Cytisinicline untuk Terapi Berhenti Merokok – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ

Cytisinicline for Smoking Cessation: A Randomized Clinical Trial

Rigotti NA, Benowitz NL, Prochaska J, Leischow S, Nides M, Blumenstein B, Clarke A, Cain D, Jacobs C. Cytisinicline for Smoking Cessation: A Randomized Clinical Trial. JAMA. 2023 Jul 11;330(2):152-160. PMID: 37432430.

studilayak

Abstrak

Kepentingan: seperti varenicline, cytisinicline (cytisine) merupakan alkaloid berbasis tanaman yang berikatan secara selektif dengan reseptor nikotinik asetilkolin α4β2, yang merupakan mediator ketergantungan nikotin. Meskipun belum disetujui di Amerika Serikat, obat ini telah digunakan di beberapa negara Eropa untuk membantu pasien berhenti merokok. Akan tetapi, regimen dosis dan durasi terapi yang diberikan mungkin belum optimal.

Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi dan tolerabilitas cytisinicline untuk terapi berhenti merokok ketika diberikan dalam regimen dosis baru yang berbasis farmakokinetik selama 6 atau 12 minggu, dibandingkan dengan plasebo.

Desain dan partisipan: penelitian ini merupakan suatu uji klinis acak terkontrol dengan plasebo, yang dilakukan secara double-blind terhadap 3 kelompok subjek. Penelitian ini membandingkan dua durasi terapi cytisinicline (6 atau 12 minggu) dengan plasebo. Follow-up berjalan sampai minggu ke-24. Partisipan adalah 810 perokok dewasa yang merokok setiap hari dan ingin berhenti merokok. Penelitian ini dilakukan di 17 lokasi di Amerika Serikat pada bulan Oktober 2020 sampai Desember 2021.

Intervensi: subjek diacak (1:1:1) ke kelompok cytisinicline 3 mg, 3 kali sehari selama 12 minggu (n=270); kelompok cytisinicline 3 mg, 3 kali sehari selama 6 minggu kemudian plasebo 3 kali sehari selama 6 minggu (n=269); dan kelompok plasebo 3 kali sehari selama 12 minggu (n=270). Semua subjek mendapatkan dukungan terapi perilaku.

Luaran: luaran primer adalah abstinensia merokok secara kontinu selama 4 minggu terakhir terapi, yang diverifikasi secara biokimia pada kelompok cytisinicline maupun plasebo. Luaran sekunder adalah abstinensia merokok tersebut dari akhir periode terapi sampai minggu ke-24.

Hasil: dari 810 subjek yang telah diacak (rerata umur 52,5 tahun; 54,6% perempuan; rerata merokok 19,4 batang sehari); 618 subjek menyelesaikan penelitian.

Untuk kelompok cytisinicline 6 minggu vs. plasebo, angka abstinensia adalah 25,3% vs. 4,4% selama minggu 3–6 (odds ratio [OR] 8.0; 95% CI 3.9–16.3; P < .001) dan 8,9% vs. 2,6% selama minggu 3–24 (OR 3.7; 95% CI 1.5–10.2; P = .002).

Untuk kelompok cytisinicline 12 minggu vs. plasebo, angka abstinensia adalah 32,6% vs. 7% selama minggu 9–12 (OR 6.3; 95% CI 3.7–11.6; P < .001) dan 21,1% vs 4,8% selama minggu 9–24 (OR 5.3; 95% CI 2.8–11.1; P < .001).

Mual, mimpi yang tidak wajar, dan insomnia ditemukan pada <10% subjek pada setiap kelompok. Sebanyak 16 (2,9%) subjek tidak melanjutkan penelitian karena adverse event. Namun, tidak ada adverse event serius yang berhubungan dengan obat.

Kesimpulan: terapi 6 minggu maupun 12 minggu dengan cytisinicline, yang dibantu dengan terapi perilaku, menunjukkan efikasi yang baik untuk terapi berhenti merokok dan menunjukkan tolerabilitas yang baik. Cytisinicline bisa dipertimbangkan sebagai opsi terapi berhenti merokok.

