Bukti Ilmiah Physical Distancing pada Pandemi COVID-19

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Physical distancing atau pembatasan jarak fisik merupakan salah satu upaya penting dalam pencegahan transmisi COVID-19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan World Health Organization (WHO) mengimbau masyarakat untuk menjaga jarak minimal 1 meter antarindividu, sementara Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan agar  menjaga jarak minimal 2 meter.[1-3]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Sampai saat ini, penelitian terkait mekanisme dan jarak transmisi COVID-19 masih terus berkembang, termasuk studi yang mengkaji jarak minimal antarindividu yang efektif untuk mencegah transmisi COVID-19.

Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, bagian dari famili coronavirus. Studi epidemiologi dan virologi menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebar antarmanusia melalui droplet, seperti kebanyak patogen penyakit respirasi lainnya.[1,4]

Sejak awal abad ke-19, ukuran droplet dianggap paling berpengaruh dalam menentukan jarak transmisi suatu virus atau patogen. Namun, bukti ilmiah terbaru mengemukakan bahwa jarak transmisi virus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling menguatkan satu sama lain.[5]

shutterstock_1734571916-min

Rasionalisasi Physical Distancing 1–2 Meter

Physical distancing 1–2 meter berpedoman pada pola transmisi penyakit yang telah diprediksi dalam pemodelan epidemiologi transmisi penyakit menular di awal abad ke-19. Pemodelan tersebut menghasilkan teori dikotomi ukuran droplet yang dijadikan acuan penetapan kebijakan oleh berbagai lembaga kesehatan di dunia. Pemodelan tersebut mengklasifikasikan droplet menjadi partikel besar dan kecil dengan ambang batas 5–10 μm. Berbagai literatur menggunakan nilai ambang yang berbeda.[6-8]

Karena pengaruh gaya gravitasi, droplet berukuran besar jatuh lebih cepat sebelum sempat menguap. Droplet kemudian mendarat dan menempel pada permukaan dalam radius 1–2 meter dari individu yang menjadi sumber penularan. Sementara itu, droplet berukuran kecil mengalami penguapan yang lebih cepat. Proses penguapan material droplet kecil tersebut membentuk partikel-partikel residu yang dikenal sebagai droplet nuclei atau aerosol yang jarak transmisinya ditentukan oleh aliran udara.

Tanpa aliran udara, droplet kecil tidak dapat menempuh jarak yang jauh dan tetap berada di sekitar sumbernya. Sebaliknya, adanya aliran udara akan memfasilitasi droplet untuk bertransmisi sampai jarak yang lebih jauh. Berdasarkan teori tersebut dan dengan asumsi aliran udara yang minimal, physical distancing 1–2 meter dinilai efektif untuk menghindari paparan virus [5-7].

Teori ‘Awan Gas Turbulen’ dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Transmisi Virus

Para peneliti mulai meragukan teori dikotomi ukuran droplet yang dianggap terlalu sederhana dan sudah tidak relevan sebagai dasar penetapan rekomendasi pada kondisi saat ini. Selain ukuran droplet, banyak faktor lingkungan dan individu yang dapat memengaruhi transmisi. Oleh sebab itu, rekomendasi yang dihasilkan dari model dikotomi dianggap tidak lagi efektif dalam mengendalikan transmisi virus SARS-CoV-2.[5]

Proses ekspirasi dan berbicara yang normal menghasilkan partikel droplet berukuran kecil (diameter ≤1 μm). Sedangkan, proses ekspirasi dengan gaya yang lebih kuat, seperti bersin, batuk, berteriak, dan bernyanyi menghasilkan droplet lebih banyak dengan ukuran yang lebih besar. Jenis aktivitas tidak hanya berpengaruh terhadap ukuran droplet, tetapi juga menentukan kekuatan turbulensi dari gas yang dihasilkan.

Awan gas turbulen yang dihasilkan membawa droplet memasuki udara yang bersirkulasi di lingkungan tersebut. Mekanisme transmisi virus dengan awan gas turbulen memungkinkan patogen dalam droplet untuk terdistribusi lebih jauh dalam hitungan detik, tanpa memperhitungkan ukuran droplet.

Berteriak, bernyanyi, batuk, dan bersin menghasilkan turbulensi yang lebih kuat daripada berbicara dan ekspirasi normal. Sehingga, jarak 1–2 meter mungkin sudah cukup efektif mencegah transmisi virus pada kondisi individu yang berbicara normal. Namun, jarak tersebut tidak cukup efektif apabila individu melakukan aktivitas yang menghasilkan turbulensi lebih kuat.[5-7]

Selain jenis aktivitas, faktor lingkungan seperti ventilasi, sirkulasi udara, temperatur, kelembapan, dan tingkat penguapan juga berpengaruh dalam transmisi droplet. Sebagai contoh, ventilasi yang baik dapat mengurangi risiko transmisi, sementara kondisi yang lembap dapat meningkatkan jarak tempuh horizontal dari droplet yang berada dalam gas awan.

