Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin
Penatalaksanaan limfoma non hodgkin bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien. Tatalaksana yang dipaparkan berikut ini adalah tatalaksana secara umum pada subtipe limfoma yang sering ditemukan. Penatalaksanaan secara lebih mendetail masing-masing subtipe limfoma non hodgkin perlu dibahas lebih lanjut pada artikel lain. Pasien yang menjalani terapi kemoterapi perlu dirawat dalam ruang isolasi untuk menghindari infeksi pada fase anaplasia kemoterapi.
Artikel ini akan membahas tata laksana limfoma non hodgkin berdasarkan subtipe. Namun, ada juga opsi tata laksana baru yang saat ini masih dipelajari lebih lanjut, misalnya chimeric antigen receptor (CAR) sel T.
Limfoma Sel-B dan Sel-T Prekursor
Limfoma limfoblastik dapat berasal dari prekursor sel-B maupun sel-T. Pada jenis limfoma ini, tatalaksana diberikan sesuai dengan regimen pada pengobatan leukemia limfoblastik akut. Kedua jenis neoplasma ini cenderung progresif dan memiliki kecenderungan persebaran ke sistem saraf pusat.[2]
Diffuse Large B-Cell Lymphoma (DLBCL)
Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) adalah subtipe limfoma non hodgkin tersering. Kemajuan manajemen DLBCL terpenting dalam dua dekade terakhir adalah penambahan rituximab pada kemoterapi mengandung antrasiklin, yang meningkatkan hasil pengobatan secara signifikan. Regimen tersebut terdiri dari: siklofosfamid, doxorubicin, vincristine, prednisone, dan rituximab (CHOP-R). Regimen diberikan setiap 3 minggu. Regimen lainnya yang juga dilaporkan adalah doxorubicin, siklofosfamid, vindesine, bleomycin, prednison, dan rituximab (ACVBP-R) lebih baik dari CHOP-R pada pasien usia muda. Penggunaan regimen etoposide, prednison, vincristine, siklofosfamid, doxorubicin, dan rituximab (EPOCH-R) lebih baik dibanding CHOP-R (masih dalam uji klinis fase 2).[2]
DLBCL dibagi menjadi dua subtipe, germinal center B-cell like (GCB) dan non-GCB/activated B-cell like (ABC). Namun, penggunaan gene expression profiling (GEP) masih sulit diaplikasikan, sehingga international prognostic index (IPI) masih memiliki peran penting dalam menentukan prognosis. Positron emission tomography (PET) direkomendasikan untuk staging awal dan restaging setelah terapi sistemik, namun tidak direkomendasikan untuk restaging interim, modifikasi tatalaksana, serta pemeriksaan tindak lanjut rutin. Berikut adalah rekomendasi tatalaksana DLBCL berdasarkan usia pasien, skor IPI, ada/tidaknya bulky disease, dan komorbiditas:
- Pasien usia muda dengan skor IPI low atau low-intermediate, tanpa bulky disease : regimen R-CHOP 21 sebanyak 6 kali
- Pasien usia muda dengan skor IPI low atau low-intermediate, dengan bulky disease : regimen R-CHOP 21 sebanyak 6 kali dengan radioterapi pada lokasi bulky disease, atau regimen R-ACVBP
- Pasien usia muda dengan skor IPI high-intermediate atau high : regimen R-CHOP21 mungkin tidak cukup, dapat diberikan regimen lain seperti R-CHOEP14, R-ACVBP, konsolidasi dengan high dose therapy (HDT) ditambah autologous stem cell transplant (ASCT)
- Pasien lansia (>60 tahun) dengan kondisi sehat : regimen yang diberikan adalah R-CHOP21 sebanyak 8 siklus, atau R-CHOP14 sebanyak 6 siklus dengan 8 siklus rituximab (R-CHOP 14 x 6 dengan 8R)
- Pada pasien lansia dengan complete response (CR) setelah 4 siklus R-CHOP21, cukup diberikan 6 siklus
- Pasien lansia >80 tahun tanpa disfungsi jantung, regimen yang diberikan adalah R-miniCHOP21 (reduced dose regimen) sebanyak 6 siklus
- Pasien lansia dengan disfungsi jantung dapat diberikan substitusi dengan adriamycin, seperti etoposide, dengan regimen R-C(X)OP21 sebanyak 6 siklus atau pengobatan paliatif[22]
Tatalaksana DLBCL relaps/resisten:
- Pasien usia muda : rituximab dan regimen berbasis platinum (contoh: cisplatin) sebagai regimen salvage
- Pasien kemosensitif: konsolidasi remisi dengan HDT dan ASCT[23]
Limfoma Folikuler (FL)
Limfoma folikuler (FL) merupakan limfoma non hodgkin kedua paling sering. Limfoma folikuler dibagi menjadi 3 derajat berdasarkan jumlah transformasi sel pada tumor berdasarkan WHO. [23] Beberapa rekomendasi untuk tatalaksana FL adalah sebagai berikut:
- Pasien stadium Ia dan Iia terbatas: radioterapi (RT) lokal, dengan dosis 24 Gy dalam 12 fraksi.
