Penatalaksanaan Ventilator-Associated Pneumonia
Penatalaksanaan utama ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah pemberian antibiotik empiris yang tepat dan disesuaikan berdasarkan durasi penggunaan ventilasi mekanik. Antibiotik empiris harus segera diberikan pada pasien dengan tanda syok septik atau disfungsi organ progresif cepat. Sedangkan antibiotik definitif diberikan setelah ada hasil kultur sputum atau darah.[12]
Pada VAP late onset (>4 hari) diperlukan pemberian antibiotik spektrum luas dan pada VAP early onset (<4 hari) diperlukan pemberian antibiotik spektrum spesifik. Direkomendasikan penggunaan antibiogram setiap RS berdasarkan pola kuman setempat untuk memilih regimen antibiotik empiris yang akan digunakan. Peluang terjadinya resistensi dapat dihindari dengan prinsip de-eskalasi.[4,5]
Pemberian Antibiotik Awal untuk Ventilator-Associated Pneumonia
Patogen penyebab VAP umumnya tidak diketahui, sehingga pemberian antibiotik empiris merupakan pendekatan tatalaksana yang praktis. Berdasarkan guideline dari The Infectious Disease Society of America and American Thoracic Society di tahun 2016, direkomendasikan penggunaan antibiogram pada setiap RS untuk mengoptimalkan pemilihan antibiotik dan mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi antibiotik.
Jika pasien sudah mendapat terapi antibiotik adekuat selama 2 minggu dan tidak ada perbaikan, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi penyebab non-bakteri (misalnya pneumonitis akibat HSV-1) atau penyakit non-infeksius yang menyerupai pneumonia, seperti karsinoma bronkogenik.[4,5,12]
Pilihan Antibiotik Empiris untuk VAP
Terapi empiris ventilator-associated pneumonia (VAP) harus dapat mengatasi S. aureus, P. aeruginosa, dan bakteri batang Gram negatif lainnya. Terapi tersebut juga harus mampu mengatasi MRSA (methycillin-resistant Staphylococcus aureus) jika pasien berada di unit di mana >10-20% isolat S. aureus merupakan MRSA atau di unit di mana prevalensi MRSA tidak diketahui.[5,8,12]
Pada kasus infeksi MRSA, pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah vancomycin dan linezolid. Sedangkan, pada suspek kasus infeksi MSSA (methycillin-sensitive Staphylococcus aureus), pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah piperacillin-tazobactam, cefepime, levofloxacin, imipenem, dan meropenem. Ketika patogen terkonfirmasi MSSA, antibiotik diganti menjadi oxacillin, nafcillin, atau cefazolin.[5,8]
Untuk VAP akibat P. aeruginosa, dapat diberikan antibiotik tunggal, seperti piperacillin-tazobactam, cefepime, and ceftazidime, levofloxacin, ciprofloxacin, imipenem, meropenem, amikacin, gentamicin, dan aztreonam.
Kombinasi antibiotik untuk P. aeruginosa diberikan pada pasien dengan risiko mortalitas tinggi atau memiliki faktor risiko terinfeksi organisme MDR (multidrug-resistant), seperti:
- Pemberian antibiotik intravena dalam 90 hari terakhir
- Riwayat syok sepsis atau ARDS sebelum VAP
- Durasi rawat inap ≥ 5 hari sebelum onset VAP
- Pasien berada di unit di mana >10% isolat Gram negatif bersifat resisten
- Pasien berada di ICU yang tidak diketahui tingkat sensitivitas antibiotiknya[5,8]
Dalam kombinasi antibiotik untuk P. aeruginosa, dibutuhkan agen yang memiliki aktivitas antipseudomonal tinggi dan potensi resistensi rendah. Kombinasi antibiotik yang optimal meliputi piperacillin-tazobactam atau sefalosporin (seperti ceftriaxone, ceftazidime, dan cefepime) atau carbapenem (seperti meropenem) atau aztreonam dikombinasikan dengan fluorokuinolon (seperti ciprofloxacin atau levofloxacin) atau aminoglikosida (seperti amikacin) atau polymyxin. Namun, bila memungkinkan, aminoglikosida sebaiknya dihindari dalam tatalaksana VAP karena memiliki penetrasi yang buruk di jaringan paru dan berpotensi nefrotoksik.[5,8]
Pada September 2020, cefiderocol disetujui oleh FDA untuk mengatasi VAP bakterial yang disebabkan oleh mikroorganisme Gram negatif berikut: Acinetobacter baumannii complex, Escherichia coli, Enterobacter cloacae complex, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, and Serratia marcescens. Namun, obat ini belum tersedia di Indonesia.[5]
Tabel 2. Pilihan Antibiotik Empiris untuk Pasien dengan VAP.