Durasi paparan, viral load, kerentanan individu, serta penggunaan masker atau alat pelindung lain juga turut berperan dalam proses transmisi droplet [5,8]. Dengan memperhitungkan berbagai kombinasi dari faktor-faktor di atas, awan gas yang mengandung droplet partikel virus diestimasikan dapat menempuh jarak sejauh 7–8 meter dari sumbernya.[6]

Jones et al menyarankan agar rekomendasi physical distancing dibuat berjenjang sesuai dengan profil risiko transmisi masing-masing situasi. Ruangan tertutup tanpa ventilasi adekuat, okupansi individu yang tinggi, dan waktu kontak yang lama dianggap sebagai situasi dengan risiko tinggi. Pada situasi tersebut, diperlukan physical distancing lebih dari 2 meter. Physical distancing mungkin dapat diberlakukan lebih longgar pada kondisi dengan risiko rendah, seperti ruangan terbuka, ventilasi baik, tingkat okupansi rendah, dan penggunaan masker atau pelindung wajah yang adekuat.[5]

Hasil Penelitian terkait Rekomendasi Physical Distancing

Sebuah tinjauan pustaka dan meta analisis yang melibatkan 172 studi observasional dan 44 studi komparatif dari 16 negara menginvestigasi jarak optimal untuk mencegah transmisi virus SARS-COV-2 dan beberapa jenis beta coronavirus penyebab acute respiratory distress syndrome (ARDS) lainnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat transmisi virus berkurang pada physical distancing ≥1 meter. Tingkat transmisi pada jarak <1 meter adalah 12,8%, dan berkurang menjadi 2,6% pada jarak ≥1 meter. Efek protektif physical distancing meningkat seiring pertambahan jarak.

Temuan studi tersebut sesuai dengan rekomendasi yang berlaku saat ini, yaitu physical distancing dengan jarak 1 meter sudah cukup menurunkan tingkat infeksi. Meski begitu, jarak 2 meter tetap dianggap lebih efektif.[9]

Bahl et al meninjau bukti ilmiah yang mendukung pedoman physical distancing 1 meter dan keterkaitannya dengan rekomendasi alat pelindung diri tenaga medis. Karena terbatasnya studi terkait transmisi horizontal droplet yang terbit di jurnal medis, peneliti memasukkan beberapa penelitian dari bidang ilmu sains lainnya yang terbit dalam jurnal berbahasa inggris untuk ikut dalam analisis.

Beberapa studi menggunakan metodologi eksperimental, dan sebagian lainnya menggunakan metodologi pemodelan. Sebanyak 8 dari 10 studi yang dianalisis mengulas bahwa droplet berukuran ≤60 μm dapat menempuh jarak horizontal lebih dari 2 meter, dengan jarak tempuh sampai dengan 8 meter. Temuan jarak tempuh yang dihasilkan cukup bervariasi, yaitu antara 2–8 meter, karena tiap-tiap studi menggunakan metodologi yang berbeda.

Salah satu studi yang menyimpulkan bahwa jarak tempuh <2 meter dilakukan pada tahun 1942, di mana perangkat fotografi dan pencahayaan yang digunakan saat itu tidak cukup sensitif untuk menangkap seluruh partikel droplet. Sehingga, peneliti berpendapat bahwa peraturan social distancing 1–2 meter perlu ditinjau kembali, mengingat kebanyakan studi terbaru menunjukkan droplet dapat menempuh jarak lebih dari 2 meter dan masih terdapat risiko infeksi pada kisaran jarak tersebut.[8]

Hasil dari kedua studi di atas tidak menyebutkan secara pasti jarak minimal physical distancing. Namun, keduanya merekomendasikan pembatasan jarak di atas 2 meter. Efektivitas physical distancing terus meningkat seiring pertambahan jarak, bahkan lebih dari 2 meter. Temuan tersebut semakin memperkuat opini bahwa teori dikotomi yang menjadi dasar penetapan physical distancing 1–2 meter sudah tidak relevan.

Meskipun demikian, studi yang ada saat ini juga masih memiliki keterbatasan. Data yang didapat dalam studi di atas memiliki potensi bias dalam pengukuran jarak serta belum memperhitungkan seluruh faktor lingkungan yang berpengaruh. Selain itu, data studi juga tidak spesifik terhadap SARS-CoV-2, karena juga melibatkan data dari pandemi severe acute respiratory syndrome (SARS) dan Middle East respiratory syndrome (MERS).

Oleh sebab itu, masih dibutuhkan studi lanjutan yang lebih spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 dengan melibatkan lebih banyak subjek dan kondisi lingkungan lebih bervariasi agar paradigma dan rekomendasi terkait jarak efektif physical distancing dapat disesuaikan dengan bukti ilmiah terkini.

Kesimpulan

Studi terkait transmisi COVID-19 masih terus bermunculan, tetapi penyebaran COVID-19 masih tetap sulit dikendalikan. Rekomendasi physical distancing 1–2 meter dianggap sudah tidak relevan lagi, sehingga perlu dilakukan pengkajian ulang berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini.

Peran penting dari faktor lingkungan dan individu masih sering diabaikan dan masih perlu diteliti lebih jauh. Dalam praktik sehari-hari, tenaga medis hendaknya mengetahui dan dapat memperhitungkan faktor-faktor tersebut agar mampu memberikan anjuran physical distancing yang sesuai dengan profil risiko pasien.

Edukasi dan promosi kesehatan tentang upaya pencegahan COVID-19 tentu harus tetap diberikan. Physical distancing yang disertai dengan penggunaan masker, pengurangan aktivitas di luar rumah, pembatasan waktu kontak antar individu, serta pengendalian faktor lingkungan lainnya diharapkan dapat memutus rantai penularan COVID-19.

Referensi