Antihistamin Tidak Disarankan untuk Penatalaksanaan Insomnia

Oleh :
dr. Immanuel Natanael Tarigan

Peran histamin untuk pengaturan tidur membuat antihistamin diduga bermanfaat untuk penatalaksanaan insomnia. Namun, hasil studi menemukan bahwa penggunaan obat golongan antihistamin untuk manajemen insomnia memiliki risiko efek samping dan menyebabkan toleransi yang cepat terjadi.

Insomnia merupakan kondisi yang disebabkan oleh peningkatan gairah, yang dapat bermanifestasi sebagai kesulitan berulang untuk mengawali tidur, mempertahankan tidur, atau mendapatkan kualitas tidur yang baik. Kondisi ini terjadi meskipun penderita memiliki waktu dan kesempatan tidur, yang akhirnya dapat mengganggu kemampuan penderita beraktivitas di pagi atau siang hari.[1,2]

Depositphotos_149998544_m-2015

Mekanisme Terjadinya Insomnia

Peningkatan gairah dapat terjadi akibat aktivasi kronis sistem neuroendokrin sebagai respons terhadap stres. Insomnia juga ditemukan berhubungan dengan kadar kortisol. Studi menemukan adanya peningkatan kortisol bebas pada urine yang berhubungan dengan tingkat keparahan kualitas tidur. Studi juga menemukan keterlibatan aksis hipotalamus pituitari adrenal (HPA) pada insomnia kronis, yang dihubungkan dengan peningkatan kadar kortisol dan hormon adrenokortikotropik (ACTH).[1,2]

Pada kasus insomnia primer, ada keterlibatan disregulasi corticotropin-releasing factor (CRF) yang dihubungkan dengan peningkatan gairah. Selain itu, beberapa komorbiditas juga ditemukan berhubungan dengan insomnia, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit paru-paru seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), serta kondisi lain seperti artritis, nyeri kronis, dan obstructive sleep apnea.[1,2]

Peran Histamin pada Pengaturan Tidur

Studi pada hewan menemukan peran histamin dalam kontrol siklus tidur dan bangun, serta dalam kewaspadaaan. Aktivasi reseptor histamin, terutama reseptor H1, dapat menyebabkan peningkatan kesadaran. Sebaliknya, penurunan transmisi histamin akan menurunkan kewaspadaan dan meningkatkan gelombang tidur. Hal ini diatur oleh aktivasi histamin pada hipotalamus posterior.[3]

Pada penelitian lain, ditemukan bahwa pemberian mepiramin, suatu agonis reseptor histamin H1, menyebabkan blokade histamin sehingga terjadi penurunan kewaspadaan dan peningkatan gelombang tidur. Selain itu, didapati juga bahwa histamin memiliki efek tidak langsung pada kewaspadaan melalui aktivasi neuron kolinergik di otak besar dan tegmentum mesopontin. Histamin menyebabkan depolarisasi neuron kolinergik.[3]

Fungsi tidur dan bangun dimediasi oleh sirkuit yang mempromosikan siklus bangun dan tidur. Fungsi ini diatur oleh neuron pada area ventrolateral preoptik hipotalamus otak yang kaya GABA dan peptida galanin. Neuron ini bekerja dalam beberapa mekanisme seperti sistem histaminergik, kolinergik, dan noradrenergik.[3]

Selain itu, histamin juga ditemukan berperan dalam irama sirkadian. Pada penelitian terhadap hewan, ditemukan ada peningkatan pelepasan histamin pada saat tidur, yang mencapai kadar puncak dalam transisi tidur dan bangun.[3]

Penggunaan Antihistamin untuk Penatalaksanaan Insomnia

Antihistamin sering disalahgunakan untuk menangani insomnia. Sebagian dokter masih meresepkan antihistamin untuk mengatasi insomnia, walaupun penggunaannya dalam penanganan insomnia tidak sesuai dengan indikasi obat ini. Dasar pembenaran penggunaan antihistamin pada insomnia adalah efek sedatif yang dimilikinya. Namun, penggunaan ini hanya didukung oleh sangat sedikit penelitian.

Salah satu faktor penting terjadinya peningkatan penggunaan antihistamin sebagai obat penanganan insomnia adalah ketersediaannya sebagai obat bebas di pasaran. Obat antihistamin yang paling banyak disalahgunakan untuk menangani insomnia adalah diphenhydramine. Dosis yang biasa digunakan untuk kasus insomnia adalah 25–50 mg. Obat diminum sekitar 30–60 menit sebelum tidur.[4,5]

Diphenhydramine dan chlorpheniramine adalah penghambat reseptor histamin H1 yang dapat menginduksi sedasi siang hari pada 10–25% penggunaannya. Sementara itu, antihistamin generasi kedua seperti loratadine merupakan molekul lipofobik, sehingga kurang memiliki kemampuan untuk menembus sawar darah otak. Antihistamin juga memiliki efek pada aktivitas serotonergik dan kolinergik.[6]

Efikasi Antihistamin untuk Penatalaksanaan Insomnia

Suatu penelitian melibatkan 10 orang dewasa muda yang sehat dan menemukan tidak adanya perubahan subjektif yang signifikan pada aktivitas tidur setelah penggunaan diphenhydramine 50 mg dan 75 mg. Terdapat laporan peningkatan aktivitas motorik malam hari pada penggunaan dosis yang lebih tinggi. Tidak ada gangguan pada aktivitas psikomotorik pada siang hari berikutnya.[6]

