Antibiotik pada Anak dengan Batuk Berdahak Kronis

Oleh :
dr. Virly Isella

Antibiotik merupakan obat yang sering diberikan pada anak dengan batuk berdahak kronis. Meski begitu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko resistensi bakteri, memaparkan anak pada risiko efek samping, dan meningkatkan beban biaya medis. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai pemberian antibiotik dalam manajemen batuk berdahak kronis pada anak.[1-3]

Batuk Berdahak Kronis pada Anak

Batuk merupakan refleks protektif jalan napas untuk mencegah aspirasi dan meningkatkan bersihan jalan napas. Berdasarkan durasinya, batuk dapat dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis. Kebanyakan pedoman klinis mendefinisikan batuk kronis pada anak sebagai batuk yang dialami anak usia ≤14 tahun selama 4 minggu atau lebih. Meski demikian, Ikatan Dokter Anak Indonesia mendefinisikan batuk kronis sebagai batuk yang dialami selama 2 minggu atau lebih.[1-4]

cough girl

Batuk kronis merupakan keluhan yang sering dijumpai pada praktik sehari-hari, dengan prevalensi sekitar 5-10%, dan menyebabkan beban biaya yang tinggi akibat penggunaan obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi. Selain itu, batuk kronis berkaitan dengan stress pada orang tua, tingginya kunjungan ke tenaga kesehatan, dan terganggunya tidur pada anak.[2,5]

Potensi Etiologi Batuk Berdahak Kronis pada Anak

Salah satu pendekatan penting pada batuk kronis pada anak adalah dengan mengevaluasi apakah batuk termasuk ke dalam batuk spesifik atau non-spesifik. Batuk spesifik adalah batuk yang ditandai dengan adanya “cough pointers”, yang dapat menandakan adanya penyebab khusus. Contoh cough pointers adalah adanya clubbing fingers pada pasien tuberkulosis dan cystic fibrosis. Contoh lain adalah adanya mengi yang dialami pasien asthma atau bronkiolitis.[1-3]

Pada anak, bukti ilmiah tidak mendukung manfaat pemberian obat batuk untuk meredakan gejala. Penatalaksanaan batuk berdahak kronis pada anak yang utama adalah dengan menangani penyebab yang mendasari. Beberapa etiologi batuk berdahak kronis pada anak ialah bronkiektasis, protracted bacterial bronchitis (PBB), penyakit paru supuratif, aspirasi rekuren, infeksi atipikal, dan tuberkulosis.[5,6]

Tabel 1. Cough Pointers dan Kaitannya dengan Etiologi Batuk Berdahak Kronis pada Anak

Cough Pointers Kemungkinan Etiologi
Nyeri wajah atau sekret nasal purulen Sinusitis kronis, diskinesia siliaris primer
Clubbing finger Penyakit yang menyebabkan hipoksia kronis, seperti tuberkulosis dan cystic fibrosis
Hemoptisis Penyakit paru supuratif, abnormalitas vakular
Pneumonia rekuren Imunodefisiensi, infeksi atipikal, penyakit paru supuratif, abnormalitas paru kongenital, fistula trakeoesofageal
Mengi Asthma, bronkiolitis
Batuk menggonggong Croup, trakeomalasia
Batuk paroksismal dengan atau tanpa rejan Pertusis dan parapertusis
Staccato Infeksi klamidia pada bayi
Stridor atau serak Gangguan laring, abnormalitas jalan napas
Nyeri dada Asthma, aritmia
Gagal tumbuh Setiap penyakit sistemik yang serius termasuk penyakit paru seperti cystic fibrosis
Abnormalitas neurodevelopmental

Aspiration lung disease

Sumber: dr. Virly Isela, Alomedika, 2022.[1]

Selain berdasarkan gejala spesifik seperti yang tertera pada Tabel 1, kemungkinan etiologi juga dapat diperkirakan berdasarkan kelompok usia anak. Menurut pedoman diagnosis dan tata laksana batuk oleh IDAI, etiologi yang perlu dipikirkan pada kasus batuk berdahak kelompok usia bayi adalah trakeomalasia, pertusis, klamidia, asthma, pneumonia aspirasi, refluks gastroesofageal, dan perokok pasif.

