Penatalaksanaan Amyloidosis
Prinsip utama penatalaksanaan amyloidosis adalah mengurangi suplai protein prekursor untuk membentuk fibril amyloid, disertai terapi suportif untuk mempertahankan fungsi organ dan mengelola komplikasi. Pada amyloidosis light chain (AL), terapi diarahkan untuk menekan klon plasma sel patologis melalui kombinasi agen antiplasma sel seperti bortezomib, imunomodulator, dan steroid, dengan pertimbangan transplantasi sel punca.[2,4-6,8,9]
Prinsip Umum Penatalaksanaan
Tata laksana utama amyloidosis berfokus pada pengurangan produksi protein prekursor amyloid. Pada AL, tujuannya adalah memberantas klon sel plasma yang memproduksi rantai ringan imunoglobulin.
Pada amyloidosis A (AA), tujuan utama tata laksana adalah mengendalikan penyakit inflamasi kronis yang mendasari. Untuk amyloidosis herediter, seperti amyloid transport protein transthyretin (ATTR), strategi penanganan melibatkan stabilisasi protein transthyretin atau mengurangi sintesisnya.[2,3,11]
Penatalaksanaan Amyloidosis Light Chain (AL)
Pendekatan terapi pada systemic light chain amyloidosis (SLCA) berfokus pada eradikasi klon sel plasma penghasil rantai ringan serta pemulihan fungsi organ yang terdampak. Pada pasien yang baru terdiagnosis, langkah pertama adalah menilai kelayakan untuk transplantasi sel punca autolog (autologous HCT).
Pasien dengan beban tumor rendah dapat langsung menjalani HCT, sedangkan pasien yang tidak layak akibat disfungsi organ atau beban tumor tinggi perlu menerima terapi sistemik terlebih dahulu. Evaluasi ulang kelayakan transplantasi bisa dilakukan setelah perbaikan klinis.[12]
Pilihan Regimen Terapi Sistemik
Terapi sistemik merupakan inti penatalaksanaan AL, dengan tujuan menghilangkan produksi rantai ringan misfolded secepat mungkin dan meminimalkan toksisitas. Pilihan utama saat ini adalah kombinasi daratumumab dan hyaluronidase dengan regimen CyBorD yang berisi siklofosfamid, bortezomib, dan dexamethasone.
Regimen lain yang direkomendasikan meliputi CyBorD tanpa daratumumab, yang telah terbukti menghasilkan respons hematologis tinggi dan dapat meningkatkan kelayakan HCT. Bortezomib, dengan atau tanpa dexamethasone, juga efektif sebagai terapi primer maupun pada penyakit relaps, dengan toksisitas neurologis dilaporkan lebih rendah pada jadwal pemberian mingguan.
Kombinasi bortezomib, melphalan, dan dexamethasone bisa dipilih untuk pasien yang tidak layak HCT. Terdapat data uji fase III yang menunjukkan kesintasan superior terhadap melphalan-dexamethasone saja. Kombinasi bortezomib, lenalidomide, dan dexamethasone bisa menjadi alternatif tetapi risiko toksisitas lebih tinggi.
Evaluasi respons pengobatan harus dilakukan setiap 2-3 siklus. Respons dinilai dari:
- Respons hematologis: berdasarkan penurunan difference in free light chain (dFLC) dan normalisasi free light chain serum. Respons terbaik dicapai dengan complete response (CR) atau very good partial response (VGPR).
- Respons organ: perbaikan fungsi organ, misalnya penurunan NT-proBNP ≥30% untuk amyloidosis kardiak dan penurunan proteinuria untuk amyloidosis ginjal.[2,3,8,9,11,12]
Pilihan Terapi pada Kasus Refrakter atau Relaps
Tidak ada uji klinis yang secara khusus menentukan terapi optimal pada kondisi relaps atau refrakter. Beberapa pedoman merekomendasikan untuk mempertimbangkan pengulangan regimen awal, terutama bila remisi sebelumnya berlangsung beberapa tahun.
