Diagnosis Cerebral Palsy
Diagnosis cerebral palsy ditegakkan utamanya dari penggalian riwayat pasien dan temuan pemeriksaan fisik.
Anamnesis
Anamnesis perlu difokuskan pada identifikasi faktor risiko dan kemungkinan etiologi. Anamnesis perlu mencakup detil riwayat prenatal, persalinan, serta riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Riwayat perkembangan yang ditanyakan terutama adalah perkembangan motorik, dimana pada cerebral palsy akan didapat keterlambatan.
Anamnesis juga perlu mencakup komorbiditas, seperti epilepsi, abnormalitas muskuloskeletal, gangguan pendengaran atau penglihatan, gangguan makan, gangguan komunikasi, dan gangguan perilaku.[2,3]
Tabel 1. Beberapa Komorbiditas Cerebral Palsy
Komorbiditas | Kelainan |
Disabilitas intelektual |
|
Gangguan neurodevelopmental |
|
Epilepsi |
|
Gangguan visual |
|
Gangguan pendengaran dan wicara |
|
Gangguan perkembangan | Umumnya terkait nutrisi yang berhubungan dengan asupan yang buruk atau kelainan pada saluran cerna |
Gangguan saluran cerna | Hampir 90% pasien mengalami konstipasi, refluks gastrointestinal, muntah, gangguan dalam menelan, atau nyeri abdomen |
Gangguan pernapasan | Aspirasi, skoliosis, dan inkoordinasi otot pernapasan dapat menyebabkan penyakit paru kronis |
Gangguan ortopedi | Dapat terjadi subluksasi, dislokasi, dysplasia progresif dari panggul, deformitas kaki, dan skoliosis |
Gangguan saluran kemih | 30-40% pasien memiliki gangguan berkemih disfungsional, termasuk enuresis, frekuensi, urgensi, dan inkontinensia |
Nyeri |
|
Gangguan tidur | Umumnya terjadi sleep-wake transition disorder, dan excessive daytime sleepiness[12] |
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai cerebral palsy berfokus pada tanda-tanda klinis dan menentukan tipe cerebral palsy. Evaluasi yang harus dilakukan meliputi lingkar kepala, status mental, tonus dan kekuatan otot, postur tubuh, refleks, serta pemeriksaan gait.
Tanda klinis yang dapat terlihat pada pasien meliputi:
- Mikro- atau makrosefali
- Iritabilitas berlebihan atau interaksi berkurang
- Hiper- atau hipotonia
- Spastisitas
- Dystonia
- Kelemahan otot
- Refleks primitif meningkat
- Refleks postural abnormal atau hilang
- Inkoordinasi
- Hiperrefleks[13]
Tanda spesifik paling jelas terlihat pada usia 3-5 tahun, namun beberapa tanda dapat terlihat sejak bayi. Tanda yang dapat dikenali sejak dini antara lain:
- Tanda neurobehavioral: iritabilitas yang berlebihan, letargi, sulit tidur, sering muntah, sulit digendong, dan gangguan atensi visual[12]
Refleks primitif: refleks primitif akan persisten, yang menunjukkan lesi pada upper motor neuron. Dapat ditemukan postur opistothonus pada anak dan ekstensi tungkai bawah yang persisten[12,14]
- Postur dan tonus otot: tonus dapat menurun, normal, atau meningkat. Kontrol otot kepala buruk, mengepalkan tangan berulang kali, dan grimacing dapat terjadi akibat tonus otot yang abnormal pada ekstremitas[12]
Tabel 2. Tanda Awal Cerebral Palsy
Bayi 3-6 bulan:
|
Bayi 6-10 bulan:
|
Bayi usia >10 bulan:
|
Tipe Kelainan Motorik Cerebral Palsy
Sindrom cerebral palsy dapat dibagi menjadi 4 yaitu predominan spastik, predominan dyskinesia, predominan ataxia, atau kombinasi. Cerebral palsy predominan spastik merupakan kelainan yang paling sering terjadi. Tipe spastik dibagi lagi menjadi spastik diplegia, kuadriplegia, dan hemiplegia.[15]
Spastik Diplegia:
Spastik diplegia merupakan kelainan cerebral palsy yang paling sering terjadi (35%). Tipe ini disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler dan periventricular hemorrhagic infarction. Terjadi gangguan pada traktus kortikospinal dan thalamokortikal yang menyebabkan gangguan motorik pada ekstremitas bawah. Hal pertama yang dapat diamati pada spastik diplegia adalah anak cenderung merangkak dengan menyeret kedua kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan spastisitas dengan peningkatan refleks, klonus, dan tanda Babinski positif. Gangguan pada white matter dapat menyebabkan masalah visual pada anak. Perkembangan intelektualitas cenderung tidak mengalami gangguan.[12,15]