Kelompok A: Dengan Faktor Risiko MDR Obat dan Dosis | ||
Prevalensi MRSA tidak diketahui, prevalensi gram (-) resisten tidak ada | Antibiotik yang peka terhadap bakteri gram (+) dengan aktivitas MRSA: 1. Vancomycin 15 mg/kg IV tiap 8-12 jam (loading dose 25-30 mg/kg 1 kali bila derajat penyakit berat) 2. Linezolid 600 mg IV tiap 12 jam | |
Prevalensi MRSA >10-20%, prevalensi gram (-) resisten tidak ada | ||
Prevalensi MRSA (-), prevalensi gram (-) resisten >10% | Dual antibiotik beda kelas dengan aktivitas antipseudomonas: Β-lactam-based
Non-β-lactam-based
| |
Prevalensi MRSA (-), prevalensi gram (-) resisten tidak diketahui |
Kelompok B: Tanpa Faktor Risiko MDR Obat dan Dosis | |
Prevalensi MRSA 10-20%, prevalensi gram (-) resisten tidak ada | Antibiotik peka terhadap S. aureus:
Bila antibiotik di atas tidak tersedia:
|
Prevalensi MRSA (-), prevalensi gram (-) resisten <10% | Antibiotik dengan aktivitas antipseudomonas diberikan secara monoterapi |
Sumber: dr. Ruth Hutagalung. Alomedika. 2021. Disesuaikan dari: Kalil, et al.[12]
Dosis dan Durasi Antibiotik
Antibiotik umumnya diberikan selama 7 hari, dan dapat diperpanjang sesuai respon klinis individu. Dosis antibiotik ditentukan berdasarkan kadar antibiotik dalam darah dan, jika memungkinkan, berat badan pasien. Antibiotik diberikan secara intravena melalui infus kontinyu atau extended. Pada kasus VAP akibat infeksi bakteri batang Gram negatif yang hanya sensitif terhadap aminoglikosida atau polimiksin, dapat diberikan antibiotik inhalasi (colistin atau polimiksin B) di samping antibiotik intravena.[5]
Terapi Lanjutan dengan Antibiotik Definitif
Setelah dilakukan pemberian antibiotik empiris awal, perlu dilakukan evaluasi respon klinis dan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pada kasus dengan organisme etiologi yang sudah teridentifikasi, regimen yang diberikan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan sensitivitas antibiotik.[8]
Pada pasien dengan perbaikan klinis tanpa identifikasi patogen, terapi empiris untuk S. aureus atau batang Gram negatif MDR dapat dihentikan jika kedua jenis organisme tersebut tidak terdeteksi dalam kultur dari sampel berkualitas tinggi dalam 48-72 jam sejak pemberian antibiotik.[8]
Pada pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis dalam 72 jam sejak pemberian terapi empiris, perlu dilakukan evaluasi adanya komplikasi, lokasi infeksi lain, dan diagnosis alternatif. Jika diagnosis pneumonia hampir pasti dan pasien memiliki faktor risiko terinfeksi patogen resisten, perlu dilakukan pemeriksaan kultur paru tambahan dan regimen empiris perlu diperluas.[8]
De-eskalasi Terapi Antibiotik
De-eskalasi terapi diperlukan terutama pada pasien yang mendapatkan antibiotik lebih dari 7 hari. De-eskalasi sangat penting untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan dan potensi efek samping. De-eskalasi harus sudah dipertimbangkan sejak 48‒72 jam terapi empiris, dan harus berdasarkan hasil kultur dan respons klinis pasien terhadap pengobatan.
De-eskalasi terapi dapat dilakukan dengan segera mengganti antibiotik ke spektrum yang lebih sempit, mengeliminasi antibiotik yang tidak diperlukan, dan perubahan antibiotik ke sediaan oral. Perubahan terapi dari intravena ke oral dapat dipertimbangkan bila hemodinamik stabil, tidak lagi memerlukan terapi oksigen, dan pasien mampu mentoleransi intake secara oral.[12]