Rapid Test untuk Skrining COVID-19

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

Rapid test banyak digunakan untuk skrining awal COVID-19. Meski begitu, pemeriksaan ini tidak serta merta bisa dijadikan basis penegakan diagnosis klinis COVID-19. Hasil pemeriksaan rapid test COVID-19 harus tetap dikonfirmasi dengan Real-Time Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Selain itu, di era endemik saat ini terutama pada pasien risiko rendah, pemeriksaan COVID-19 tidak mengubah manajemen pasien sehingga tidak diperlukan.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Terdapat 3 metode utama pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi COVID-19, yakni Rapid Diagnostic Test (RDT), Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), dan CT scan toraks. Pasien risiko tinggi yang diduga COVID-19 perlu mengetahui dengan cepat apakah mereka terinfeksi, sehingga mereka dapat melakukan isolasi mandiri dan menerima perawatan. RDT menguntungkan karena hasil pemeriksaan keluar lebih cepat dibandingkan RT-PCR dan membutuhkan biaya lebih murah.[2-4]

Peran Rapid Diagnostic Test dalam Diagnosis COVID-19

Saat ini, infeksi COVID-19 dikonfirmasi dengan tes laboratorium yang disebut RT-PCR, yang menggunakan peralatan khusus dan bisa memerlukan waktu setidaknya 24 jam untuk mendapatkan hasil. Rapid Diagnostic Test (RDT) memberi hasil lebih cepat dan memperluas akses untuk pengujian bagi lebih banyak orang, dengan dan tanpa gejala, serta bisa dilakukan di lokasi selain tempat perawatan kesehatan.

shutterstock_1656883729-min

RDT di Indonesia terdiri dari rapid test antigen dan rapid test antibodi. Pada rapid test antigen, spesimen diambil dari swab orofaring atau nasofaring. Sementara itu, spesimen rapid test antibodi berasal dari darah.[4,5]

Rapid Test Antigen

Rapid test antigen merupakan tes diagnostik COVID-19 untuk mendeteksi keberadaan antigen virus SARS-CoV-2 dari sampel yang berada di saluran pernapasan. Antigen ini akan lebih mudah terdeteksi ketika virus aktif bereplikasi.

Pemeriksaan rapid tes antigen dilaporkan memiliki sensitivitas yang tinggi apabila dilakukan pada tahap awal infeksi dimana kadar virus masih tinggi dan akan cenderung menurun hingga di bawah batas deteksi jika spesimen dikumpulkan di luar 5-7 hari dari onset gejala. Rapid test antigen dapat digunakan sebagai salah satu metode pemeriksaan untuk pelacakan kontak, penegakan diagnosis, dan skrining COVID-19.[6-8]

Sensitivitas dan Spesifisitas Rapid Test Antigen

Rapid test antigen telah dilaporkan memiliki tingkat spesifisitas berkisar antara 99,3% hingga 100%. Meski demikian, tingkat sensitivitas pemeriksaan ini dilaporkan hanya 30,2% hingga 84%, sehingga jika dilakukan pemeriksaan pada pasien asimptomatik akan sering didapatkan hasil negatif palsu.[6,9,10]

Tinjauan Cochrane (2022) mengevaluasi 152 penelitian yang menyelidiki total 100.462 sampel hidung atau tenggorokan. Pada orang dengan COVID-19 yang terkonfirmasi, rapid test antigen dengan tepat mengidentifikasi infeksi COVID-19 pada 73% pasien simptomatik, dibandingkan 55% pasien asimptomatik. Tinjauan ini menemukan bahwa tes paling akurat bila digunakan pada minggu pertama setelah gejala muncul.

Untuk pasien asimptomatik, tes paling akurat dilakukan pada orang yang pernah kontak dengan kasus infeksi COVID-19. Pada orang yang tidak memiliki COVID-19, rapid test antigen dengan tepat mengeksklusi infeksi pada 99,6% orang dengan gejala dan 99,7% orang tanpa gejala.[10]

Rapid Test Antibodi

Rapid test antibodi adalah salah satu metode uji untuk mendeteksi respon antibodi terhadap infeksi COVID-19. Pemeriksaan rapid test antibodi dapat mengidentifikasi antibodi yang terbentuk pasca terinfeksi, yaitu berupa imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG).