Spastik Kuadriplegia:
Spastik kuadriplegia mencakup 20% dari tipe cerebral palsy yang terjadi. Tipe ini merupakan yang paling berat dan berhubungan dengan gangguan motorik pada seluruh ekstremitas, disabilitas intelektual, gangguan bahasa, kesulitan makan, serta kejang. Spastik kuadriplegia disebabkan oleh leukomalasia periventrikuler berat dan ensefalomalasia multikistik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tonus otot dan spastisitas pada seluruh ekstremitas dan penurunan gerakan spontan. Pada akhir masa kanak-kanak dapat terjadi kontraktur pada lutut dan siku. Tipe ini memiliki prognosis yang buruk untuk dapat melakukan aktivitas secara mandiri.[12,15]
Spastik Hemiplegia:
Spastik hemiplegia terjadi pada 25% kasus cerebral palsy. Umumnya disebabkan oleh stroke in utero atau perinatal. Terjadi penurunan gerakan spontan pada sisi yang mengalami gangguan, terutama pada lengan. Spastisitas pada pergelangan kaki menyebabkan deformitas ekuinovarus. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan reflex tendon dalam, klonus, tanda Babinski positif, dan kelemahan pada tangan dan dorsofleksor kaki. Kebanyakan anak dengan spastik hemiplegia memiliki kemampuan kognitif yang baik dan dapat hidup mandiri.[12,15]
Ekstrapiramidal:
Cerebral palsy tipe ini dikenal juga dengan tipe athetoid atau diskinetik. Tipe ekstrapiramidal mencakup 15-20% pasien cerebral palsy dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tipe koreo-athetoid dan distonik. Tipe koreo-athetoid memiliki karakteristik gerakan abnormal involunter yang cepat pada wajah, otot bulbar, ekstremitas proksimal, dan jari. Sedangkan, pada tipe dystonia terjadi kontraksi otot agonis dan antagonis yang bersamaan.
Cerebral palsy tipe ekstrapiramidal disebabkan oleh hypoxic-ischemic encephalopathy, kernikterus, dan kelainan genetik. Secara umum, ekstremitas atas lebih terpengaruh dibandingkan dengan ekstremitas bawah. Pada pasien dengan kondisi ini, dapat ditemukan hipotonia dengan kontrol kepala yang buruk dan kepala yang cenderung tertinggal ketika diangkat. Seiring dengan waktu, terjadi peningkatan tonus otot yang menyebabkan dystonia dan kontraksi involunter pada fleksor dan ekstensor. Pasien dengan spastik ekstrapiramidal dapat mengalami kesulitan makan, bicara, dan gangguan perilaku. Umumnya tidak terjadi kejang dan jarang ditemukan defisit intelektual. [12,15]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan saat melakukan evaluasi pasien yang dicurigai cerebral palsy adalah spinal muscular atrophy, distonia familial, dan defisiensi arginase.
Spinal Muscular Atrophy
Pada pasien yang lahir dengan spinal muscular atrophy, akan terlihat floppy dan mengalami kelemahan yang progresif tanpa disertai spastisitas, namun dapat terjadi kontraktur. Diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis DNA, electromyography (EMG), dan biopsi otot.[16]
Dystonia Familial
Pada dystonia familial, terjadi deformitas otot setelah beberapa tahun perkembangan yang normal. Pasien dengan penyakit ini mengalami kontraksi otot yang bertahan selama beberapa saat dan dystonia tanpa kontraktur. Dapat terlihat gerakan yang cepat dan mendadak. Dystonia familial bersifat diturunkan dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan genetik molekuler.[16]
Defisiensi Arginase
Pada pasien dengan kondisi ini, terjadi spastik displegia yang progresif dan dementia pada masa mendatang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum asam amino arginine yang meningkat drastis dan peningkatan kadar ammonia.[17]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada anak dengan cerebral palsy meliputi magnetic resonance imaging (MRI) otak, ultrasonografi (USG) kranial, elektroensefalografi (EEG), dan EMG. Pemeriksaan laboratorium tidak secara definitif mendiagnosis cerebral palsy, namun membantu menyingkirkan diagnosis banding.
