Red Flags Tinja Berdarah Pada Bayi

Oleh :
dr. Virly Isella

Red flags atau tanda bahaya tinja berdarah pada bayi mengindikasikan adanya masalah gastrointestinal signifikan, seperti necrotizing enterocolitis, penyakit Hirschsprung, ataupun infeksi enterik invasif. Deteksi dini bayi yang mengalami gangguan gastrointestinal risiko tinggi serta inisiasi terapi segera sangat penting untuk peningkatan luaran klinis dan mencegah kematian.[1-3]

Kemungkinan Etiologi Tinja Berdarah pada Bayi

Diagnosis banding keluhan tinja berdarah pada bayi cukup luas. Dokter perlu mempertimbangkan kondisi mengancam jiwa seperti necrotizing enterocolitis, penyakit Hirschsprung, malrotasi intestinal, dan volvulus. Dokter juga perlu membedakan kondisi risiko tinggi dengan kondisi yang lebih jinak seperti protein-induced allergic proctocolitis (FPIAP), food protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES), infeksi gastrointestinal, fisura ani, dan darah ibu yang tertelan oleh bayi.[1-6]

bab berdarah, fisura ani, alomedika

Necrotizing Enterocolitis

Necrotizing enterocolitis adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada neonatus prematur dan terutama mempengaruhi bayi berat lahir rendah (BBLR) di unit perawatan intensif neonatal (NICU). Meski demikian, membedakan necrotizing enterocolitis dari penyebab tinja berdarah lainnya, terutama kasus yang jinak seperti FPIAP, cukup menantang. Di sisi lain, necrotizing enterocolitis yang tidak diobati dapat menyebabkan perburukan yang cepat ataupun sepsis. Oleh karenanya, dokter perlu mengenali tanda bahaya tinja berdarah untuk mencegah diagnosis dan penanganan yang terlambat.[1-6]

Fisura Ani

Etiologi tinja berdarah pada bayi sering disebabkan oleh fisura ani, yakni suatu kondisi robeknya garis mukokutaneus pada anus. Tinja berdarah akibat fisura ani ditandai dengan bercak darah berwarna merah segar pada tinja atau popok. Kondisi ini biasanya jinak dan tidak memerlukan terapi spesifik.[5-7]

Tertelannya Darah Ibu

Sebanyak 30% kejadian tinja berdarah pada bayi baru lahir berasal dari darah ibu, yang dapat disebabkan tertelannya darah saat persalinan, cairan amnion berisi darah akibat perdarahan anterpartum, dan perdarahan dari puting payudara yang tertelan bayi saat pemberian ASI. Tinja berdarah yang disebabkan darah maternal ditandai dengan muntah berwarna kecoklatan (coffee ground), mekonium berwarna merah marun, melena atau blood-streaked stools.[1,4-6]

Gangguan Perdarahan

Etiologi Tinja berdarah pada bayi lainnya yaitu koagulopati yang disebabkan gangguan faktor koagulasi akibat defisiensi vitamin K, disseminated intravascular coagulation (DIC), hingga koagulopati pada kondisi gagal hati akibat adanya gangguan metabolik atau infeksi.[5,8]

Stress Ulcer

Stress ulcer gaster dapat terjadi pada 20% pasien yang dirawat di ruang intensif, terutama pada bayi prematur dan bayi dengan distress pernapasan yang membutuhkan ventilasi mekanik. Stress ulcer pada bayi juga dapat disebabkan oleh penggunaan steroid untuk pematangan paru.[5]

Volvulus

Tinja berdarah pada bayi yang disebabkan oleh kelainan volvulus umumnya disertai keluhan berupa muntah kehijauan.[2,9]

Intususepsi

Intususepsi terjadi saat bagian usus terlipat ke bagian yang berdekatan. Intususepsi biasanya melibatkan usus kecil. Gejala intususepsi adalah sakit perut, muntah, kembung, dan tinja berdarah. Intususepsi dapat menyebabkan obstruksi usus kecil.[11]

Divertikulum Meckel

Divertikulum Meckel adalah kelainan kongenital usus kecil yang disebabkan oleh obliterasi tidak lengkap dari saluran vitelline (omphalomesenteric). Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala dan penyakit hanya ditemukan secara kebetulan pada studi pencitraan. Gejala yang paling umum adalah pendarahan dubur tanpa rasa sakit.[12]

Red Flags Tinja Berdarah pada Bayi

Pasien dengan red flags atau tanda bahaya tinja berdarah memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari etiologi, sehingga dapat dilakukan tata laksana dengan segera. Berikut merupakan beberapa red flags tinja berdarah pada bayi:

  • Tanda-tanda syok
  • Muntah kehijauan
  • Kelainan abdomen: distensi abdomen, nyeri tekan abdomen, penurunan frekuensi bising usus
  • Gejala penyerta: feeding intolerance, demam, diare, ikterus
  • Gangguan perdarahan: lebam tanpa sebab, petekiae, ekimosis[1,2,4-6]

Pendekatan Manajemen Pasien dengan Red Flags Tinja Berdarah pada Bayi

Etiologi tinja berdarah pada bayi sulit ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Meski demikian, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan alur investigasi yang diperlukan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat juga akan bermanfaat menentukan adanya kegawatdaruratan medis yang memerlukan penanganan segera.[3,6]