- Pasien asimtomatik, stadium lanjut (III/IV): dilakukan observasi (watchful waiting) untuk menunda efek samping kemoterapi. Pengobatan dimulai bila ada tanda dan gejala karena limfoma, yaitu:
- Gejala B
- Keterlibatan organ simtomatik atau mengancam nyawa
- Asites atau efusi pleura berat akibat limfoma
- Progresi limfoma yang cepat
Tanpa gejala-gejala berikut, tatalaksana juga diberikan pada kondisi:
Bulky disease (lebih dari 3 nodus dengan diameter >3 cm atau nodus terbesar >7 cm)
- Peningkatan LDH atau β2-mikroglobulin
- Pasien simtomatik, stadium lanjut (III/IV): Rituximab dengan regimen CVP (siklofosfamid, vincristine, prednisone), CHOP, bendamustine, chlorambucil, atau lainnya. Untuk menghindari efek samping kemoterapi, dapat diberikan rituximab saja
- Terapi rumatan dengan rituximab dapat diberikan untuk memperpanjang remisi dengan efek samping yang minimal
- Pasien dengan relaps (kedua atau seterusnya): high dose therapy (HDT) dan transplantasi allogeneic dengan reduced intensity conditioning (RIC)[23]
Marginal Zone Lymphoma (MZL)
Marginal zone lymphoma (MZL) dibagi menjadi limfoma mucosa associated lymphoid tissue (MALT), nodal marginal zone lymphoma (NMZL), dan splenic marginal zone lymphoma (SMZL). Pasien dengan limfoma MALT umumnya terinfeksi Helicobacter pylori, sehingga eradikasi infeksi akan menyebabkan remisi klinis. Namun, adanya translokasi t(11;18) merupakan prediktor gagal remisi dan relaps. Pasien dengan NMZL ditatalaksana dengan kemoterapi, antibodi monoklonal, atau kombinasi. Pasien dengan SMZL dapat ditatalaksana dengan rituximab atau splenektomi.
MZL lokal terutama direpresentasikan oleh MZL ekstranodal tipe MALT, namun dapat terjadi kasus diseminata (25%). Penatalaksanaan limfoma MALT bergantung pada infeksi H. pylori, stadium, dan respon terapi eradikasi H. pylori.
Tatalaksana MZL lokal adalah sebagai berikut:
- Limfoma MALT gaster, pylori positif, stadium I-II: terapi eradikasi H. pylori, tanpa memperhitungkan stadium atau derajat histologis. Regimen erdikasi: PPI + clarithromycin-based triple therapy dengan amoxicillin atau metronidazole 10-14 hari Hasil terapi H. pylori diperiksa dengan urea breath test 6 minggu setelah eradikasi, dan 2 minggu setelah penghentian proton pump inhibitor (PPI)
- Limfoma MALT non-gaster, pasien dengan keterlibatan gaster yang gagal eradikasi pylori: involved field radiotherapy pada stadium lokal, kemoterapi, imunoterapi, atau kombinasi
- Pada kasus penyakit persisten stabil atau relaps secara histologis, direkomendasikan kebijakan watch-and-wait
MZL diseminata, termasuk SMZL dan NMZL umumnya mendapatkan tatalaksana kemoterapi, antibodi monoklonal, atau kombinasi.