MRI
Sekitar 85% anak dengan cerebral palsy akan menunjukan kelainan dalam pemeriksaan MRI. Pemeriksaan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CT scan dalam mengidentifikasi kelainan otak. Kelainan dalam MRI yang prediktif terhadap cerebral palsy adalah cedera pada white matter baik akibat leukomalasia atau infark periventrikuler, lesi pada kortikal dan gray matter, serta kelainan perkembangan otak (schizencephaly, dysplasia kortikal, polimikrogria, lissencephaly, atau pachygyria).[12]
CT Scan
CT scan kepala dapat membantu menemukan kelainan kongenital, perdarahan intrakranial, dan leukomalasia periventrikel lebih baik dibandingkan dengan USG.[14]
USG kranial
Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan neurologis terkait maturasi otak. Penemuan ventrikulomegali dan echolucency pada USG prediktif terhadap cerebral palsy. Cedera pada white matter, seperti periventrikuler leukomalasia dan perdarahan intraventrikuler juga dapat ditemukan dengan USG.
USG memiliki beberapa keterbatasan, seperti sensitivitas yang rendah terhadap kelainan whiter matter difus yang dapat terdeteksi dengan MRI, ketidakmampuan memvisualisasikan struktur kortikal dan cerebellum dengan baik, serta ketergantungan terhadap fontanel yang paten untuk menilai white matter periventrikel.[18]
Elektroensefalografi (EEG)
EEG wajib dilakukan pada anak dengan riwayat kejang atau apabila anak tidak mencapai perkembangan sesuai dengan standar yang berlaku. Tujuan utama EEG adalah mendeteksi adanya epilepsi serta membantu menentukan jenis dan penyebabnya.[12]
Elektromiografi (EMG)
EMG dan tes konduksi saraf dilakukan untuk membantu menemukan gangguan otot atau persarafan.[14]
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemeriksaan fungsi tiroid: gangguan tiroid dapat menyebabkan gangguan tonus otot
- Kadar ammonia: Peningkatan ammonia berkaitan dengan gangguan hati atau gangguan siklus urea
- Pemeriksaan metabolik: pemeriksaan kuantitatif asam amino dapat menunjukkan gangguan metabolik bawaan
- Pemeriksaan genetik: dilakukan pada pasien dengan klinis dismorfik, malformasi otak, riwayat keluarga dengan cerebral palsy, atau riwayat konsanguinitas
Pungsi lumbal: dilakukan pada pasien dengan kejang refrakter yang belum diketahui penyebabnya untuk menemukan gangguan neurotransmitter atau defisiensi transporter glukosa. Selain itu, kadar protein serebrospinal dapat membantu menentukan asfiksia pada neonatus. Pada bayi asfiksia, didapatkan kadar protein dan rasio laktat-piruvat yang meningkat[13,14]
Klasifikasi Fungsional Cerebral Palsy
Terdapat 4 sistem klasifikasi fungsional yang digunakan untuk menilai terapi yang diperlukan pasien:
Gross Motor Function Classification System (GMFCS) digunakan untuk menilai keterampilan motorik kasar dan kemampuan berjalan pada anak usia 2-18 tahun
Manual Ability Classification System (MACS) digunakan untuk menilai penggunaan tangan dan ekstremitas atas pada anak usia 4-18 tahun
Communication Function Classification System (CFCS) digunakan untuk menilai kemampuan komunikasi sehari-hari
Eating and Drinking Ability Classification System (EDACS) menilai kemampuan makan dan minum pada anak usia 3 tahun ke atas[4]
Tabel 3. Klasifikasi Fungsional Cerebral Palsy
Level | GMFCS | MACS | CFCS | EDACS |
1 | Berjalan tanpa hambatan | Mengambil objek dengan mudah | Memberi dan menerima secara efektif | Makan dan minum baik dan efisien |
2 | Berjalan dengan hambatan | Mengambil kebanyakan objek dengan kecepatan yang berkurang | Memberi dan menerima secara efektif namun melambat | Makan dan minum dengan baik, namun efisiensi berkurang |
3 | Berjalan dengan memegang alat bantu | Kesulitan mengambil objek, membantu mempersiapkan atau memodifikasi aktivitas | Menerima dan memberi dengan efektif tetapi pada rekan yang familiar | Makan dan minum kurang baik, dapat ditemukan hambatan efisiensi |
4 | Mobilitas diri terhambat | Mengambil objek secara terbatas dalam situasi adaptif | Menerima dan memberi secara inkonsisten pada rekan yang familiar | Makan dan minum dengan hambatan signifikan |
5 | Diperlukan kursi roda | Tidak dapat mengambil objek | Jarang menerima dan memberi secara efektif dengan rekan yang familiar | Tidak dapat makan dan minum dengan baik, perlu dipertimbangkan alat bantu makan[4] |