Anamnesis

Evaluasi pasien dimulai dengan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Jika ibu menyusui, tanyakan riwayat frekuensi dan durasi menyusui, serta bukti adanya areola yang retak atau berdarah. Riwayat buang air besar di ruang perawatan neonatus dapat menunjukkan gejala dari anomali gastrointestinal seperti penyakit Hirschsprung, yang dapat mengancam jiwa jika identifikasi dan pengobatan tertunda.[5,6]

Riwayat ikterik, lebam, perubahan pada warna tinja dapat mengarahkan ke etiologi disfungsi hepar. Riwayat penggunaan obat maternal yang dapat melewati sirkulasi plasenta seperti aspirin, cefalotin, dan phenobarbital dapat menyebabkan gangguan koagulasi pada neonatus. Riwayat pemberian vitamin K pada saat lahir perlu ditanyakan, untuk menyingkirkan diagnosis koagulopati yang disebabkan oleh defisiensi vitamin K.[4,5]

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik awal yang perlu diperhatikan pada bayi dengan tinja berdarah yaitu apakah kondisi klinis stabil. Jika pasien stabil, maka dilakukan pemeriksaan fisik lengkap untuk berusaha mengarahkan diagnosis. Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kesadaran, tanda vital, adanya perdarahan aktif, adanya nyeri tekan abdomen, organomegali, ascites, dan pembuluh darah abnormal. Nilai kulit pasien apakah pucat, ikterik, atau terdapat ruam. Lakukan juga pemeriksaan rektal untuk menilai adanya fistula, fissura, atau hemoroid.[1,2,4,5]

Pada pasien dengan perdarahan akut, dapat dijumpai letargi, takikardia, syok, pucat, sianosis, perfusi yang buruk, dan perubahan ortostastik. Pada kasus volvulus dan necrotizing enterocolitis, pemeriksaan fisik akan menunjukan adanya tanda obstruksi abdomen seperti nyeri tekan, distensi, penurunan bising usus, instabilitas hemodinamik, dan pada kasus berat dapat dijumpai tanda peritonitis. Pada kasus volvulus, akan disertai gejala muntah kehijauan (bilous).[2,9,10]

Tanda patognomonik penyakit Hirschsprung adalah obstipasi mekonium dalam 48 jam pertama kehidupan. Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC) ditandai dengan distensi abdomen, demam, diare, kolik abdomen, letargi, dan BAB bercampur darah.[10]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada bayi dengan tinja berdarah dipilih berdasarkan indikasi klinis. Pada pasien yang dicurigai mengalami gangguan perdarahan, dapat dilakukan pemeriksaan waktu protrombin, kadar trombosit, dan defisiensi protein koagulasi. Trombositopenia dapat ditemukan pada kasus DIC atau necrotizing enterocolitis.[1,5]

Pemeriksaan penunjang seperti rontgen abdomen dan USG abdomen diperlukan pada bayi dengan kecurigaan volvulus. Pada kasus volvulus, pemeriksaan rontgen abdomen bisa menunjukkan adanya udara pada saluran pencernaan dengan air-fluid level dan USG abdomen menunjukkan whirlpool sign (pembuluh darah terpuntir di sekitar dasar mesenterium). Pada kasus necrotizing enterocolitis, pemeriksaan rontgen abdomen akan menunjukkan gambaran obstruksi, pneumatosis intestinal, dan pneumoperitoneum.[2,9,10]

Pada kasus stress ulcer, pemeriksaan endoskopi akan menunjukkan mukosa gaster eritem, erosi, ulserasi, hingga perdarahan difus. Selain itu, pemeriksaan denaturasi alkali (APT) dapat digunakan untuk membedakan hemoglobin fetal atau maternal, sehingga dapat dibedakan darah berasal dari ibu atau bayi. Hemoglobin fetal (HbF) lebih resisten untuk mengalami denaturasi alkali bila dibandingkan dengan hemoglobin dewasa (HbA). HbF akan digantikan dengan HbA sekitar usia 6-12 bulan.[1,4,5]

Manajemen Tinja Berdarah pada Bayi

Pada anak yang tampak sakit berat (critically ill), tata laksana awal meliputi patensi jalan napas, oksigenasi, dan resusitasi cairan sesuai keperluan. Pada bayi dengan syok, dilakukan resusitasi cairan segera dengan menggunakan kristaloid, koloid, atau dengan pemberian transfusi darah. Bayi mungkin memerlukan pemasangan selang nasogastrik atau selang orogastrik.

Tata laksana lain tinja berdarah pada bayi bergantung pada etiologi yang mendasari. Pemberian antibiotik spektrum luas dapat dilakukan pada kasus kecurigaan infeksi. Kasus tinja berdarah yang diduga akibat kelainan faktor koagulasi akibat defisiensi vitamin K, dapat dicegah dengan pemberian injeksi vitamin K pada saat bayi baru lahir. Pada kasus volvulus, diperlukan tindakan operasi sesegera mungkin agar perfusi pada saluran cerna dapat dipertahankan dan iskemik dapat dicegah.

Pada kasus necrotizing enterocolitis, pasien mungkin memerlukan dekompresi abdomen, pemberian antibiotik, hingga operasi laparatomi bila sudah terjadi nekrosis pada saluran cerna. Pada kasus tinja berdarah yang disebabkan oleh tertelannya darah ibu, hanya perlu dilakukan observasi. Sementara itu, pada kasus fisura ani diperlukan tata laksana suportif seperti penggunaan pelumas, pelunak tinja, dan observasi.[1,2,9,10]

Referensi