CytisiniclineMerokok

Ulasan Alomedika

Kebiasaan merokok merupakan penyebab kematian yang bisa dicegah. Obat-obat bisa membantu pasien yang ingin berhenti merokok agar lebih berhasil mempertahankan abstinensia. Namun, mayoritas obat untuk terapi berhenti merokok yang tersedia saat ini masih menunjukkan tingkat abstinensia jangka panjang yang rendah dan efek samping yang menyebabkan orang enggan menggunakannya. Sejak tahun 2006, tidak ada obat baru yang diusulkan untuk terapi berhenti merokok.

Cytisinicline (cytisine) merupakan alkaloid berbasis tanaman, seperti varenicline, yang berikatan secara selektif dengan reseptor nikotinik asetilkolin α4β2, yang merupakan mediator ketergantungan nikotin. Obat ini telah diteliti dan digunakan di beberapa negara Eropa, Australia, dan Selandia Baru untuk terapi berhenti merokok.

Cytisinicline dilaporkan aman digunakan di negara-negara tersebut. Namun, belum ada publikasi mengenai durasi terapi yang optimal untuk obat ini. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui durasi terapi yang optimal.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol dengan plasebo, yang dilakukan secara multicenter dan double blind. Subjek penelitian ini adalah 810 perokok dewasa berusia >18 tahun, yang merokok ≥10 batang setiap hari, memiliki hasil pemeriksaan ekspirasi CO ≥10 ppm, dan siap berhenti merokok.

Subjek dieksklusi bila menggunakan produk tembakau non-rokok (cerutu, merokok dengan pipa, hookah, rokok smokeless), rokok elektronik, obat terapi berhenti merokok lain (bupropion, varenicline, nortriptyline, produk pengganti nikotin), atau ganja dalam 28 hari sebelum penelitian atau berencana menggunakannya selama penelitian.

Kriteria eksklusi lainnya adalah hipertensi yang tidak terkontrol, gangguan hepar atau ginjal, riwayat serangan jantung dalam 3 bulan, unstable angina, cerebrovascular accident, atau rawat inap karena gagal jantung kongestif, gejala depresi sedang sampai berat, diagnosis skizofrenia atau gangguan bipolar, psikosis, perilaku atau ide bunuh diri, atau menggunakan zat terlarang.

Kriteria eksklusi yang digunakan tersebut bertujuan untuk membatasi ekstrapolasi hasil penelitian hanya pada mereka yang mengalami ketergantungan nikotin akibat rokok konvensional dan bukan akibat sumber nikotin lainnya. Namun, eksklusi subjek dengan gangguan psikologis membuat hasil penelitian tidak bisa diterapkan pada populasi tersebut. Padahal, penelitian lain pernah menunjukkan bahwa subjek dengan gangguan psikologis merupakan kelompok berisiko tinggi untuk ketergantungan nikotin.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran klinis yang dinilai dalam penelitian ini adalah abstinensia pada 4 minggu terakhir terapi dan pada masa follow-up hingga minggu ke-24 post-randomization.

Luaran tersebut penting untuk membuktikan bahwa efek terapeutik obat ini tidak hanya muncul ketika konsumsi obat, tapi juga bisa membantu pasien untuk tetap abstinensia sekalipun obat telah dihentikan. Hal ini juga bisa menunjukkan besarnya angka relapse setelah terapi dengan cytisinicline. Kemampuan untuk mencegah relapse merupakan komponen penting dalam terapi berhenti merokok.

Dalam penelitian ini, penilaian mengenai abstinensia rokok bukan hanya berdasarkan laporan subjektif pasien, tetapi juga menggunakan pemeriksaan biokimia yang bersifat objektif, yaitu pemeriksaan kadar CO dalam napas.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka abstinensia rokok secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan cytisinicline daripada plasebo pada 4 minggu terakhir terapi dan 6 bulan setelah penghentian obat. Temuan ini serupa pada kelompok yang mendapatkan durasi terapi 6 minggu maupun 12 minggu.

Analisis lebih lanjut menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan dalam hal relapse pada kelompok yang mendapatkan durasi terapi 6 minggu maupun 12 minggu. Oleh sebab itu, durasi terapi dinyatakan berhubungan dengan angka abstinensia yang lebih tinggi, tetapi tidak berhubungan dengan kemungkinan terjadinya relapse.

