Pedoman Praktis Skrining dan Penanganan Awal COVID-19

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Munculnya pandemi Coronavirus disease 2019, atau COVID-19, yang telah mewabah di Cina dan negara lainnya, mengharuskan dokter di Indonesia memahami skrining dan penanganan awal penyakit yang mempunyai gejala menyerupai influenza ini.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan adanya kasus sindrom respirasi akut yang bersumber dari Wuhan, Cina, dengan penyebabnya adalah virus Corona (SARS-CoV-2). Infeksi virus Corona sangat cepat menyebar melalui droplets yang ditularkan antar manusia. Sampai saat ini, COVID-19 sudah terdeteksi di banyak negara, termasuk Indonesia. Beberapa negara seperti Cina, Korea Selatan, Jepang, Italia, dan Iran merupakan negara dengan risiko tinggi penularan COVID-19.[1]

Berdasarkan laporan terakhir dari European Centre for Disease Prevention and Control pada 26 April 2020, terdapat 2.844.712 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi positif dan ada sebanyak 201.315 kematian yang diakibatkan oleh penyakit ini.[1]

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), sampai tanggal 27 April 2020, terdapat 8.882 kasus konfirmasi positif COVID-19 (1.107 orang sembuh dan 743 orang meninggal). Indonesia dilaporkan sudah memiliki transmisi lokal dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, hingga Papua.[2]

Sekilas tentang COVID-19

Virus Corona merupakan virus RNA yang berasal dari famili Coronaviridae. Patofisiologi virus ini belum sepenuhnya dimengerti, tetapi sel epitel saluran pernapasan dan pencernaan merupakan target utama virus ini sehingga rute transmisinya dapat berbeda-beda, yaitu dengan kontak langsung, airbornefecal-oral, dan fomite yang terkontaminasi. Masa inkubasi virus Corona sekitar 5 hari (2-14 hari).

Virus Corona sebelumnya juga pernah mewabah dalam beberapa tahun terakhir dan menyebabkan infeksi respiratorik pada manusia, yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003 dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) pada tahun 2012. Virus Corona yang menyebabkan wabah kali ini adalah SARS-CoV-2. Sampai saat ini, diduga hewan, terutama kelelawar, merupakan perantara penularan COVID-19.[3-6]

Presentasi Klinis Pasien Terinfeksi Virus Corona

Sama seperti infeksi virus lainnya, penyakit COVID-19 dapat bersifat asimptomatik dan dapat juga menimbulkan gejala yang ringan, seperti pada infeksi saluran napas atas (ISPA); gejala yang berat, seperti pneumonia; bahkan sampai menimbulkan kematian. Terdapat sekitar 17-29% pasien mengalami sindrom distress pernapasan akut dan 10% mengalami infeksi sekunder.[3-5]

Tanda dan gejala yang terjadi adalah demam, batuk, nyeri tenggorokan, dan dispnea. Beberapa gejala lain yang dapat terjadi adalah mialgia/fatigue, nyeri kepala, dan diare.[3-5]

Faktor risiko yang dapat memperberat gejala COVID-19 adalah usia lanjut, ibu hamil, serta adanya penyakit kronis seperti diabeteshipertensi, penyakit kardiovaskular, dan kanker.[3-5]

Kriteria Pasien COVID-19

Sebagian besar pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 mengalami gejala demam, batuk, dan sesak napas. Dokter juga perlu melakukan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyebab lain yang dapat menimbulkan gejala yang pasien alami.[5]

Dokter harus segera menghubungi petugas pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan dan Dinas Kesehatan atau Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) apabila ada pasien yang dicurigai terinfeksi virus Corona. Saat ini, nomor hotline untuk pelaporan COVID-19 adalah 119 ext. 9.[2,7]

Kemenkes RI menetapkan beberapa kriteria terkait COVID-19, yaitu orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), kasus probabel, dan kasus konfirmasi.

Orang Tanpa Gejala

Orang Tanpa Gejala (OTG) adalah orang yang memiliki risiko tertular (kontak erat) pasien konfirmasi COVID-19.

Orang Dalam Pemantauan (ODP)

Orang Dalam Pemantauan (ODP) dapat ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:

  1. Orang yang mengalami demam ≥38⁰C atau riwayat demam; atau gejala penyakit saluran pernapasan, seperti batuk, pilek, dan sakit tenggorokan DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan manifestasi klinis yang ada DAN memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di daerah yang melaporkan transmisi lokal dalam 14 hari sebelum timbul gejala
  2. Orang yang mengalami gejala penyakit saluran pernapasan seperti batuk, pilek, dan sakit tenggorokan DAN memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19 dalam 14 hari sebelum timbul gejala

Pasien dalam Pengawasan (PDP)

Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dapat ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:

  1. Orang dengan gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yaitu demam ≥38⁰C atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan, seperti batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, pilek, atau pneumonia ringan hingga berat, DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di daerah melaporkan transmisi local dalam 14 hari sebelum timbul gejala
  2. Orang dengan demam ≥38⁰C atau riwayat demam atau ISPA DAN memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19 dalam 14 hari sebelum timbul gejala
  3. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan

