Aspek Keamanan Rokok Elektronik

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Selama ini, rokok elektronik dipercaya sebagai salah satu metode yang efektif untuk membantu pasien berhenti merokok, namun keamanannya masih dipertanyakan. Sejak dipopulerkan pada tahun 2003, pengguna rokok elektronik atau e-cigarettes atau vaping, meningkat hingga 2 kali lipat dalam periode 2008-2012. Selain itu, dilaporkan bahwa keuntungan produsen rokok elektronik mencapai 127 juta dolar Amerika (dibandingkan keuntungan rokok tembakau 117 miliar dolar Amerika).[1,2]

Mekanisme rokok elektronik adalah memberikan aerosol yang dipanaskan, biasanya mengandung nikotin, dan dihisap melalui alat penghisap (mouthpiece).[3] Cairan yang digunakan pada proses vaping terdiri dari propilen glikol, gliserol, penambah rasa, dan nikotin.[4] Walaupun demikian, masih diperlukan banyak data dan penelitian mengenai keamanan dari rokok elektronik, mengingat semakin banyak laporan media mengenai kejadian pneumonia pada pengguna rokok elektronik.[5,6]

shutterstock_752455729

Rokok Elektronik dan Efeknya pada Saluran Pernapasan

Jejas paru terkait dengan penggunaan rokok elektronik telah dilaporkan oleh banyak studi. Namun, mengingat jumlah penelitian mengenai dampak rokok elektronik pada saluran napas masih terbatas dan penggunaannya yang relatif baru, maka mekanisme terjadinya jejas paru akibat penggunaan rokok elektronik masih belum diketahui pasti.[6]

CDC melaporkan bahwa rokok elektronik menimbulkan jejas paru yang bermanifestasi sebagai sesak napas progresif dalam hitungan hari, mual, muntah, nyeri perut, dan demam. Manifestasi ini dilaporkan pada penggunaan rokok elektronik dengan tambahan tetrahidrokanabiol. Dari pemeriksaan fisik, dijumpai takipnea dengan penggunaan otot bantu napas, hipoksemia, dan dijumpai infiltrat bilateral pada rontgen toraks. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dengan predominan neutrofil, serta ditemukan lipid pada alveolar makrofag dari bilasan bronkoskopi. Perbaikan klinis terjadi setelah pemberian methylprednisolone dosis tinggi (120-500 mg/hari) secara intravena dan pasien dipulangkan dengan tapering.[7]

Layden et al., melakukan investigasi di daerah Wisconsin dan Illinois mengenai kelainan paru dan hubungannya dengan penggunaan rokok elektronik. Dari investigasi tersebut, didapatkan 53 pasien, 83% laki-laki dengan median usia 19 tahun. Manifestasi klinis timbul dalam waktu yang bervariasi (0-61 hari), dengan 72% pasien mencari pertolongan dengan mendatangi fasilitas kesehatan dalam 7 hari setelah gejala pertama kali dirasakan. Gejala klinis yang sering dilaporkan adalah sesak napas (87%), batuk (83%), nyeri dada (55%), gejala sistem gastrointestinal seperti mual (70%) dan muntah (66%), serta demam (81%). Pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah takipnea, takikardia, dan hipoksemia.

Lebih lanjut, Layden et al., melaporkan bahwa sebagian besar hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis predominan neutrofil. Hasil pemeriksaan bilasan bronkoalveolar melaporkan predominan neutrofil dan 50% dari sampel tersebut melaporkan adanya infiltrasi lipid pada makrofag alveoli. Rontgen toraks menunjukkan kelainan pada 91% kasus, sedangkan pemeriksaan CT-scan 100% menunjukkan opasitas dengan berbagai penyulit seperti efusi pleura, pneumomediastinum, dan pneumothorax.[6]

