5 Dogma Dunia Kedokteran yang Harus Dimusnahkan

Oleh :
dr.Bedry Qintha

Banyak dogma medis tidak didukung oleh bukti ilmiah atau didasarkan pada studi-studi lemah yang ketinggalan jaman. Apabila diikuti secara serta merta oleh dokter, dogma medis ini bisa berujung pada misdiagnosis ataupun mistreatment yang merugikan pasien. Berikut adalah 5 dogma medis yang perlu dihilangkan.[1,2]

1. Nyeri Dada Kiri Artinya Infark Miokard

Banyak dokter yang beranggapan bahwa nyeri dada kiri sudah pasti nyeri dada kardiak akibat infark miokard. Padahal, keluhan nyeri dada kiri bisa disebabkan oleh sangat banyak penyakit lain, seperti emboli paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), nyeri muskuloskeletal, ataupun ansietas.[3,4]

DogmaKedokteran

Terdapat data yang menunjukkan bahwa hanya 15% dari kasus nyeri dada yang diterima di instalasi gawat darurat (IGD) berkaitan dengan penyakit jantung iskemik atau sindrom koroner akut. Di sisi lain, 85% sisanya adalah nyeri dada non-kardiak atau non-cardiac chest pain (NCCP). Oleh karena itu, penting bagi dokter untuk tidak langsung mengambil kesimpulan dan keputusan klinis tanpa melakukan penilaian yang teliti dan objektif pada pasien dengan nyeri dada kiri.[5]

2. Antibiotik Intravena Lebih Efektif Dibandingkan Antibiotik Oral

Dogma medis lain yang juga perlu dipatahkan adalah anggapan bahwa pemberian antibiotik intravena lebih manjur atau superior dibandingkan antibiotik oral. Anggapan ini telah membuat antibiotik intravena digunakan secara berlebihan (overuse), terutama dalam setting rawat inap.

Faktanya, telah banyak studi yang menunjukkan bahwa antibiotik oral setidaknya sama efektif dengan antibiotik intravena pada berbagai skenario klinis. Penggunaan antibiotik oral juga telah dikaitkan dengan lama rawat inap yang lebih pendek dan risiko efek samping yang lebih kecil.

Perlu ditegaskan bahwa efikasi dari antibiotik tidak semata bergantung pada apakah obat diberikan secara oral atau intravena. Poin terpenting dari terapi antibiotik adalah obat dapat mencapai tempat infeksi dalam konsentrasi yang memadai, dan ini sangat bisa dicapai dengan pemberian per oral.[6,7]

3. Hilangnya Wheezing Pada Auskultasi Menandakan Hilangnya Obstruksi Jalan Napas

Temuan wheezing pada auskultasi sering dijadikan penanda adanya obstruksi jalan napas dan perbaikan wheezing setelah terapi sering dijadikan tolok ukur keberhasilan terapi, misalnya dalam penanganan asma. Padahal, banyak data menunjukkan bahwa kepercayaan berlebihan atau terlalu mengandalkan hasil auskultasi toraks meningkatkan risiko under-recognition dari obstruksi jalan napas ataupun keyakinan keliru bahwa terapi berhasil.

Temuan wheezing dari auskultasi telah dilaporkan tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi atau mengeksklusi adanya obstruksi jalan napas, terutama pada bayi dan anak. Ditambah lagi, penggunaan hasil auskultasi untuk menentukan keberhasilan terapi bronkodilator sangat tidak dapat diandalkan karena akan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing pemeriksa.[8]

4. Suplemen Kalsium dan Vitamin D Menurunkan Risiko Fraktur

Banyak dokter meresepkan kalsium dan vitamin D dengan anggapan bahwa suplementasi ini akan meningkatkan kekuatan tulang dan menurunkan risiko fraktur, terutama pada lansia. Di lain pihak, telah banyak data yang menunjukkan bahwa suplementasi kalsium dan vitamin D tidak memiliki manfaat dalam menurunkan risiko fraktur pada lansia.[9,10]

Sebuah meta analisis yang dipublikasi di JAMA (Journal Of The American Medical Association) mengevaluasi hasil dari 33 uji klinis acak dengan total 51.145 partisipan. Studi ini menyimpulkan bahwa penggunaan suplemen yang mengandung kalsium, vitamin D, atau keduanya dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan tidak menurunkan risiko fraktur pada lansia.[9]

Perlu diperhatikan bahwa kadar kalsium atau vitamin D yang berlebihan di darah akan membawa risiko kesehatan bagi pasien. Peningkatan kadar kalsium meningkatkan risiko terbentuknya batu ginjal, serta telah dikaitkan dengan infark miokard, stroke, dan kanker kolorektal. Di sisi lain, kelebihan vitamin D dapat menyebabkan nefrokalsinosis, aterosklerosis, dan vasokonstriksi yang berujung pada hipertensi.[11-14]

5. Penggunaan Vitamin C Bermanfaat pada Sepsis

Pemberian vitamin C merupakan praktik yang umum ditemukan dalam penanganan sepsis. Meski demikian, praktik ini belum didukung oleh banyak bukti ilmiah kualitas baik.

Pada awalnya, pemberian vitamin C dosis tinggi dianggap bermanfaat untuk sepsis karena pasien sepsis ditemukan memiliki defisiensi vitamin C. Vitamin C juga dianggap dapat mengurangi stres oksidatif dan peradangan, serta meningkatkan sintesis vasopresor dan fungsi sel imun.[15]

Pada kenyataannya, sebuah uji klinis yang dipublikasikan di NEJM (The New England Journal of Medicine) menunjukkan bahwa pemberian vitamin C justru berkaitan dengan risiko kematian dan disfungsi organ multipel persisten yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang mendapat plasebo. Kebanyakan protokol perawatan pasien di ICU juga sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaan vitamin C untuk sepsis.[16]

Kesimpulan

Banyak dogma dunia kedokteran berasal dari kepercayaan atau mitos yang disampaikan secara turun-temurun. Sebagian dari dogma ini tidak memiliki dasar bukti ilmiah sama sekali dan harus dihilangkan dari praktik kedokteran. Dokter perlu menjalankan praktiknya dengan menggunakan ilmu yang berbasis ilmiah dan selalu memprioritaskan kesehatan pasien. Mengikuti tanpa mempertanyakan dogma medis yang tidak jelas malah dapat mencelakai pasien dan memperburuk luaran klinis.

Referensi