Kriteria pneumonia berat adalah:

  • Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari kriteria berikut: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar
  • Pasien anak dengan batuk atau sesak napas, ditambah setidaknya satu dari kriteria berikut: sianosis sentral atau SpO2 <90%; distres pernapasan berat (seperti stridor, tarikan dinding dada yang berat); ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang. Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun, ≥30x/menit[2]

Kasus Konfirmasi

Kasus konfirmasi adalah seseorang yang memiliki hasil pemeriksaan PCR yang positif terhadap COVID-19.[2]

Skrining Infeksi Virus Corona

Pada pasien yang asimptomatik dengan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19 (Orang Tanpa Gejala) harus dilakukan pemeriksaan awal/skrining.

Disebut kontak erat apabila seseorang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan PDP atau kasus konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus menunjukkan gejala sampai 14 hari setelah kasus menunjukkan gejala.

Orang yang termasuk kontak erat adalah, sebagai berikut:

  1. Petugas kesehatan yang memeriksa atau merawat pasien, mengantar makanan, dan membersihkan ruangan tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar
  2. Orang yang berada dalam ruangan yang sama dengan PDP atau kasus konfirmasi dalam 2 hari sebelum kasus menunjukkan gejala sampai 14 hari setelah kasus menunjukkan gejala
  3. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus menunjukkan gejala sampai 14 hari setelah kasus menunjukkan gejala

Pada individu dengan kriteria OTG, ODP, dan PDP dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan secara mandiri di rumah. Untuk kriteria PDP gejala sedang hingga berat, PDP gejala ringan dengan fasilitas karantina rumah yang tidak memadai, serta ODP yang berusia di atas 60 tahun, karantina dapat dilakukan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh Kemenkes, seperti rumah sakit penyakit infeksi (RSPI) Sulianti Saroso dan rumah sakit umum pusat (RSUP) Persahabatan, untuk dilakukan penegakan diagnosis dan perawatan. Selain untuk diagnostik, skrining juga dapat disarankan sebelum operasi pada pasien yang bergejala.[2,7,8]

Penatalaksanaan Awal Pasien Terinfeksi Virus Corona

Belum ada penatalaksaan yang spesifik untuk penyakit ini. Penatalaksanaan dengan antivirus juga belum terbukti efektif menyembuhkan infeksi virus Corona, sehingga fokus penatalaksanaannya adalah dengan mengobati gejala klinis dan terapi suportif seperti suplementasi oksigen, manajemen cairan, dan antibiotik jika diperlukan.[4,9,10]

Saat ini, dua jenis obat, yaitu klorokuin fosfat dan remdesivir, sedang diteliti untuk pengobatan COVID-19. Klorokuin fosfat, yang biasa digunakan untuk mengobati malaria, telah ditemukan dapat menghambat replikasi dari SARS-CoV pada kultur sel. Studi lain juga menyatakan bahwa klorokuin mungkin memiliki efek profilaktik maupun terapeutik terhadap COVID-19. Redemsivir, yang merupakan antivirus spektrum luas, ditemukan dapat mengintervensi rantai RNA dari virus Corona. Namun, kedua obat ini masih dalam tahap uji klinis untuk menilai efektivitasnya terhadap penyakit COVID-19.[11-15]

Pasien dengan presentasi klinis yang ringan mungkin saja tidak membutuhkan rawat inap di rumah sakit. Namun, karantina terhadap pasien ini tetap perlu dilakukan. Apabila terdapat faktor risiko pemberat derajat keparahan penyakit, yakni kelompok usia tertentu, seperti bayi, anak-anak, dan usia tua; memiliki penyakit kronis, seperti penyakit paru obstruktif kronis, kanker, gagal jantungpenyakit ginjal kronis, gangguan liver, diabetes, dan penyakit imunokompromais; atau sedang hamil, sebaiknya petugas kesehatan melakukan pemantauan lebih ketat.[4,9,10]

Manajemen klinis infeksi virus Corona berdasarkan WHO terbagi menjadi beberapa langkah, yaitu:

Triase

Pada triase dilakukan identifikasi pasien dengan kriteria pengawasan infeksi virus Corona.

Kontrol Infeksi

Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi harus segera dilakukan apabila pasien dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi virus Corona. Tindakan kontrol infeksi berupa:

  • Berikan pasien masker bedah
  • Karantina pasien pada ruangan tertutup
  • Pasien yang dirawat di rumah harus diisolasi di ruangan terpisah dengan anggota keluarga lainnya dan menggunakan masker selama kontak dengan anggota keluarga
  • Pasien dan seluruh anggota keluarga harus mengikuti aturan cuci tangan dan etika batuk yang benar

Terapi Suportif dan Pemantauan Ketat

Penanganan awal pasien dengan infeksi virus Corona adalah dengan mengobati gejala klinis dan terapi suportif seperti:

  • Berikan oksigen tambahan pada pasien yang mengalami sesak napas, hipoksemia, atau syok dengan terapi oksigen inisial 5 liter per menit dengan target saturasi oksigen ≥90%
  • Manajemen cairan dengan menggunakan cairan intravena namun dengan pengawasan ketat karena resusitasi cairan yang terlalu agresif dapat memperburuk oksigenasi
  • Berikan antimikroba empiris dalam waktu 1 jam pada pasien yang mengalami sepsis
  • Tidak memberikan kortikosteroid sistemik pada penatalaksanaan pneumonia virus atau sindrom distress pernapasan akut karena berdasarkan studi pada pasien SARS dilaporkan tidak ada manfaat pada survival dan adanya kemungkinan efek samping berupa nekrosis avascular, psikosis, diabetes, dan penundaan pengeluaran virus dalam tubuh
  • Pemantauan ketat pasien apakah terdapat pemburukan, sepsis, atau gagal napas

  • Pertimbangkan adanya kondisi komorbid pada pasien yang dapat memengaruhi prognosis dan komunikasikan sejak awal kepada pasien dan keluarga

Pemeriksaan Laboratorium

Reverse-Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR):

Spesimen swab nasofaringeal diambil segera setelah pasien masuk ke dalam kriteria OTG, ODP, atau PDP. Spesimen dari saluran napas atas, saluran napas bawah, dan serum oleh tenaga kesehatan terlatih dengan memperhatikan pencegahan dan pengendalian infeksi. Setelah itu, spesimen dikirim ke laboratorium Balitbangkes untuk diperiksa.

Pemeriksaan Serologi (Rapid Test):

Pemeriksaan serologi COVID-19 juga dapat dilakukan dengan rapid test. Namun, WHO tidak merekomendasikan untuk menggunakan tes ini sebagai manajemen klinis pasien oleh karena tingkat sensitivitasnya rendah.

Pemeriksaan Darah:

Pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami COVID-19. Beberapa kelainan, seperti limfopenia, leukopenia, leukositosis, eosinopenia, dapat ditemukan pada penderita COVID-19. Pemeriksaan kultur darah juga mungkin diperlukan jika ada kecurigaan terhadap infeksi bakteri yang tidak menunjukkan respons pada antiobiotik empirik.

[2,6,910]

Pentingnya Alat Pelindung Diri bagi Tenaga Kesehatan

Pada kasus wabah SARS tahun 2003 lalu, banyak kasus kematian terjadi pada dokter dan tenaga kesehatan lainnya. CDC mengidentifikasi adanya kelemahan pada pencegahan dan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan saat wabah SARS, padahal tenaga kesehatan memiliki risiko tertinggi untuk terinfeksi virus mematikan seperti SARS dan virus Corona ini.

Belajar dari kesalahan tersebut, CDC megeluarkan rekomendasi pengendalian dan pencegahan infeksi. Beberapa komponen dari rekomendasi tersebut adalah:

  • Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau dengan cairan antimikroba dengan ethanol >60%. Cuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien

  • Menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, gaun, masker, dan pelindung mata
  • Pakai masker N95/respirator yang bersertifikat NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health) saat memasuki area perawatan pasien COVID-19. Jika masker N95 atau pelindung pernapasan yang lebih baik tidak tersedia, kenakan masker bedah yang pas untuk mencegah kontak hidung dan mulut dengan droplet yang besar. Buang respirator saat meninggalkan ruang perawatan
  • Pakai pelindung mata dan wajah jika akan berada pada jarak 1 meter dari pasien dan jika ada kemungkinan terciprat sekret pasien. Pelindung wajah harus menutupi seluruh bagian depan dan membungkus kedua sisi wajah. Kacamata korektif atau lensa kontak tidak dianggap sebagai pelindung mata
  • Hindari menyentuh wajah dengan sarung tangan yang terkontaminasi
  • Hindari menyentuh permukaan benda yang tidak perlu dengan sarung tangan yang terkontaminasi
  • Pakai sarung tangan apabila akan bersentuhan dengan peralatan makan ataupun benda yang bersentuhan dengan pasien

Penggunaan alat pelindung diri yang memadai sangatlah penting untuk mengurangi risiko infeksi virus Corona pada tenaga kesehatan.[16]

Kesimpulan

Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 merupakan penyakit yang dapat menyerang sistem pernapasan. Pasien yang mengalami demam dan batuk atau sesak napas serta terdapat riwayat perjalan dari negara Cina atau terpajan pada pasien yang dicurigai/terkonfirmasi COVID-19 harus dimasukkan ke dalam kriteria pengawasan dan dilakukan pemantauan selama 14 hari. Dokter harus melaporkan ke Dinas Kesehatan apabila ada pasien yang termasuk dalam kriteria pengawasan virus Corona.

Penatalaksanaan awal COVID-19 adalah dengan suplementasi oksigen, manajemen cairan, antibiotik jika diperlukan, dan kontrol infeksi agar infeksi tidak semakin menyebar. Rajin mencuci tangan dan memakai alat pelindung diri yang memadai sangat penting untuk mencegah penularan COVID-19 pada tenaga kesehatan.

Referensi