Pertimbangan Etik dan Dampak Mewajibkan Vaksinasi COVID-19

Oleh :
dr. Monik Alamanda

Pertimbangan etik dan dampak mewajibkan vaksinasi COVID-19 menjadi pemikiran yang cukup rumit, terutama di negara Indonesia. Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang bervariasi terhadap vaksin COVID-19, mungkin  karena informasi yang terbatas terkait jenis vaksin, tanggal ketersediaannya, dan profil keamanannya. Dari survei yang dilakukan di Indonesia pada bulan September 2020 menunjukkan hanya dua pertiga responden yang bersedia menerima vaksin COVID-19.[1]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Memasuki tahun 2021, COVID-19 telah menjadi pandemi selama lebih dari satu tahun. Sejauh ini, sebagian besar negara di dunia belum berhasil menekan penyebaran penyakit. Upaya pembatasan sosial yang dilakukan justru berdampak negatif terhadap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Vaksin yang efektif menjadi tumpuan harapan dunia. Vaksin COVID-19 merupakan vaksin pertama yang dikembangkan dalam rentang waktu sangat singkat. Tekanan dari dunia untuk mengaplikasikan vaksin tersebut sangat tinggi.[2-5]

Pertimbangan Mewajibkan Vaksinasi COVID-19

Saat ini, terdapat 53 vaksin COVID-19 yang sedang dalam tahap uji klinik pada manusia, dan 92 vaksin dalam tahap uji praklinik. Beberapa negara bahkan telah memulai proses vaksinasi untuk warga negaranya, melalui penerbitan kebijakan Emergency Use Authorization (EUA). Namun, terdapat kontroversi mengenai upaya membuat vaksin COVID-19 menjadi suatu mandat atau kewajiban pada masyarakat luas.[2-5]

shutterstock_1877632855-min

Agar berpotensi maksimal, vaksin COVID-19  harus dapat menginduksi kekebalan kelompok atau herd immunity. Target herd immunity berbeda untuk setiap penyakit, dan hingga saat ini untuk COVID-19 belum diketahui dengan pasti. Namun, WHO memperkirakan cakupan minimal yang diperlukan untuk mencapai herd immunity COVID-19 adalah 60-70% dari populasi total. Hal ini yang mendasari pertimbangan untuk mewajibkan vaksinasi COVID-19 pada populasi umum.[2-7]

Kewajiban Vaksin COVID-19 Pada Populasi Umum

Pada tanggal 19 Februari 2021, WHO mengeluarkan pernyataan bahwa setiap orang yang dapat memperoleh manfaat dari vaksin COVID-19 harus mendapatkan vaksin sesegera mungkin. WHO merekomendasikan alokasi vaksin COVID-19 didistribusikan untuk kelompok-kelompok prioritas secara bertahap, berdasarkan ketersediaan vaksin dan situasi epidemiologi setempat. Beberapa kelompok prioritas yang disebutkan adalah tenaga kesehatan di lini depan, lansia, dan orang dengan risiko tinggi kematian, seperti orang dengan penyakit komorbid hipertensi dan diabetes mellitus. Vaksinasi COVID-19 pada pasien diabetes mellitus dan pada pasien penyakit ginjal kronis penting dilakukan.[8]

Menurut John Stuart Mill, mandat (restriksi kebebasan memilih) oleh negara dapat dibenarkan apabila seorang berisiko merugikan orang lain. Mengurangi risiko merugikan orang lain merupakan dasar argumen bioetik yang mendukung vaksinasi COVID-19 sebagai suatu kewajiban.[2-5]

Konsil Bioetik Nuffield di Inggris menyebutkan terdapat 2 situasi di mana vaksin secara umum dapat diwajibkan. Pertama, untuk mencegah penyebaran penyakit yang sangat menular dengan gejala klinis yang berbahaya, dan kedua untuk tujuan eradikasi. Sedangkan Savulescu menyebutkan 4 kondisi yang dapat menjadi landasan kuat untuk menjadikan sebuah vaksin sebagai mandat, yaitu terdapat ancaman besar terhadap kesehatan masyarakat, tersedia vaksin yang terbukti aman dan efektif, mewajibkan vaksin memiliki keuntungan yang lebih besar dibanding alternatif lain, dan denda atau hukuman yang tidak berlebihan bagi orang yang menolak divaksin.[4]

Kewajiban Vaksin COVID-19 pada Populasi Khusus

Kewajiban atau mandat merupakan restriksi kebebasan memilih, di mana akan lebih mudah dilaksanakan pada populasi kecil, terstruktur, dan pada lokasi tertentu. Populasi khusus ini termasuk populasi tenaga kesehatan dan non-kesehatan, seperti bisnis dan pendidikan. Vaksin dapat menjadi upaya memfasilitasi kembalinya praktik normal seperti sebelum pandemi.[1-4]