Penggunaan Rokok Elektronik dan Pneumonia

Menurut dua studi yang diterbitkan di New England Journal of Medicine, hasil pemeriksaan CT scan toraks pada pasien dengan jejas paru akibat rokok elektronik akan menunjukkan 4 jenis abnormalitas utama, yaitu:

  • Lipoid pneumonia
  • Acute eosinophilic pneumonia

  • Diffuse alveolar damage
  • Organizing pneumonia[6,8]

Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan akan dijumpai gambaran abnormalitas radiologi lain.[8]

Dengan adanya temuan lipid pada sel makrofag, maka jejas paru akibat penggunaan rokok elektronik termasuk dalam acute exogenous lipoid pneumonia. Hal ini diduga terjadi karena aerosol yang dihirup dari rokok elektronik mengendap pada saluran napas distal dan alveoli, menyebabkan respon inflamasi lokal yang akan menghambat difusi oksigen.[7,9]

Selain itu, trauma inhalasi akibat asap dari rokok elektronik diduga menjadi salah satu penyebab jejas paru. Hal tersebut pertama kali dilaporkan oleh Arter et al. yang menegaskan adanya trauma inhalasi yang tampak sebagai acute eosinophilic pneumonia atau diffuse alveolar damage dari gambaran CT scan toraks. Pada laporan kasus tersebut, dari bilasan bronkoalveolar ditemukan eosinofilia yang membaik dengan pemberian steroid.[7,10]

Sementara itu, laporan kasus lain membahas mengenai organizing pneumonia pada pengguna rokok elektronik. Pada laporan tersebut, dibahas mengenai perempuan berusia 40 tahun dengan riwayat penggunaan rokok elektronik yang mengalami keluhan sesak napas dan nyeri dada progresif selama 1 bulan. Keluhan tersebut dirasakan setelah pasien beralih menggunakan rokok elektronik kurang lebih 1 bulan sebelum gejala pertama dirasakan. Sesak napas memburuk, tidak respons dengan pemberian antibiotik empiris, dan tidak didapatkan kelainan pada sediaan bilasan bronkoalveolar. Namun, didapatkan gambaran organizing pneumonia dari biopsi paru.[11]

Hingga saat ini, belum diketahui pasti komponen rokok elektronik yang dapat menyebabkan jejas paru. Namun, yang diketahui saat ini adalah bahwa cairan maupun aerosol dari rokok elektronik mengandung berbagai bahan kimia yang berpotensi  menyebabkan berbagai efek sistemik. Kandungan bahan kimia yang paling sering ditemukan adalah propilen glikol, gliserin, nikotin, kontaminan lain seperti hidrokarbon aromatik, nitrosamin, bahan kimia organik dan inorganik, serta komponen rasa seperti diasetil, 2,3-pentanedion, maupun tetrahidrokanabinol yang ditambahkan sendiri oleh pengguna sistem open tank.[12,13]

Dilema Penggunaan Rokok Elektronik

Berangkat dari dampak rokok elektronik pada kesehatan, timbul berbagai pertanyaan yang harus dijawab secara medis, antara lain apakah rokok elektronik masih lebih aman digunakan dibandingkan rokok konvensional atau apakah rokok elektronik dapat digunakan sebagai harm reduction pada perokok.

Banyak penelitian telah melaporkan bahwa rokok konvensional memiliki risiko kesehatan yang besar karena mengandung lebih dari 4000 zat kimia yang mayoritas merupakan zat karsinogenik. Data WHO bahkan menyatakan bahwa merokok tembakau menyebabkan lebih dari 6 juta kematian setiap tahunnya.

