Rambut Rontok, Keluhan yang Banyak Ditanyakan Secara Telekonsultasi Selama Pandemi COVID-19

Oleh :
dr. Erika Gracia

Rambut rontok menjadi keluhan yang banyak ditanyakan secara telekonsultasi selama pandemi COVID-19. Selama pandemi COVID-19 di Indonesia, telekonsultasi, termasuk juga teledermatologi, telah berkembang secara signifikan. Dengan meningkatnya kondisi dermatologis terkait stres seperti telogen effluvium, alopecia areata dan dermatitis seboroik.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Ada dua alasan utama perkembangan telekonsultasi yang demikian pesat, termasuk konsultasi yang berhubungan dengan keluhan rambut rontok, baik yang terkait dengan kegiatan pemerintah yang membatasi aktivitas masyarakat maupun pandemi COVID-19 itu sendiri. Pertama, situasi ini menyebabkan stres psikososial yang mempengaruhi kondisi rambut dan kulit kepala. Kedua, kebijakan “di rumah saja” juga mengubah paradigma berobat: seseorang yang tadinya melakukan rawat jalan telah beralih ke telekonsultasi.[1,2] Teledermatologi merupakan sub-spesialisasi dari dermatologi, adalah layanan konsultasi jarak jauh mengenai masalah kulit.

Peningkatan stress psikososial dapat mempengaruhi kondisi rambut dan kulit kepala, yaitu melalui sistem neuroendokrin yang menghubungkan otak dengan kulit. Beberapa kondisi tersebut adalah alopecia areata dan dermatitis seboroik. Kondisi lain yang cukup sering adalah telogen effluvium, yaitu suatu proses reaktif yang dipicu oleh stres metabolik, perubahan hormonal, atau obat-obatan dan dapat sembuh sendiri jika faktor pencetus sudah dihindari.[4]

Rambut Rontok Keluhan yang Banyak Ditanyakan Secara Telekonsultasi Selama Pandemi COVID19-min

Aspek Psikiatri dan Psikososial Terhadap Kelainan Rambut

Pandemi dan pembatasan aktivitas masyarakat terkadang bisa menjadi proses yang sulit dan dapat memperburuk keadaan psikologis seseorang. Hal tersebut dapat memicu reaksi psikologis yang kurang baik seperti kelelahan emosional, kecemasan, agitasi, dan kemarahan. Peningkatan stress psikologis ini bisa menimbulkan eksaserbasi penyakit kulit, terutama jenis yang dapat terpicu oleh stress.

Sistem saraf dan sistem integumen sama-sama berasal dari ektoderm dalam embriologi. Oleh karena itu, kulit dan saraf sangat berkaitan dalam respon terhadap stimulus dan stres melalui koneksi neuropeptida, neuromodulator dan sistem biokimia yang sama.

Kulit juga merupakan organ yang sangat berespon terhadap emosi. Pelepasan neuropeptida, neurotransmiter dan hormon spesifik sepanjang aksis otak dan folikel rambut ini dapat mendorong perubahan yang signifikan dalam siklus pertumbuhan rambut dengan merangsang transisi rambut dari fase anagen ke fase telogen. Kerontokan rambut yang terjadi biasanya akibat dari rambut yang memasuki fase telogen lebih awal dari yang seharusnya, dikenal dengan telogen effluvium.

Psikodermatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari keterkaitan antara kulit dan pikiran. Trichopsychodermatology merupakan sub bidang psikodermatologi bertujuan untuk lebih memahami dampak psikiatris dan psikososial dari gangguan yang melibatkan rambut.[9]

Peningkatan Keluhan Rambut pada Masa Pandemi

Suatu penelitian cross sectional yang yang dilakukan oleh Turkmen D, et al membandingkan kondisi kulit sebelum dan selama masa pandemi pada 563 responden, menemukan peningkatan kasus rambut rontok yang disebabkan oleh telogen effluvium dan dermatitis seboroik selama masa pandemi, namun peningkatan tersebut tidak signifikan secara statistik. Penelitian lain yang membandingkan keluhan rambut rontok yang disebabkan oleh alopecia areata pada Mei 2019 dan Mei 2020, menemukan peningkatan yang signifikan pada masa pandemi.[1]

Walaupun terjadi peningkatan keluhan rambut rontok selama masa pandemi, pasien yang berobat rawat jalan ke dokter ahli kulit mengalami penurunan. Bahkan hampir 80% dari responden yang mengalami keluhan tidak mencari pengobatan apapun. Teledermatologi, yaitu konsultasi menggunakan chat atau video call, merupakan salah satu alternatif pilihan pengobatan yang efektif untuk saat ini dan kedepannya.[1,10]

Pandemi sebagai Faktor Pemicu Rambut Rontok pada Beberapa Penyakit Kulit

Telogen effluvium, alopecia areata, dan dermatitis seboroik adalah penyakit dermatologis yang biasanya disertai dengan rambut rontok. Pada penyakit ini, stres psikososial akibat pandemi COVID-19 bisa menjadi pemicu rambut rontok.

