Pendahuluan Kernikterus
Kernikterus atau ensefalopati bilirubin adalah kerusakan neurologis di otak yang diinduksi bilirubin, paling banyak ditemukan pada infant. Regio otak yang paling terpengaruh adalah ganglia basalis, hipokampus, badan genikulata, dan nukleus saraf kranial.[1,2]
Etiologi kernikterus adalah berbagai penyakit yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah, seperti hemolisis, inkompatibilitas rhesus, defisiensi Glukosa-6-Fosfat-Dehidrogenase (G6PD), sindrom Gilbert, dan sindrom Crigler-Najjar.
Manifestasi klinis utama kernikterus adalah gangguan motorik, gangguan auditori (auditory neuropathy spectrum disorder/ANSD dengan atau tanpa hilangnya fungsi pendengaran), gangguan visual, dan abnormalitas gigi. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis kernikterus adalah magnetic resonance imaging (MRI) yang memberikan gambaran hiperintensi pada gelombang T2 pada bagian globus pallidus dan nukleus subtalamikus. Pemeriksaan brainstem auditory evoked response juga akan menunjukkan hasil abnormal, dengan emisi otoakustik pada awal pemeriksaan normal dan kemudian menghilang seiring waktu.
Penatalaksanaan kernikterus meliputi terapi suportif sekuele neurologis akibat efek neurotoksik bilirubin. Penatalaksanaan ini mencakup terapi fisik, terapi bicara, dan penggunaan alat bantu pendengaran. Terapi medikamentosa seperti trihexyphenidyl, baclofen, dan injeksi botulinum dapat dipertimbangkan untuk mengurangi gejala distonia. Tata laksana suportif lain yaitu pemberian dukungan nutrisi, karena anak berisiko mengalami malnutrisi.
Pencegahan terbaik kernikterus adalah dengan mengenali bayi yang berisiko mengalami hiperbilirubinemia berat dan neurotoksisitas, melakukan evaluasi, diagnosis, serta tata laksana hiperbilirubinemia yang sesuai, efektif, dan tepat waktu, sehingga anak tidak sampai mengalami ensefalopati.[1-3]