Pada kelompok usia anak prasekolah, pertimbangkan kemungkinan aspirasi, pasca infeksi virus, asthma, tuberkulosis, pertusis, otitis media, bronkiektasis, dan perokok pasif. Sementara itu, pada anak usia sekolah pertimbangkan adanya asthma, perokok aktif, sinusitis, tuberkulosis, otitis media, bronkiektasis, psikogenik, dan tumor.[4]

Penggunaan Antibiotik dalam Penanganan Batuk Berdahak Kronis pada Anak

Tata laksana batuk kronis pada anak bergantung pada etiologi yang mendasari. Pada kasus batuk berdahak kronis, yang tidak disertai dengan “cough pointers” lain dan tidak disertai kelainan pada pemeriksaan rontgen toraks dan spirometri, maka antibiotik dapat diberikan selama 2 minggu dengan target adalah agen infeksius umum seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Jika batuk berdahak membaik dengan pemberian antibiotik tersebut, maka pasien dianggap mengalami protracted bacterial bronchitis (PBB), yang merupakan salah satu penyebab tersering batuk berdahak kronis pada anak.[1,4,7-9]

Apabila setelah terapi antibiotik selama 2 minggu pasien tetap mengalami batuk berdahak, maka pemberian antibiotik dapat diperpanjang selama 2 minggu lagi. Tetapi bila setelah itu tetap tidak ada perbaikan, maka pasien perlu diperiksa lebih lanjut untuk mengetahui etiologi yang mendasari. Pemeriksaan penunjang untuk investigasi dipilih berdasarkan panduan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, misalnya dengan bronkoskopi, kultur, dan CT scan.[1]

Pada pasien yang memiliki gejala spesifik yang mengarah ke suatu penyakit, maka penatalaksanaan harus didasarkan pada pedoman klinis penyakit tersebut. Di Indonesia, anak dengan batuk berdahak kronis juga perlu menjalani penapisan tuberkulosis karena angka kejadian tuberkulosis yang masih tinggi. Jika tidak ditemukan tanda dan gejala gangguan saluran napas, pikirkan kemungkinan penyebab batuk kronis lainnya, seperti gastroesophageal reflux disease.[1-3]

Pendekatan Pemilihan Jenis Antibiotik

Pemilihan antibiotik perlu memperhatikan pola patogen dan sensitivitas antibiotik di daerah setempat. Pada beberapa literatur, pilihan antibiotik yang sering digunakan yaitu amoxicillin klavulanat, yang didasarkan pada bakteri penyebab infeksi saluran napas tersering yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.[1-3]

Di Indonesia, data yang tersedia masih minim dan berbeda-beda terkait patogen infeksius tersering penyebab batuk berdahak kronis pada anak. Meski demikian, perlu diingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, sehingga pada anak dengan gejala batuk kronis perlu dilakukan skrining tuberkulosis. Skrining bisa dilakukan dengan pemeriksaan tes cepat molekular (TCM) dan bakteri tahan asam (BTA). Panduan klinis di Indonesia menyarankan untuk melakukan pemeriksaan ke arah tuberkulosis bila terdapat gejala batuk selama 2 minggu atau lebih.[1,5,10-12,]

Kapan Merujuk Anak dengan Batuk Berdahak Kronis

Anak dengan batuk kronis, yang tidak sembuh setelah pemberian antibiotik selama 4 minggu atau yang sejak awal pemeriksaan didapatkan tanda batuk spesifik “cough pointers”, maka perlu dirujuk untuk evaluasi etiologi lebih lanjut.  Anak juga perlu dirujuk bila terdapat rekurensi batuk kronis dalam waktu 1 bulan setelah pemberian antibiotik, atau dalam periode 1 tahun anak telah mendapatkan tata laksana antibiotik lebih dari 3 kali, serta pada anak yang mengalami batuk berdahak kronis yang dicurigai sebagai PBB rekuren.[1-3,5]

Kesimpulan

Pada pasien anak, penatalaksanaan batuk berdahak kronis ditekankan pada penanganan etiologi yang mendasari. Penggunaan obat batuk untuk meredakan gejala pada anak tidak didukung dengan bukti ilmiah yang kuat. Di Indonesia, tuberkulosis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada anak dengan batuk ktonis.

Pada kasus dimana manifestasi klinis tidak spesifik dan tidak mengarah pada penyakit tertentu, antibiotik empiris dapat diberikan selama 2 minggu. Antibiotik yang digunakan haruslah mentargetkan patogen yang paling sering menyebabkan infeksi menurut data setempat dan mempertimbangkan pola resistensi antibiotik. Beberapa literatur menyarankan penggunaan amoxicillin klavulanat.

Jika pasien tidak membaik setelah pemberian antibiotik 2 minggu, durasi terapi dapat diperpanjang hingga 4 minggu. Jika pasien tetap tidak membaik, maka investigasi lebih lanjut diperlukan.

Pada pasien yang menunjukkan manifestasi klinis spesifik ke arah suatu penyakit, misalnya tuberkulosis atau cystic fibrosis, maka penanganan haruslah didasarkan pada pedoman tata laksana penyakit spesifik tersebut.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra

Referensi