Meninjau Ulang Efek Nikotin yang Sebenarnya

Oleh :
dr. Anastasia Feliciana

Efek nikotin terhadap kesehatan perlu ditinjau kembali karena studi yang ada saat ini menunjukkan bahwa meskipun nikotin memang bersifat adiktif, tetapi nikotin bukan merupakan penyebab utama bermacam penyakit yang berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Kebiasaan merokok sendiri merupakan salah satu isu kesehatan yang menjadi perhatian di Indonesia. Sebanyak 29% masyarakat Indonesia yang berusia >15 tahun adalah perokok. Angka perokok tertinggi ditemukan pada orang yang berusia 35–39 tahun. Angka remaja yang merokok juga dilaporkan cukup tinggi.[1-3]

merokok, alomedika, nikotin, nicotine

Padahal, kebiasaan merokok berisiko menimbulkan efek negatif bagi kesehatan. Efek kesehatan negatif ini berhubungan erat dengan asap rokok. Dalam asap rokok, ada kurang lebih 7.000 zat kimia yang berisiko untuk kesehatan, misalnya amonia, karbon monoksida, dan benzena.

Selain bermacam zat yang berbahaya tersebut, asap rokok juga mengandung tar yang dihasilkan oleh pembakaran. Tar dilaporkan berbahaya bagi kesehatan karena bersifat karsinogenik.[4,5]

Sementara itu, nikotin merupakan zat yang bersifat adiktif bagi penggunanya. Molekul kimia nikotin menyerupai asetilkolin yang bisa mengaktivasi sistem kolinergik dan menstimulasi sistem dopaminergik. Sehingga, nikotin dapat meningkatkan konsentrasi dopamin di nukleus saraf pusat. Dalam jangka panjang, perubahan neurotransmitter di sistem saraf pusat ini akan menyebabkan neuroadaptation, yang dapat menyebabkan ketergantungan dan memunculkan gejala withdrawal.[6,7]

Membedakan Efek Asap Rokok dan Efek Nikotin Sendiri

Efek negatif yang disebabkan asap rokok terhadap kesehatan sudah terbukti oleh banyak studi. Orang yang merokok memiliki risiko kanker paru-paru 15–30 kali lebih tinggi daripada orang yang tidak merokok. Merokok juga berhubungan dengan berbagai kanker lain, seperti kanker hati, kandung kemih, ginjal, pankreas, dan limfoma.[8,9]

Merokok juga meningkatkan mortalitas yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Sekitar 30% mortalitas akibat penyakit jantung koroner berkaitan dengan kebiasaan ini. Bahkan, kebiasaan merokok meningkatkan risiko kematian pada pasien penyakit kardiovaskular.[10]

Namun, studi menunjukkan bahwa sebagian besar penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok tidak berhubungan dengan nikotin sendiri. Mayoritas morbiditas dan mortalitas tersebut terjadi akibat proses pembakaran (combustion) yang terjadi saat seseorang merokok.[6]

Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini mulai tersedia beberapa produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan. Produk alternatif ini tidak menggunakan pembakaran, sehingga hanya menghasilkan aerosol dan bukan menghasilkan asap. Beberapa studi melaporkan bahwa aerosol ini memiliki kadar zat kimia lebih rendah daripada asap rokok. Oleh sebab itu, produk tembakau alternatif memiliki risiko lebih rendah daripada rokok yang dibakar.

Ada Tidaknya Hubungan Nikotin dan Kanker

Penelitian terkait nikotin yang dilakukan pada hewan pernah memicu kekhawatiran bahwa nikotin ikut meningkatkan risiko kanker. Namun, studi epidemiologi tidak menemukan hubungan antara nikotin dan kanker pada manusia.[6,12]

Studi yang mempelajari pasien yang menggunakan obat yang mengandung nikotin dalam jangka panjang dan pengguna produk tembakau smokeless menunjukkan bahwa nikotin itu sendiri tidak meningkatkan risiko kanker. Apabila ada, peningkatan risiko, tersebut sangat kecil.[6,12]