- NMZL: tidak ada terapi spesifik, namun umumnya terjadi diseminasi. Tatalaksana sesuai prinsip pada limfoma folikuler (FL). Pada stadium lanjut, imunokemoterapi merupakan terapi pilihan
- SMZL: tatalaksana dilakukan pada: splenomegali progresif atau menimbulkan nyeri; 1 dari klinis berikut: sitopenia progresif/simtomatik, Hb <10 g/L, platelet <80.000/µl, neutrofil <1.000/µl
- Penyakit diseminata, gejala konstitusional, dan/atau tanda transformasi high-grade pada pasien tanpa komorbid: tatalaksana imunokemoterapi
- NMZL/SMZL dengan hepatitis kronik terkait HCV: terapi antivirus dengan pegylated interferon dan ribavirin
SMZL memiliki presentasi klinis yang berbeda, sehingga diperlukan adanya kriteria respon terhadap terapi, yaitu:
Respons Komplit
- resolusi organomegali (diameter longitudinal limpa <13 cm)
- Hb >12 g/dL, platelet >100 x 109/l dan neutrofil >1,5 x 109 /l
- Tidak ada bukti sel B klonal yang bersirkulasi dengan pemeriksaan flow cytometry (FC)
- Tidak ada bukti infiltrasi bone marrow dengan pemeriksaan imunohistokimia
- Tambahan: Pemeriksaan direct antiglobulin (DAT) negatif dan PET scan
Respons Parsial:
- Regresi ≥50% pada seluruh manifestasi penyakit yang dapat diukur
- Tidak ada lokasi baru penyakit
- Perbaikan dari sitopenia
- Penurunan infiltrasi dan perbaikan cadangan hemopoietik pada biopsi sumsum tulang
Tidak Ada Respons:
- <10% perbaikan pada manifestasi penyakit
Progresi:
- >50% manifestasi yang dapat diukur dari titik nadir
Relaps:
- Munculnya kembali manifestasi penyakit yang dapat diukur[24]
Limfoma Sel Mantel (MCL)
Limfoma sel mantel (MCL) memiliki karakteristik translokasi kromosom 11 dan 14 yang menyebabkan ekspresi siklin D1 berlebihan. Tatalaksana limfoma sel mantel menggunakan kemoimunoterapi. Regimen R-CHOP sebenarnya tidak cukup sebagai tatalaksana. Pemeriksaan Ki67 direkomendasikan secara rutin sebagai indikator prognostik. Sebagian besar pasien dengan MCL mengalami progresi yang agresif, namun sebagian kecil pasien memiliki progresi yang indolen. Manajemen pada pasien dengan tumor yang indolen belum dapat direkomendasikan secara definitif, dikarenakan tidak adanya marker yang dapat memprediksi sifat indolen. Prediksi prognosis pada limfoma sel mantel seperti pada DLBCL dan FL, yaitu menggunakan MCL international prognostic index (MIPI).[1,2]
Rekomendasi tatalaksana MCL sebagai berikut:
- Pasien usia muda dengan MCL: rituximab diberikan pada induksi regimen kemoterapi MCL dengan regimen R-Hyper-CVAD (rituximab, hyperfractionated cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, dexamethasone), bergantian dengan R-MC (rituximab, methotrexate, cytarabine)
- Pasien usia muda dengan MCL: R-FC (rituximab, fludarabine, siklofosfamid) atau R-CHOP
- Transplantasi autologous stem cell perlu dilakukan sebagai terapi lini pertama, dengan total body irradiation (TBI) sebagai regimen conditioning
- Pasien dengan relaps tingkat lanjut: Temsirolimus (inhibitor mTOR) 75 mg sebagai monoterapi, bortezomib 1,3 mg/m2 per dosis, dan lenalidomide dengan dosis berdasarkan fungsi ginjal
- Penggunaan allogeneic stem cell transplant tidak direkomendasikan pada MCL, namun dapat dipertimbangkan pada pasien fit yang mengalami relaps atau refrakter setelah pengobatan yang sesuai[24,25]
Limfoma Sel-T Perifer (PTCL)
Limfoma sel-T perifer mencakup 15% dari kasus limfoma. PTCL dibagi menjadi 2 kelompok klinis: limfoma sel-T kulit (mycosis fungoides, sindroma Sézary) dan PTCL sistemik. Kelompok PTCL terbagi menjadi beberapa tipe, dengan perbedaan prognosis, seperti limfoma sel-T angioimmunoblastic (AITL), anaplastic large-cell limfoma, dan yang tidak dapat dikategorikan yaitu PTCL-NOS. Limfoma sel-T kulit dapat ditatalaksana secara topikal, dan PTCL menggunakan kemoterapi kombinasi. Prediksi prognosis menggunakan skor IPI pada PTCL.[1]
Rekomendasi tatalaksana PTCL adalah sebagai berikut:
- Seluruh tipe TCL, kecuali NK/TCL dan tipe nasal: Regimen berbasis antrasiklin, seperti CHOP/CHOEP.
- NK/TCL, tipe nasal: L=asparaginase dan radioterapi lokal (nasofaringeal)
- TCL dengan prognostik buruk (IPI atau PIT ≥2) yang bersifat kemosensitif perlu mendapatkan autologous stem cell transplant (ASCT)
- Pasien dengan TCL relaps: terapi lini kedua yang mengandung platinum, gemcitabine
- ASCT dapat dipertimbangkan pada TCL-NOS relaps/refrakter, anaplastic lymphoma kinase negative (ALK-negatif) ALCL dan AITL
Allogeneic-SCT merupakan satu-satunya terapi kuratif pada pasien dengan TCL relaps/refrakter (TCL-NOS, AICL, ALK-negatif, dan AITL)
- Pasien refrakter juga dapat dilibatkan pada studi klinis fase I atau II[24]
Pembedahan
Pembedahan bukan merupakan tatalaksana yang sering digunakan pada limfoma non hodgkin, mempertimbangkan kemanjuran kemoterapi, radioterapi, dan transplantasi stem cell. Pembedahan mungkin berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis radiologis dengan biopsi, mengurangi keluhan dari organ yang terlibat, dan splenektomi pada primary splenic lymphoma.[14]