Adverse events dilaporkan cukup tinggi pada semua kelompok, yaitu 184 (68,2%) pada kelompok 12 minggu, 172 (63,9%) pada kelompok 6 minggu, dan 166 (61,5%) pada kelompok plasebo. Hal ini mungkin lebih berkaitan dengan penghentian merokok itu sendiri.

Adverse events yang dialami umumnya tidak serius dan intensitasnya hanya ringan sampai sedang, misalnya mual, pusing, mimpi tidak wajar, dan insomnia. Ada subjek yang tidak melanjutkan studi karena adverse event yang relatif serius, tetapi hal ini tidak berhubungan dengan penggunaan obat itu sendiri.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini adalah desainnya yang berupa uji klinis acak terkontrol dengan plasebo, yang dilakukan secara multicenter dan double-blind. Adanya pengacakan dan perbandingan plasebo bisa menghindari hasil positif karena kebetulan (by chance).

Selain itu, luaran dinilai tidak hanya berdasarkan instrumen Russell Standard Criteria dan Brief Questionnaire of Smoking Urges (QSU-brief), tetapi juga pemeriksaan CO napas. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan bias subjektivitas dari partisipan dan juga mengurangi kemungkinan partisipan berbohong tentang perilaku merokoknya.

Kelebihan lain penelitian ini adalah penggunaan intent-to-treat analysis, di mana pasien yang drop-out atau tidak menyelesaikan protokol (misalnya karena efek samping atau ketidakpatuhan) disertakan dalam analisis primer. Hal ini menghilangkan bias positive result yang bisa terjadi dalam analisis per-protokol yang hanya menyertakan pasien yang menyelesaikan protokol. Penyertaan pasien drop-out juga berarti bahwa penelitian turut mempertimbangkan adanya adverse events serius dalam analisis akhir penelitian.

Kelebihan lainnya adalah penilaian yang dilakukan secara berulang sepanjang durasi penelitian, bukan hanya di awal dan di akhir saja. Follow-up juga dilakukan hingga minggu ke-24 post-randomization, sehingga bisa mengetahui risiko relapse.

Limitasi Penelitian

Mayoritas subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah ras keturunan Eropa, sehingga hasil penelitian belum tentu berlaku untuk ras-ras lain. Selain itu, penelitian ini melakukan eksklusi subjek dengan gangguan psikologis atau riwayat penyalahgunaan zat, yang sebenarnya merupakan populasi-populasi dengan angka merokok tinggi dan risiko ketergantungan nikotin tinggi.

Kekurangan lain adalah eksklusi subjek yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami komplikasi akibat kebiasaan merokok, misalnya subjek dengan gagal jantung, angina, dan gangguan serebrovaskular. Hal ini menyebabkan kesimpulan tentang apakah obat ini bermanfaat pada populasi yang berisiko tinggi tidak bisa diketahui.

Penilaian adverse events dalam penelitian ini dilakukan selama total 24 minggu tetapi durasi ini dinilai masih kurang panjang untuk mendeteksi adverse events yang tidak umum. Namun, cytisinicline telah digunakan untuk terapi berhenti merokok di beberapa negara Eropa selama beberapa dekade dan dilaporkan memiliki safety record yang baik (regimen 25 hari).

Kekurangan lain adalah durasi follow-up pascaterapi yang hanya 12 minggu (24 minggu post-randomization). Pelaku penelitian tidak dapat mengetahui konsistensi abstinensia untuk periode pascaterapi yang lebih panjang, apakah bertahan atau tidak. Selain itu, intensitas terapi perilaku yang diberikan dalam penelitian ini mungkin melebihi intensitas yang bisa disediakan di setting pelayanan kesehatan pada umumnya

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cytisinicline (cytisine) yang digunakan selama 6 minggu maupun 12 minggu terbukti efektif untuk membantu terapi berhenti merokok bila dikombinasikan dengan terapi perilaku. Profil efek samping obat juga menunjukkan bahwa obat ini relatif aman dan bisa ditoleransi dengan baik oleh pasien.

Namun, saat ini cytisinicline belum tersedia di Indonesia, sehingga hasil penelitian ini belum dapat diterapkan di Indonesia. Untuk saat ini, komponen utama terapi berhenti merokok di Indonesia meliputi konseling, terapi perilaku, dan terapi pengganti nikotin.

Referensi