Telogen Effluvium:

Telogen effluvium adalah suatu penyakit di mana keluhan rambut rontok cukup sering terjadi. Gejala utamanya adalah trikodinia yang ditandai dengan kerontokan luas disertai rasa nyeri, terbakar, maupun gatal.[4]

Alopecia Areata:

Alopecia areata adalah penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan rambut rontok mendadak. Selain dikaitkan dengan kelainan autoimun, bisa juga dipicu oleh stress psikologis dan emosional yang akut maupun kronis.[5]

Dermatitis Seboroik:

Dermatitis seboroik adalah salah satu penyakit kulit yang cukup sering menyebabkan rambut rontok.[6-8] Pada kulit kepala, dermatitis seboroik ditandai dengan adanya deskuamasi kering bersisik (ketombe), eritema, dan skuama kuning berminyak. Beberapa diagnosa banding lain untuk rambut rontok adalah trikotilomania dan traksi alopecia yang dipengaruhi oleh keadaan psikologis, serta alopesia androgenik (kerontokan rambut pola pria dan kerontokan rambut pola wanita) yang dipengaruhi oleh faktor genetik atau hormonal.

Edukasi Pasien Teledermatologi

Meskipun rambut rontok sering dianggap sebagai permasalahan kosmetik yang tidak mengancam, dampak psikologis yang ditimbulkan cukup berat. Pasien dengan gangguan rambut terkadang melaporkan penurunan kualitas hidup dan merasa kurang percaya diri.[9]

Saat ini individu yang merasa memiliki keluhan kulit, seperti rambut rontok, dapat melakukan telekonsultasi atau teledermatologi melalui tiga modalitas teknologi, yaitu: metode store and forward, video conference real-time dan kombinasi dari kedua metode tersebut.[10]

Untuk mendapatkan tindak lanjut yang lebih cepat, dapat dipilih metode video conference real-time, yaitu konsultasi langsung dengan dokter melalui panggilan telepon video. Pilihan lain seperti store and forward juga bisa menjadi pertimbangan jika tidak memiliki koneksi internet yang stabil, metode ini memerlukan kamera resolusi tinggi sehingga kelainan kulit dapat dilihat dengan jelas oleh dokter melalui gambar yang dikirim pasien.

Di Indonesia, teledermatologi yang umum dilakukan adalah melalui chat dengan dokter spesialis dermatologi, metode store and forward. Keluhan dapat disampaikan melalui chat, sedangkan kelainan pada rambut dapat ditunjukkan melalui foto. Untuk menunjang keberhasilan diagnosa, sebaiknya foto yang dikirimkan harus jelas, misalnya menggunakan kamera dengan resolusi yang tinggi, menggunakan blitz atau daripada mengambil gambar kepala sendiri akan lebih baik jika meminta anggota keluarga lain untuk melakukannya.

Selain tatalaksana yang sesuai dengan diagnosis pasien, memberikan edukasi kepada pasien mengenai pentingnya identifikasi faktor pemicu dan dukungan psikologis merupakan hal penting dalam manajemen penyakit. Pemahaman yang baik mengenai faktor psikososial terkait stress yang menimbulkan rambut rontok tentunya dapat memfasilitasi pencegahan kekambuhan di masa depan.[4,9]

Kesimpulan

Peningkatan keluhan rambut rontok selama masa pandemi COVID-19 dikaitkan dengan adanya faktor pemicu seperti stress psikososial, dimana keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Kondisi stress tersebut dapat memicu penyakit kulit seperti telogen effluvium, alopecia areata, dan dermatitis seboroik dimana keluhan utamanya adalah rambut rontok.

Saat ini terutama di masa pandemi COVID-19, lebih banyak pasien dengan keluhan dermatologi yang melakukan pemeriksaan melalui pencarian informasi online dan telekonsultasi. Hal ini dinilai efektif karena pasien dapat melakukan konsultasi tanpa perlu keluar rumah. Khusus mengenai telekonsultasi mengenai kelainan dermatologi dikenal dengan teledermatologi. Selain memberikan tatalaksana yang sesuai dengan diagnosa pasien, memberikan edukasi terkait adanya faktor psikososial sebagai pemicu penyakit dan dukungan psikologis turut memegang peranan yang penting dalam manajemen penyakit pasien.

Referensi