Populasi Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan merupakan kelompok berisiko tinggi tertular penyakit infeksi, dan menularkan kembali ke populasi rentan. Institusi dan fasilitas kesehatan memiliki kewajiban secara hukum dan etik untuk memastikan lingkungan kerja yang aman bagi para tenaga kesehatan. Selain itu, vaksin dapat mengurangi risiko gejala berat dan kebutuhan rawat inap bagi tenaga kesehatan yang terinfeksi, sehingga akan mengurangi risiko kekurangan tenaga di fasilitas kesehatan. [2-5]

Manfaat-manfaat tersebut mendukung adanya mandat vaksin COVID-19 pada populasi tenaga kesehatan. Populasi yang lebih kecil dan terstruktur di dalam institusi tersebut memungkinkan pelaksanaan dan pengawasan mandat vaksin yang lebih baik dibanding pada populasi luas.[2–5]

Akan tetapi, tingkat stres yang tinggi akibat beban kerja selama pandemi dapat menyebabkan mandat menjadi kontraproduktif pada tenaga kesehatan.  Dispensasi nonmedis dapat menjadi alternatif untuk mengurangi kekhawatiran tenaga kesehatan mengenai mandat tersebut.[2-5]

Populasi Tenaga Keamanan Negara dan Fasilitas Negara

Bersama dengan populasi tenaga kesehatan, madat vaksinasi juga dapat diterapkan pada populasi terstruktur pada tenaga keamanan negara dan petugas di fasilitas negara. Sebagai lini terdepan yang tidak mungkin selalu melaksanakan pembatasan sosial, maka kedua populasi ini layak untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19 sesegera mungkin.

Populasi Sektor Bisnis dan Pendidikan

Berada di lingkungan yang tertutup, kecil, dan dalam durasi yang panjang dapat berisiko tinggi mengalami penyebaran COVID-19. Misalnya pada sektor bisnis dan pendidikan yang diupayakan mendapatkan vaksin agar dapat melakukan kegiatan secara normal kembali.[2-5]

Sama seperti fasilitas kesehatan, sektor bisnis dan pendidikan memiliki kewajiban hukum dan etik untuk menjaga karyawan, pelanggan, dan peserta didiknya aman. Namun, data penelitian mengenai keamanan dan efikasi vaksin COVID-19 yang ditujukan pada populasi usia khusus seperti anak usia sekolah masih terus berjalan. Oleh karena itu, mandat vaksin COVID-19 untuk populasi usia anak sekolah belum dapat diterapkan.[2-5]

Penolakan Terhadap Vaksin COVID-19

Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, bahkan organisasi kesehatan internasional WHO, mengeluarkan otorisasi vaksin COVID-19 sebagai upaya darurat untuk menanggulangi penyebaran COVID-19. Ketentuan dan kriteria penggunaan vaksin darurat memang hanya membutuhkan data keamanan dan efikasi yang lebih sedikit dibanding dalam situasi lain. Oleh karena itu, penolakan vaksin COVID-19 di masyarakat di antaranya karena anggapan penelitian yang belum tuntas, keamanan dan efektivitas yang belum jelas, serta hak otonomi individu yang tidak boleh dilanggar[2-5,10]

Alasan Penelitian Belum Tuntas

Meskipun teknologi yang ada sekarang memungkinkan pengembangan vaksin dalam waktu singkat, upaya vaksin COVID-19 menjadi mandat justru membuat sebagian orang memandang upaya tersebut sebagai bagian dari penelitian medis yang masih berjalan.[2-5]

Alasan Keamanan dan Efektivitas

Vaksin COVID-19 benar-benar merupakan sesuatu yang baru, dan proses pengembangannya diusahakan sesingkat mungkin. Potensi efek samping mungkin saja membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bermanifestasi. Hal-hal ini yang menjadi argumen penolakan terhadap vaksin COVID-19 saat ini.[2-5]

Alasan Hak Otonomi Individu

Suatu kebijakan mandat berisiko menjadi kontraproduktif karena masyarakat merasa hak otonominya dihalangi. Salah satu aspek penting dari praktik klinik adalah menghargai otonomi setiap individu. Dalam beberapa populasi khusus, seperti institusi dan fasilitas kesehatan, mandat vaksin dapat dilakukan dan diawasi. Namun, mekanisme yang sama sulit diterapkan pada populasi luas.[2-5]

Alternatif Lain Dalam Penerapan Vaksin COVID-19

Pada penerapan vaksin COVID-19, selain berupa kewajiban atau mandat, masyarakat dapat diberikan kebebasan memilih dan pemerintah dapat memberikan insentif. Namun, pendekatan seperti ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan membuat keamanan dari vaksin dipertanyakan.[2-5]