IgM adalah antibodi yang terbentuk saat pertama kali terinfeksi virus, biasanya bersirkulasi dalam darah dan dapat dideteksi setelah 3-6 hari. IgG adalah antibodi yang bersirkulasi dalam plasma, dapat dideteksi setelah 8 hari dan merupakan kekebalan jangka panjang.[3,11]

Kelebihan dan Kekurangan Rapid Test Antibodi

Beberapa kelebihan rapid test antibodi yaitu menghemat waktu karena lebih mudah dilakukan dan interpretasi cepat, tidak membutuhkan peralatan yang banyak dan hanya membutuhkan sedikit darah dari ujung jari karena sama baiknya dengan darah dari vena. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi antibodi IgG dan IgM pada carrier SARS-CoV-2 yang asimptomatik, sehingga dapat digunakan untuk mengontrol penyebaran COVID-19.[12,13]

Adapun kekurangan dari rapid test antibodi adalah bahwa pemeriksaan ini tidak dapat mengkonfirmasi keberadaan virus SARS-CoV-2, melainkan hanya menyediakan info adanya reaksi imunitas terhadap infeksi. Pemeriksaan antibodi untuk skrining COVID-19 juga masih memungkinkan hasil yang negatif palsu dan positif palsu.

Penyebab hasil negatif palsu antara lain:

  • Konsentrasi antibodi yang rendah: jika kadar IgG dan IgM di bawah batas deteksi dari pemeriksaan, maka hasilnya akan menjadi negatif
  • Perbedaan respon imun tiap individu dalam produksi antibodi: misalnya, pada pasien immunocompromised memiliki gangguan pembentukan antibodi
  • Antibodi IgM yang akan berkurang kadarnya atau bahkan menghilang setelah 2 minggu

Sementara itu, penyebab hasil positif palsu antara lain:

  • Kemungkinan reaksi silang (cross reactive) dengan jenis virus corona lain
  • Infeksi lampau dengan jenis virus corona selain virus SARS-CoV-2[12-14]

Rekomendasi Pedoman Klinis di Indonesia

Rekomendasi pedoman klinis penggunaan RDT yang digunakan di Indonesia merupakan hasil kerjasama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yang diterbitkan Januari tahun 2022.

Menurut pedoman tersebut, pemeriksaan rapid test antigen dapat digunakan sebagai tes diagnostik hanya bila sarana pemeriksaan RT-PCR tidak tersedia. Meski demikian, rapid test antigen harus dilakukan pada waktu dan cara pengambilan sampel yang tepat. Di sisi lain, pemeriksaan rapid test antibodi digunakan hanya untuk mengetahui seroprevalensi saat melakukan surveilans epidemiologi COVID-19. Perlu dicatat bahwa pedoman ini cukup tertinggal karena menggunakan basis bukti dari tahun 2020 dan awal 2021.[15]

Kesimpulan

Pemeriksaan rapid test COVID-19 di Indonesia tidak disarankan sebagai alat diagnosis tunggal. Alat diagnosis COVID-19 yang direkomendasikan adalah pemeriksaan Real-Time Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Jika RT-PCR tidak tersedia, rapid test antigen dapat digunakan sebagai alat diagnostik, tetapi dokter harus memastikan bahwa waktu dan cara pengambilan sampel tepat. Rapid test antigen memiliki akurasi diagnostik yang lebih baik pada pasien yang simptomatik dan bila dilakukan dalam minggu pertama setelah gejala muncul.

Di sisi lain, rapid test antibodi bukan merupakan alat diagnosis yang direkomendasikan untuk digunakan secara klinis. Pemeriksaan ini hanya dianjurkan digunakan untuk menilai seroprevalensi pada penelitian epidemiologi COVID-19.

Saat ini kita telah memasuki era endemik COVID-19 dimana sebagian besar orang di Indonesia telah terinfeksi atau divaksinasi atau keduanya. Strategi pengujian harus dinilai berdasarkan risiko pasien akan memerlukan rawat inap atau tidak, terutama perawatan ICU.

Hasil tes COVID-19 akan sangat jarang mengubah manajemen pasien risiko rendah, sehingga kurang ada manfaatnya tetapi menghabiskan biaya keuangan yang tidak perlu. Oleh karena itu, pengujian harus dilakukan hanya untuk pasien risiko tinggi dan pedoman klinis yang ada saat ini perlu diperbarui.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Nurul Falah

Referensi