Pada umumnya, regimen berbasis bortezomib tetap menjadi pilihan karena efikasinya yang dilaporkan tinggi. Bortezomib dengan atau tanpa dexamethasone menunjukkan tingkat respons hematologis tinggi, termasuk complete remission (CR), pada pasien relaps, tetapi berisiko menyebabkan neurotoksisitas.
Kombinasi CyBorD juga bisa digunakan pada kasus relaps. Meski demikian, risiko neuropati yang lebih tinggi pada pasien dengan keterlibatan neurologis perlu diwaspadai.
Pilihan terapi lain mencakup kombinasi bortezomib, melphalan, dan dexamethasone yang dilaporkan memberikan respons cepat dan meningkatkan kesintasan, namun dengan risiko toksisitas lebih tinggi. Daratumumab sebagai agen tunggal juga bisa dipertimbangkan dan telah dilaporkan menghasilkan respons hematologis tinggi.
Lenalidomide, sebagai kombinasi dengan siklofosfamid dan dexamethasone, telah dilaporkan menghasilkan tingkat respons signifikan pada pasien yang telah diterapi sebelumnya. Meski begitu, risiko infeksi, gangguan ginjal, dan gangguan jantung perlu diwaspadai.[8,12]
Penatalaksanaan Amyloidosis A (AA)
Tata laksana utama amyloidosis A adalah mengendalikan penyakit inflamasi atau infeksi kronis yang mendasari untuk menurunkan kadar serum amyloid A (SAA). Kadar SAA <4 mg/L dikaitkan dengan luaran terbaik.
Pada kasus AA yang berkaitan dengan penyakit inflamasi atau rematologis, seperti rheumatoid arthritis atau juvenile idiopathic arthritis, terapi dengan tocilizumab sering menjadi pilihan karena telah dilaporkan efektif menekan SAA dan memperbaiki fungsi ginjal. Penghambat tumor necrosis factor, seperti etanercept, infliximab, dan adalimumab merupakan alternatif.
Pada kasus AA terkait familial mediterranean fever, terapi yang direkomendasikan adalah kolkisin. Pada AA yang berkaitan dengan cryopyrin-associated periodic syndromes atau tumor necrosis factor receptor-associated periodic syndrome, terapi dianjurkan menggunakan penghambat IL-1 seperti anakinra dan canakinumab.
AA juga bisa terjadi akibat infeksi kronis seperti tuberkulosis, atau akibat neoplasma. Pada kasus tersebut, terapi ditargetkan pada penyebab yang mendasari, misalnya dengan terapi antituberkulosis atau dengan reseksi bedah neoplasma yang terlibat.[2,3,11]
Penatalaksanaan Amyloidosis Transthyretin (ATTR)
Penatalaksanaan ATTR, baik herediter (ATTRv) maupun wild-type (ATTRwt) adalah dengan terapi penstabil TTR dan gene silencers. Contoh agen penstabil TTR (TTR Stabilizers) adalah:
- Tafamidis: obat oral yang menstabilkan tetramer TTR, memperlambat progresi neuropati dan kardiomiopati.
- Diflunisal: Obat antiinflamasi nonsteroid yang juga menunjukkan efek penstabil TTR.
Sementara itu, contoh agen penekan sintesis TTR (Gene Silencers) adalah:
- Patisiran (siRNA) diberikan secara intravena setiap 3 minggu, dilaporkan efektif menurunkan produksi TTR di hati dan memperbaiki gejala neuropati serta parameter jantung.
- Inotersen (antisense oligonucleotide): diberikan secara subkutan mingguan, juga efektif untuk neuropati.
Transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasien ATTRv muda dengan penyakit dini, karena hati adalah sumber utama produksi TTR mutan. Sementara itu, transplantasi jantung bisa dipertimbangkan untuk pasien ATTR yang mengalami kardiomiopati berat dan memenuhi persyaratan untuk menjalani transplantasi jantung.[2,3,11]