Ada Tidaknya Hubungan Nikotin dan Penyakit Kardiovaskular

Menurut studi yang dilakukan pada hewan, nikotin bisa menghambat apoptosis dan meningkatkan angiogenesis. Efek ini secara teori bisa meningkatkan dan mempercepat pembentukan aterosklerosis.[6]

Terdapat studi epidemiologi pada manusia yang menunjukkan bahwa nikotin dalam konteks pengobatan dan dalam produk tembakau smokeless dapat menaikkan risiko penyakit kardiovaskular. Namun, jika dibandingkan dengan risiko kardiovaskular akibat merokok, efek nikotin dalam bentuk yang berbeda tersebut tampak lebih rendah.[6,13]

Royal College of Physicians (RCP) melaporkan enam penelitian yang mempelajari efek nikotin terhadap penyakit kardiovaskular. Dari enam penelitian tersebut, lima tidak menemukan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada pengguna snus. Snus adalah produk tembakau alternatif berbentuk kantong tembakau yang diselipkan di antara bibir dan gusi. RCP berkesimpulan bahwa nikotin sendiri dapat meningkatkan risiko kardiovaskular, tetapi pada tingkat yang lebih rendah daripada merokok yang melalui proses pembakaran.[6]

Risiko Toksisitas Akibat Nikotin

Dalam dosis sangat tinggi, nikotin dapat menyebabkan penurunan kesadaran, kejang, hingga gagal napas. Zat ini dapat diserap melalui semua jalur penyerapan, seperti jalur gastrointestinal, dermal, intranasal, mukosa mata, dan inhalasi.[15,16]

Dosis letal nikotin adalah 1 mg/kg. Namun, intake dosis yang tinggi ini biasanya tidak terjadi pada pengguna produk tembakau atau rokok pada umumnya.[16]

Sekitar 70–90% dari nikotin yang diserap akan melewati first-pass metabolism dan ikut serta dalam siklus enterohepatik. Ikatan antara nikotin dengan reseptor nikotinik dan muskarinik kemudian menyebabkan timbulnya respons kolinergik yang memunculkan gejala toksisitas.[15,16]

Kemungkinan Peran Nikotin dalam Terapi Medis

Beberapa penelitian melaporkan manfaat nikotin terhadap performa kognitif dalam jangka pendek. Meta analisis oleh Heishman, et al. menemukan bahwa nikotin dapat memberikan efek positif terhadap kemampuan motorik halus, memori jangka pendek, dan working memory. Selain itu, konsentrasi dan atensi juga membaik.[18]

Performa kognitif yang buruk merupakan faktor risiko terjadinya relapse pada orang yang sedang berupaya berhenti merokok. Strategi untuk memperbaiki performa kognitif mungkin akan membantu penatalaksanaan pasien dengan tobacco use disorder. Akan tetapi, potensi nikotin untuk hal ini masih perlu dipelajari lebih lanjut.[19]

Menurut suatu studi epidemiologi, ada hubungan terbalik antara penggunaan produk tembakau dengan penyakit Parkinson. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa nikotin mungkin memiliki efek terapeutik untuk penyakit Parkinson. Namun, hal ini juga masih perlu dipelajari lebih lanjut karena data yang ada masih sangat terbatas.[20]

Dokter juga perlu mengingat bahwa nikotin memiliki efek adiktif. Oleh karena itu, efek positif nikotin terhadap performa kognitif tidak dapat serta merta dijadikan alasan untuk merekomendasikan nikotin tanpa pertimbangan yang lebih matang.[17-19]

Kesimpulan

Sebagian besar morbiditas dan mortalitas terkait merokok sebenarnya disebabkan oleh zat kimia berbahaya yang terdapat dalam asap rokok dari proses pembakarannya (combustion). Sedangkan nikotin, meskipun bersifat adiktif, bukan merupakan penyebab utama berbagai penyakit terkait kebiasaan merokok.

Beberapa studi juga melaporkan bahwa nikotin mungkin memiliki manfaat terhadap performa kognitif. Namun, mengingat sifatnya yang adiktif, penggunaannya tidak boleh dianjurkan secara sembarangan. Nikotin yang digunakan dalam dosis sangat tinggi juga tidak terlepas dari risiko toksisitas.

Referensi