Diagnosis Cedera Otak Traumatik
Diagnosis cedera otak traumatik ditegakkan melalui semua komponen pemeriksaan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang.
Namun, berbeda dengan orang dewasa yang umumnya menunjukkan manifestasi klinis cukup jelas, manifestasi klinis cedera otak traumatik pada populasi bayi bisa sulit dikenali karena bersifat kurang spesifik, sehingga dokter perlu memberikan perhatian lebih pada populasi ini.
Anamnesis
Pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatik harus ditanyakan riwayat dan mekanisme trauma. Penyebab paling sering adalah terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, olahraga, dan akibat penyerangan. Pada kecelakaan bermotor perlu diperhatikan apakah pasien memakai alat pelindung kepala atau tidak.
Pasien dapat mengalami hal berikut ini dan harus digali karena penting untuk diagnosis penentuan pemeriksaan penunjang:
- Riwayat muntah
- Penurunan kesadaran
- Hilang ingatan akibat post traumatic amnesia
- Disorientasi
Gejala akut pada cedera otak traumatik yang lebih berat bermacam-macam namun pada umumnya cedera berat disertai penurunan kesadaran bahkan hingga koma.
Menurut American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM), cedera otak traumatik ringan (mild traumatic brain injury) adalah pasien dengan gangguan fungsi fisiologis otak yang diakibatkan trauma dengan manifestasi minimal satu dari berikut ini:
- Penurunan kesadaran kurang dari 30 menit
- Hilang memori terhadap kejadian segera sebelum atau sesudah kejadian (post traumatic amnesia) kurang dari 24 jam
- Perubahan status mental saat kejadian (disorientasi atau kebingungan)
- Defisit neurologis fokal transien atau non transien
- Skor GCS 13-15 setelah 30 menit [6]
Setelah mengalami cedera otak traumatik, 30-80% pasien mengalami gejala setelah gegar otak (post concussive). Pada umumnya membaik dalam beberapa jam hingga beberapa hari, sebagian lainnya dapat berminggu-minggu. Manifestasi klinis pada cedera otak traumatik ringan (mild TBI) terdiri dari kombinasi gejala fisik dan gejala neuropsikiatrik, antara lain:
- Gejala fisik berupa nyeri kepala, pusing, mual, fatigue, gangguan tidur, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kejang bila terjadi kerusakan pada lobus temporal atau frontal, yang harus dibedakan dari epilepsi
- Gejala neuropsikiatrik yang terdiri dari gangguan kognitif, perilaku, dan gangguan lainnya.
- Gangguan kognitif, dapat berupa gangguan pemusatan perhatian, gangguan memori dan gangguan fungsi eksekutif. Gangguan pemusatan perhatian dapat berakibat pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Luasnya gangguan kognitif berkorelasi dengan keparahan cedera.
- Gejala perilaku yaitu berhubungan dengan kepribadian pasien, antara lain irritabilitas, gangguan mood, agresi, impulsif, perilaku egois.
- Gejala lainnya yang berhubungan adalah depresi, gangguan cemas, dan post traumatic stress disorder. [1]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan dengan manajemen awal trauma yakni dengan prosedur sesuai advance trauma life support (ATLS). Setelah mengamankan jalan napas, pemberian ventilasi dan oksigen, dan resusitasi cairan, pasien diperiksa untuk menilai disabilitas yaitu tingkat kesadaran dan pemeriksaan neurologis.
Tingkat kesadaran pasien dinilai menurut Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS juga sekaligus menentukan tingkat keparahan cedera otak traumatik. Nilai GCS dihitung berdasarkan penilaian respon terhadap stimulasi pembukaan mata (Eye), motorik (M), dan respon verbal (V) dengan rentang nilai 3-15 sesuai dengan hasil pemeriksaan berikut:
- Pembukaan mata (Eye/E)
- 4= membuka spontan
- 3= membuka dengan rangsang suara
- 2= membuka dengan rangsang nyeri
- 1= tidak ada respon
- Respon motorik (Motoric/M)
- 6= mengikuti perintah
- 5= mampu melokalisasi rasa nyari
- 4= menjauhi rangsang nyeri
- 3= posisi fleksi (dekortikasi)
- 2= posisi ekstensi (deserebrasi)
- 1= tidak ada respon
- Respon verbal (Verbal/V)
- 5= orientasi baik dan mampu berbicara normal
- 4= mampu mengucapkan kalimat namun disorientasi
- 3= hanya mampu mengucapkan kata tidak jelas artinya
- 2= mengerang atau merintih
- 1= tidak ada respon
Berdasarkan tingkat keparahannya cedera otak traumatik dibagi menjadi:
- Ringan, GCS 14-15
- Sedang, GCS 9-13
- Berat, GCS 3-8 [9]
Selain daripada memeriksa tanda kegawatdaruratan dan GCS, tanda adanya cedera kepala lain seperti fraktur atau laserasi, serta tanda cedera di bagian tubuh lainnya juga harus dinilai.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada umumnya adalah kondisi yang tersamar akibat terjadinya suatu proses trauma. Beberapa yang dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding adalah:
- Stroke, stroke sirkulasi anterior
- Alzheimer, status konfusional dan gangguan memori akut
- Tumor atau metastasis otak
- Aneurisma serebral
- Epileptik dan ensefalopati epileptiform, serangan umum tonik-klonik, epilepsi lobus temporal
- Sindrom lobus frontalis
- Hidrosefalus, empiema subdural
- Penyakit akibat prion [10]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sampel darah pada pasien cedera otak traumatik ditujukan untuk menilai kondisi penyulit dan kondisi yang mendasari keadaan pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
- Pemeriksaan kadar elektrolit, pada pasien koma sering diitemui hiponatremia akibat gangguan pengaturan hormon diuretik. Kadar magnesium juga dapat menurun pada fase akut akibat proses eksitotoksik
- Pemeriksaan faktor koagulasi (aPTT, PT, tombosit), pasien orang tua mungkin sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menilai risiko perdarahan intrakranial
- Kadar alkohol dalam darah, untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran atau disorientasi[10]
Terdapat pemeriksaan biomarker yang dapat membantu menentukan prognosis dan kondisi klinis cedera otak.
Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan kepala berperan penting dalam pencitraan cedera kepala. Namun pada pasien cedera otak traumatik ringan, kelainan pada CT-Scan yang spesifik tidak sering ditemukan. Kelainan pada gambaran CT-Scan lebih sering ditemukan pada cedera otak traumatik yang lebih berat. Oleh karena itu perlu untuk mempertimbangkan indikasi dilakukannya CT-Scan.
Indikasi harus CT-Scan segera:
- Tanda-tanda fraktur pada tulang tengkorak (basis kranii, depresi, atau fraktur terbuka)
- Kelainan pada pemeriksaan neurologis
- Serangan kejang
- Muntah lebih dari 1 kali
- Mekanisme trauma risiko tinggi (terlempar dari kendaraan, pejalan kaki ditabrak oleh kendaraan)
- Penurunan skor GCS atau skor GCS persisten kurang dari 15
Indikasi pertimbangan perlu dilakukan CT-Scan:
- Usia lebih dari 60 tahun
- Amnesia anterograd persisten
- Amnesia retrograd lebih dari 30 menit
- Koagulopati
- Terjatuh lebih dari 1 meter
- Hilang kesadaran lebih dari 30 menit
- Faktor sosial (tidak dapat dianamnesis untuk riwayat yang jelas) [2]

Gambar: Hasil pencitraan CT scan pada level ventrikel lateral. Tampak lapisan tipis hematoma subdural akut pada bagian kiri (tanda panah) dengan pergesaran garis tengah minimal.