Penggunaan rokok elektronik dianggap mampu mengeliminasi sebagian bahan tersebut. Selain itu, desain yang mirip dengan rokok konvensional, memberikan aspek psikologis untuk harm reduction pada pecandu rokok.[1]

Walaupun demikian, aspek keamanan dari rokok elektronik masih menjadi kontroversi. Penggunaan baterai litium sebagai sumber daya penghasil asap pada rokok elektronik, memiliki risiko bocor dan menyebabkan ledakan atau percikan api. Risiko ini kerap diabaikan oleh perokok elektronik, namun tidak bisa dianggap remeh karena dapat menyebabkan morbiditas yang serius.[14] Selain itu, proses produksi asap dari rokok elektronik juga menghasilkan beberapa partikel logam seperti besi, tembaga, kromium, mangan, nikel, dan kadmium. Logam tersebut didapatkan dari komponen pemanas pada rokok elektronik dan dapat menyebabkan inflamasi, menjadi sumber radikal bebas, dan menyebabkan mutasi DNA.[1,14]

Selain risiko yang berasal dari alat, risiko kesehatan juga diduga terdapat pada cairan yang digunakan. Secara garis besar, cairan rokok elektronik mengandung propilen glikol, gliserol, dan pemberi rasa yang sebagian besar mengandung cinnamaldehyde (CAD) dan 2-methoxycinnamaldehyde (2MOCA).[15] Propilen glikol bersifat iritan dan  dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk. Sedangkan, gliserol bukan merupakan zat sitotoksik.[1,16] Namun, bila kedua zat tersebut terbakar, seperti pada penggunaan rokok elektronik, maka kedua zat tersebut dapat menghasilkan produk antara yang membahayakan kesehatan. Sebuah studi melaporkan bahwa hasil oksidasi kedua zat tersebut dapat menghasilkan asetaldehid yang bersifat karsinogenik, aseton yang merupakan depresan sistem saraf pusat, dan acrolein yang dapat  menyebabkan inflamasi.[17]

Selain itu, studi lain menambahkan bahwa pada merek yang berbeda ditemukan potensi tambahan zat toksik yang berbeda seperti formaldehid, asetaldehid, oksida propilen, serta glisidol.[18,19]

Zat perasa pada rokok elektronik, yang sebagian besar mengandung CAD maupun 2MOCA, juga memiliki efek pada kesehatan. Kedua zat tersebut dapat menghambat faktor transkripsi pada proses imunologi dan menyebabkan inflamasi.[15] Ditambah lagi, pemberi rasa seperti diasetil dapat menyebabkan bronkiolitis obliterans maupun penyakit obstruktif pada saluran napas.[20]

Selain dari adanya potensi berbagai zat yang terkandung dalam rokok elektronik yang dapat membahayakan kesehatan, Kong et al., melaporkan bahwa banyak produsen rokok elektronik tidak melaporkan berapa jumlah kandungan pasti dari berbagai zat yang ada dalam produknya. Selain itu, berbagai zat seperti nikotin dan tetrahidrokanabinol masih dapat ditambahkan ke dalam alat rokok elektronik oleh pengguna (bukan oleh produsen) dalam konsentrasi yang bervariasi.[7,21]

Kesimpulan

Rokok elektronik semakin populer di masyarakat kendati aspek keamanan terkait kesehatan masih menjadi kontroversi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan rokok elektronik dapat menyebabkan jejas pada paru, utamanya pneumonia. Studi juga menunjukkan bahwa alat dan zat yang terkandung pada rokok elektronik, terutama agen dan cairan perasa yang ditambahkan oleh pengguna, dapat menyebabkan inflamasi, mengganggu sistem imun, menyebabkan mutasi DNA, dan bersifat karsinogenik.

Walaupun masih terdapat masalah keamanan pada beberapa tipe rokok elektronik dan cairan yang digunakan dalam jenis rokok tersebut, bisa disepakati bahwa rokok elektronik lebih tidak merusak dibandingkan rokok tembakau. Tentu saja, standar keamanan perlu dibuat dan perlu dilakukan studi lanjutan untuk memastikan efek keamanan medis dari rokok elektronik. Tetapi, rokok elektronik bisa menjadi bagian dalam strategi meminimalisir kerusakan (harm minimization strategy) atau dalam program berhenti merokok.

Referensi