Alternatif lain adalah menjadikan vaksin COVID-19 sebagai syarat untuk menerima pelayanan atau memasuki lokasi-lokasi tertentu. Sejak pandemi, banyak pelaku bisnis yang memberikan syarat bagi pelanggannya untuk wajib menggunakan masker saat memasuki gedung dan melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Keharusan untuk divaksin COVID-19 sebagai syarat menerima pelayanan juga dapat diterapkan.[2-5]

Penerapan Vaksinasi COVID-19 di Indonesia

Pada bulan Desember 2020, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengeluarkan keputusan distribusi vaksin Sinovac (CoronaVac) segera dimulai dengan gelombang pertama menyasar kelompok prioritas, yaitu tenaga kesehatan, petugas publik, dan lansia tanpa pungutan biaya. Program ini sesuai dengan keputusan WHO mengenai alokasi vaksin COVID-19.[8,11]

Hasil Survei Sebelum dan Sesudah Penerapan Program Vaksinasi

Survei di Indonesia pada bulan September 2020 mendapatkan dua pertiga responden bersedia menerima vaksin COVID-19. Berdasarkan pengelompokan responden, maka kelompok responden dengan tingkat penerimaan vaksin rendah adalah tingkat ekonomi rendah, agama muslim, dan tidak memiliki asuransi kesehatan. Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan daerah dengan tingkat penerimaan vaksin yang rendah.[1]

Survei tersebut juga menunjukkan 65% responden tidak bersedia untuk mengeluarkan uang untuk vaksin COVID-19. Mayoritas responden tidak mampu untuk membayar vaksin apabila harganya lebih dari 100.000 rupiah.[1]

Sedangkan survei setelah program vaksinasi COVID-19 dimulai, dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada bulan Januari 2021. Hasil survei menunjukkan 61,9% responden percaya akan potensi vaksin COVID-19 dalam menekan pandemi. Sebesar 63,6% responden menyatakan bersedia divaksin. Sedangkan ketidakpercayaan terutama ditemukan pada kelompok usia 17‒22 tahun dan berpendidikan lebih rendah.[12]

Hasil dua survei sebelum dan setelah pelaksanaan program vaksinasi COVID-19 di atas tidak menunjukkan perbedaan yang berarti.

Berbagai Kendala dan Upaya Menerapkan Vaksin

Upaya untuk meningkatkan penerimaan vaksin COVID-19 sangat penting untuk dilakukan. Sebagai contoh, kejadian luar biasa difteri yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017 diperkirakan disebabkan oleh adanya resistensi vaksinasi di berbagai daerah, dengan salah satu faktor penolakan adalah agama. Penyebaran informasi mengenai vaksin difteri untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, dan menjembatani alasan religius merupakan salah satu upaya yang dilakukan saat itu.[13]

Belajar dari kasus difteri tersebut, sangat penting untuk menekan resistensi vaksin dengan cara meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai vaksin COVID-19. Survei menyebutkan 79% responden menyuarakan kebutuhan akan informasi yang benar dan akurat mengenai potensi vaksin COVID-19, dengan tenaga kesehatan sebagai sumber informasi yang paling dipercaya.

Untuk itu, upaya utama yang direkomendasikan untuk meningkatkan penerimaan vaksin COVID-19 di Indonesia adalah mengkomunikasikan informasi yang benar dan akurat mengenai vaksin, terutama melalui media sosial sebagai kanal penyebaran informasi yang paling diminati.[1]

Kesimpulan

Para ahli menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 dapat dikendalikan jika herd immunity tercapai melalui pemberian vaksin. Untuk mencapai kekebalan komunitas tersebut, diperkirakan cakupan minimal vaksinasi adalah 60‒70% dari populasi total. Alasan ini yang menjadi dasar pertimbangan untuk mewajibkan vaksinasi COVID-19 pada populasi umum.

Namun, menjadikan vaksin COVID-19 sebagai suatu kewajiban justru memiliki risiko menjadi kontraproduktif. Mandat vaksin COVID-19 yang dibatasi untuk populasi berisiko tinggi atau esensial dapat menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan penerapannya pada populasi luas. Informasi yang benar dan akurat mengenai potensi vaksin COVID-19 harus disebarluaskan, dan disampaikan terutama oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi yang paling dipercaya.

Selain informasi terkait keamanan dan risiko efek samping, di negara Indonesia perlu informasi yang dapat menjembatani alasan religius sebagai salah satu upaya meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat. Argumen lain yang dapat mendukung vaksin COVID-19 sebagai suatu mandat adalah adanya pemikiran “kita berjuang menghadapi COVID-19 bersama-sama”, dengan partisipasi semua orang dalam menerapkan vaksin COVID-19 diharapkan pandemi dapat segera teratasi.

Perlu dipahami bahwa kebijakan penanggulangan COVID-19 sebelumnya, seperti menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik, tetap harus dilaksanakan sebagai kebiasaan baru. Hal ini karena potensi vaksin COVID-19 masih dalam pengawasan.[1]

Referensi