Patofisiologi Limfoma Non Hodgkin
Patogenesis limfoma non hodgkin berhubungan dengan akumulasi abberansi genetik yang menginduksi pertumbuhan selektif dari sel yang bersifat ganas. Translokasi rekuren yang terjadi pada beberapa tahap diferensiasi sel B seringkali adalah tahap awal transformasi maligna. Translokasi-translokasi ini menyebabkan deregulasi ekspresi onkogen, yang mengontrol proliferasi, kelangsungan hidup, dan diferensiasi sel.
Pembentukan Sel B dan Limfoma
Limfoma sel B berasal dari tahap-tahap pembentukan limfosit B. Pembentukan sel B diawali pada organ limfoid primer (bone marrow), dengan diferensiasi lanjutan pada organ limfoid sekunder, seperti nodus limfatikus, limpa, atau tonsil. Pada proses pembentukan, terjadi modifikasi DNA yang merupakan proses normal. Namun, modifikasi ini dapat menjadi predisposisi abnormalitas genetik yang menyebabkan limfoma.
Pembentukan sel B pada bone marrow diawali dengan rekombinasi gen yang akan membentuk reseptor sel B (BCR). Proses ini dinamakan rekombinasi V(D)J yang melibatkan pemecahan DNA oleh recombinant activating gene 1 (RAG1) dan recombinant activating gene 2 (RAG2), yang diakhiri dengan proses penggabungan nonhomolog. Setelah BCR diekspresikan, limfosit meninggalkan bone marrow dan menjadi sel B naive.
Pada aktivasi sel B yang diinduksi oleh antigen, reaksi pusat germinal di organ limfoid sekunder dimulai. Pada reaksi pusat germinal, terjadi paling tidak 2 modifikasi DNA: somatic hypermutation (SHM) dan class switch recombination (CSR). Kedua reaksi ini dimediasi oleh aktivasi enzim spesifik sel B: activation-induced cytidine deaminase (AID). SHM memodifikasi regio variabel Ig, dengan menyebabkan mutasi, penghapusan, atau insersi untuk membentuk antibodi dengan afinitas yang lebih tinggi pada antigen. CSR menyebabkan perubahan perubahan kelas heavy chain dari IgM menjadi IgG, IgA, atau IgE. Setelah reaksi pusat germinal, sel B menjadi sel B memori atau sel plasma.
Limfoma dapat terjadi karena kesalahan pada proses pembentukan sel B. Kemampuan pusat germinal untuk memproses sel B rentan mengalami kesalahan. Rekombinasi V(D)J, SHM, dan CSR merupakan proses penting yang dapat menjadi predisposisi keganasan. Rekombinasi V(D)J misalnya dapat mengakibatkan limfoma folikuler dan diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL). SHM juga memiliki peran penting pada limfoma genesis. AID dapat menyebabkan mutasi gen selain gen pada Ig. BCL6 adalah gen yang seringkali mengalami mutasi akibat SHM pada DLBCL. CSR juga menyebabkan pemecahan DNA, dan gangguan pada regulasi dapat menyebabkan chromosomal switch translocations, yang seringkali dideteksi pada limfoma Burkitt’s, mieloma multipel, dan keganasan limfoid lainnya. Kemungkinan penyebab translokasi ini adalah AID. Subtipe DLBCL juga memiliki karakteristik ekspresi AID dan frekuensi switch translocation yang tinggi.[3]
Pembentukan Sel T dan Limfoma
Neoplasma sel T dan sel natural killer (NK) jarang ditemukan, kurang dari 10% limfoma non hodgkin di seluruh dunia. Subtipe paling banyak adalah peripheral T-cell lymphoma, unspecified (PTLU) dan anaplastic large cell lymphoma (ALCL), dengan populasi terbanyak di asia.[4]
Sel T perifer berasal dari sel prekursor limfoid yang mengalami maturasi pada timus. Setelah meninggalkan bone marrow, sel prekursor limfoid (early thymic progenitor/ETP) masuk pada korteks timus pada cortical-medullary junction. Proses ini dimediasi oleh beberapa kemokin dan reseptor permukaan. Pada korteks timus, CD4/CD8 double negative (DN) mengalami maturasi, melewati stadium DN1, DN2, DN3, dan DN4. Progresi dari DN2 – DN4 memiliki karakteristik sintesis pre-T cell receptor (TCR), yang menginduksi ekspresi CD4 dan CD8. Sel-sel double positive (DP) ini mensintesis reseptor TCR/CD3 matur, yang berinteraksi dengan sel epitel timus yang mengekspresikan antigen, kemudian mengalami seleksi negatif, apoptosis tertunda, atau seleksi positif. Sel DP yang terpilih akan bermigrasi ke medulla, dan berdiferensiasi menjadi sel T CD4 atau CD8 single positive (SP). Setelah seleksi ko-reseptor, sel SP meninggalkan timus.
Pada maturasi di timus, sel CD4+ dan CD8+ naive mengalami sirkulasi melewati darah dan organ limfoid, mendapatkan fenotip matur. Limfosit CD4+ dapat mengalami diferensiasi menjadi sel T regulator (Treg) atau helper (Th). Diferensiasi populasi ini bergantung pada ekspresi faktor transkripsi, yang disebut sebagai master regulator (MR). Faktor-faktor ini antara lain adalah FOXP3 pada Treg. Tbet pada Th1, GATA3 pada Th2, RORγt pada Th17, dan Bcl6 pada diferensiasi TFH. Ekspresi faktor transkripsi ini diregulasi oleh sitokin spesifik. Interferon gamma (IFNγ) dan interleukin-12 (IL-12) mempromosikan ekspresi Tbet, IL-4 menginduksi GATA3. IL-6, IL-10, IL-2, dan transforming growth factor β (TGFβ) meningkatkan ekspresi FOXP3.[5]
Patogenesis limfoma sel T perifer melibatkan beberapa proses, yaitu:
- Mekanisme intrinsik sel T: Mekanisme ini melibatkan beberapa jalur, seperti: jalur TCR/CD3, Notch, janus kinase (JAK)/signal transducer and activator of transcription (STAT), dan lain-lain
- Mekanisme ekstrinsik sel T: mekanisme ini terutama terjadi melalui penurunan imunogenisitas sel tumor, dengan cara menghindari respon imun pada sel tumor melalui modulasi protein regulator seperti Human Leukocyte antigen (HLA) kelas I dan II, CD28, CD58, dan regulator apoptosis permukan atau intrasel. Mekanisme kedua adalah modulasi sinyal lingkungan dan sel non-neoplastik intra tumor. Sel T neoplastik akan memproduksi molekul protein permukaan, seperti vascular endothelial cell growth factor (VEGF), IL-5, IL-13, dan PD-L1, yang merekrut eosinofil dari aliran darah. Eosinofil melepas IL-10 dan IL-4 yang mendiferensiasi makrofag menjadi fenotip M2 (tumor-favoring). Sel T regulator juga mengurangi respon imun sitotoksik pada sel tumor
Onkogenesis dimediasi virus: mekanisme infeksi EBV pada sel T masih diteliti, karena hanya sedikit limfosit T/sel NK yang mengekspresikan CD21 yang berinteraksi dengan EBV. EBV akan menyebabkan lisis maupun replikasi laten, yang akan menyebabkan ekspresi beberapa gen terkait EBV. Gen-gen ini memiliki sifat-sifat seperti: meningkatkan daya tahan dan pertumbuhan limfosit, sintesis protein anti apoptosis, dan blokade jalur p53.[5]