Patofisiologi Cedera Otak Traumatik
Pada saat trauma terjadi, pertama sekali terjadi cedera primer oleh kerusakan mekanis yang dapat berupa tarikan, robekan dan atau peregangan pada neuron, akson, sel glia dan pembuluh darah. Cedera primer dapat bersifat fokal atau pun difus. Kebanyakan kasus cedera primer langsung menyebabkan kematian sel neuron.
Cedera primer bersamaan dengan perubahan metabolik dan seluler memicu kaskade biokimia, menyebabkan gelombang sekunder atau cedera sekunder. Hal ini berlangsung dari menit-menit awal terjadinya proses trauma yang dapat berlangsung berhari-hari hingga berbulan-bulan dan menyebabkan neurodegenerasi, dan memperparah cedera primer.
Cedera sekunder merupakan penyebab utama meningkatnya tekanan intrakranial pada cedera otak traumatik, dimana terjadi edema pada jaringan otak. Cedera sekunder terjadi pada lokasi cedera dan jaringan sekelilingnya. Proses cedera sekunder terdiri dari:
-
Eksitoksisitas, neuron yang rusak mengeluarkan glutamat ke ruang ekstraseluler dan menstimulasi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) berlebihan sehingga terjadi peningkatan radikal bebas dan nitrit oksida dan faktor transkripsi untuk kematian sel
- Stres oksidatif yang disebabkan oleh adanya akumulasi Ca2+ intraseluler di dalam mitokondria
- Disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif yang dimediasi oleh peroksida lemak menyebabkan terganggunya rantai transpor elektron dan pembentukan ATP sehingga memicu apoptosis sel
- gangguan pada sawar darah-otak, permeabilitas sawar darah-otak meningkat. Akibatnya molekul besar hingga leukosit dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan tekanan osmosis jaringan otak meningkat
- Inflamasi, neuroinflamasi melibatkan sel imun, mikroglia, sitokin, faktor kemotaktik yang mengeksaserbasi kematian sel neuron [1]

Gambar: Patofosiologi terjadinya neuroinflamasi yang dimediasi oleh mikroglia dan leukosit. Pada cedera otak traumatik, leukosit menempel pada endotel, dimediasi oleh selektin dan integrin lalu bermigrasi ke jaringan yang cedera. Mikroglia teraktivasi oleh trauma otak menjadi bentuk amuboid lalu bermigrasi ke jaringan cedera. Mikroglia dan leukosit ini yang akan memediasi terjadinya inflamasi yang mengeksaserbasi kematian sel neuron.
Cedera otak traumatik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologinya.
Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanisme:
- Trauma tumpul, trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor) atau trauma tumpul dengan kecepatan rendah (misalnya terjatuh atau serangan pemukulan)
- Trauma penetrasi, misalnya akibat luka tembak atau luka tusuk
- Trauma ledakan, akibat ledakan benda eksplosif.
Berdasarkan Tingkat Keparahan
Berdasarkan tingkat keparahan yang dinilai dari skor Glasgow Coma Scale (GCS):
- Ringan, GCS 14-15
- Sedang, GCS 9-1
- Berat, GCS 3-8
Berdasarkan Morfologi
Berdasarkan morfologi:
Fraktur tengkorak, yaitu fraktur kubah kranii dan fraktur basis kranii. Fraktur kubah kranii, antara lain bentuknya linear atau stellata, depresi atau non depresi, fraktur terbuka atau fraktur tertutup. Fraktur basis kranii, antara lain dengan atau tanpa cairan serebrospinal dan dengan atau tanpa paralisis saraf kranial.
-
Lesi intrakranial, yakni fokal dan difus. Fokal, yakni perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan perdarahan intraserebral. Difus, yakni gegar otak ringan, gegar otak klasik, dan diffuse axonal injury [2]