Penelitian lain pada pasien psikiatri dan pasien insomnia rawat jalan selama 2 minggu menemukan bahwa pemberian diphenhydramine 12,5–50 mg secara signifikan bisa membantu kenyamanan tidur secara subjektif. Akan tetapi, obat ini tidak memperbaiki gangguan tidur, perasaan waktu tidur, dan keparahan insomnia.[6]

Ada juga studi yang mendukung penggunaan diphenhydramine sebagai terapi ajuvan pada insomnia. Studi ini melibatkan 210 pasien sehat berusia 25–65 tahun dengan keluhan sulit memulai tidur (latensi >30 menit) dan/atau kesulitan mempertahankan tidur (waktu terbangun >30 menit setelah tidur), dengan frekuensi 2–4 kali seminggu.[4]

Dalam studi tersebut, pasien diikuti selama 56 hari (14 hari baseline, 28 hari terapi, dan 14 hari setelah penghentian terapi). Pasien diacak menjadi tiga kelompok, yakni yang mendapatkan Valerian-Hops (obat herbal yang dihipotesiskan mempunyai efek untuk menangani insomnia), diphenhydramine, dan plasebo.[4]

Studi tersebut menemukan bahwa Valerian-Hops maupun diphenhydramine memiliki efek hipnotis ringan yang mempunyai efek terapi pada insomnia. Pasien mengalami perbaikan kualitas tidur secara subjektif dinilai dari latensi waktu tidur, efisiensi tidur, dan total waktu tidur yang dimiliki.[4]

Valerian-Hops maupun diphenhydramine menurunkan indeks keparahan insomnia yang diukur dengan Insomnia Severity Index. Tidak ada efek residual dan fenomena rebound setelah penghentian obat. Namun, studi tersebut tidak menyarankan diphenhydramine sebagai terapi utama pada pasien insomnia. Penggunaan diphenhydramine sebagai terapi ajuvan selama 2–4 minggu dapat menurunkan derajat keparahan insomnia.[4]

Timbulnya Toleransi terhadap Antihistamin untuk Penatalaksanaan Insomnia

Suatu uji klinis acak terkontrol menemukan bahwa pemberian diphenhydramine pada insomnia menimbulkan toleransi yang cukup cepat. Pada uji terhadap 15 pria sehat ini, peserta diberikan diphenhydramine 50 mg atau diberikan plasebo 2 kali sehari selama 4 hari. Peningkatan rasa kantuk secara objektif maupun subjektif lebih tinggi pada grup diphenhydramine. Namun, pada hari keempat, tidak terdapat perbedaan signifikan rasa kantuk antara kedua kelompok ini.[7]

Studi lain menunjukkan bahwa diphenhydramine dan doxylamin, selain memiliki potensi toleransi yang cepat, juga hanya memiliki efektivitas yang minimal dalam menginduksi tidur, dapat menurunkan kualitas tidur, dan dapat menyebabkan sisa rasa kantuk keesokan harinya.[8]

Efek Samping Antihistamin

Efek samping antihistamin yang umum adalah efek antikolinergiknya. Efek samping dapat berupa mulut kering, konstipasi, retensi urine, dan kebingungan. Efek samping antikolinergik ini lebih berat pada kelompok usia geriatrik. Efek samping penggunaan antihistamin pada anak adalah kantuk. Kantuk yang dialami menyebabkan penurunan konsentrasi dan aktivitas anak.[1,9]

Konsumsi alkohol bersama antihistamin tidak direkomendasikan karena menyebabkan penurunan kualitas tidur dan meningkatkan eksaserbasi obstructive sleep apnea. Antihistamin juga dapat menyebabkan eksitasi paradoksal, khususnya jika digunakan pada anak-anak.[1,9]

Hal lain yang dikhawatirkan pada penggunaan obat diphenhydramine adalah potensi penyalahgunaan bersamaan dengan 8-kloroteofilin, yang menyebabkan halusinasi dan perasaan bahagia berlebihan ketika menggunakan dosis lebih dari yang disarankan.[5]

Efek samping lain adalah gangguan gastrointestinal, kesulitan berkemih, impotensi, dan nyeri kepala. Penelitian juga menemukan bahwa penggunaan antihistamin berkaitan dengan peningkatan tekanan intraokular, sehingga antihistamin tidak disarankan untuk digunakan pada pasien dengan glaukoma sudut dangkal.[5]

Efek samping yang berat pada penggunaan antihistamin adalah halusinasi, takikardi, dan kejang. Beberapa kasus yang berat bahkan dapat mengalami kematian sebagai akibat dari henti jantung dan hipotensi.[5]

Kesimpulan

Antihistamin seperti diphenhydramine merupakan obat yang beredar secara luas dan sering digunakan untuk tata laksana insomnia karena memiliki efek sedasi. Namun, bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa antihistamin tidak disarankan untuk insomnia.

Penggunaan antihistamin untuk tata laksana insomnia berkaitan dengan terjadinya toleransi yang cukup cepat. Selain itu, antihistamin memiliki efek samping antikolinergik, seperti mulut kering, konstipasi, retensi urine, dan kebingungan. Efek samping yang berat dapat berupa halusinasi, takikardi, kejang, hingga kematian akibat henti jantung. Pemberian kepada populasi geriatrik terutama perlu sangat berhati-hati.

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi