Penatalaksanaan Pseudogout
Tujuan penatalaksanaan pseudogout adalah untuk mengurangi peradangan dan mencegah flare akut. Ini bisa dilakukan dengan pemberian obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid, maupun kolkisin. Pasien dengan deposisi kristal kalsium pirofosfat yang tidak bergejala (kondrokalsinosis asimtomatik) umumnya tidak memerlukan terapi.
Aktivitas fisik, penurunan berat badan, dan penggunaan alat pendukung sendi dapat membantu pasien meminimalisir kekakuan sendi dan mempertahankan mobilitas. Aspirasi sendi dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami pembengkakan dan ketidaknyamanan signifikan.
Perawatan nonfarmakologi seperti kompres dingin dan beristirahat dapat membantu mengurangi rasa sakit dan pembengkakan untuk sementara. Obat antiinflamasi, seperti OAINS dan kortikosteroid, merupakan yang paling banyak digunakan untuk menghentikan episode akut dan mengurangi rasa sakit, tetapi tidak dapat mengubah perjalanan penyakit. Kolkisin umumnya dipakai untuk menghindari serangan flare akut berulang.[1,2,5,8]
Terapi Nonfarmakologi
Terapi awal nonfarmakologi yang dapat diberikan adalah kompres dingin menggunakan es dan istirahat sementara. Tindakan aspirasi pada sendi menjadi pilihan pada kondisi akut dengan bengkak, yang mana digunakan sebagai tindakan diagnostik dan teraputik untuk menurunkan tekanan intraartikuler.
Tindakan aspirasi sendi hanya dapat dilakukan pada kasus oligoartikuler (satu atau dua sendi terlibat). Tindakan aspirasi dapat dikombinasikan dengan injeksi kortikosteroid intraartikuler. Meski begitu, perlu diingat bahwa injeksi kortikosteroid hanya dapat dilakukan jika diagnosis artritis septik sudah dieksklusikan.[1]
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)
OAINS, seperti ibuprofen dan indometasin, merupakan pilihan utama untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout. Penggunaan dosis rendah OAINS dapat menghentikan serangan akut dan menurunkan risiko flare di masa depan. Namun, efek samping seperti nefropati dan ulkus peptikum membatasi penggunaan jangka panjang, diperlukan pemantauan. Pada pasien dengan risiko tinggi perdarahan saluran cerna, gagal ginjal, atau gagal hati, OAINS sebaiknya dihindari.[5,8]
Kolkisin
Kolkisin bekerja dengan mengganggu polimerisasi mikrotubulus yang mengakibatkan gangguan terhadap kemotaksis neutrofil dan adhesi sel. Obat ini juga bekerja dengan melemahkan ekspresi IL-1β yang diinduksi oleh kristal CPP atau monosodium urat (MSU). Kolkisin juga diduga menghambat endositosis kristal atau pengenalan kristal ke inflamasom NLRP3.
Pedoman klinis merekomendasikan kolkisin oral sebagai terapi yang efektif pada serangan akut pseudogout. Kolkisin digunakan dalam dosis rendah 0,5 mg 3-4 kali sehari dengan atau tanpa dosis awal 1 mg. untuk mencegah kekambuhan serangan akut, dapat diberikan dosis 0,5-1 mg per hari.[2,5,8]
Penelitian mengenai penggunaan kolkisin pada kasus pseudogout akut menunjukkan hasil yang baik. Satu penelitian menunjukkan pemberian kolkisin dapat menurunkan keluhan nyeri sendi dalam 24 jam sebanding dengan kelompok prednisone. Selain itu, penelitian menunjukkan pemberian dengan atau tanpa dosis awal memiliki efikasi dan efek samping yang tidak berbeda signifikan.[5]
Dosis kolkisin yang lebih tinggi dapat berbahaya bahkan fatal karena indeks terapeutiknya sempit, sehingga dosis yang lebih rendah lebih disarankan. Efek samping pemberian kolkisin meliputi diare, mual, muntah, neuromiopati dan toksisitas seperti sitopenia, gagal hati, dan rhabdomyolysis.[5,8]
Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan bila pasien memiliki kontraindikasi terhadap OAINS dan kolkisin. Pemberian dapat dilakukan secara oral, intravena, intramuskular, atau intraartikuler, dengan pilihan rute disesuaikan berdasarkan jumlah sendi yang terlibat dan kondisi pasien.
Pada arthritis oligoartikular, injeksi intraartikuler lebih disarankan untuk mengurangi efek sistemik. Penggunaan jangka panjang kortikosteroid harus diwaspadai karena risiko infeksi, osteoporosis, hiperglikemia, dan komplikasi metabolik lainnya.[5,8]
Lokal:
Pemberian kortikosteroid lokal secara injeksi pada sendi yang terlibat merupakan tindakan yang sering dilakukan sebagai terapi serangan akut. Penelitian menunjukkan terapi injeksi bersamaan dengan aspirasi cairan sendi memberikan efek mengurangi nyeri yang paling cepat, dibandingkan dengan aspirasi saja atau aspirasi ditambah OAINS.[5]
Sistemik:
Kortikosteroid sistemik (oral atau parenteral) dapat menjadi alternatif pilihan terapi pada kelompok pasien yang kontraindikasi terhadap OAINS dan kolkisin misalnya pasien dengan penyakit ginjal, serta pada pasien yang resisten terhadap injeksi kortikosteroid lokal atau pasien dengan keluhan poliartikuler. Penelitian menunjukkan pemberian kortikosteroid sistemik memiliki NNT (numbers needed to treat) yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS.
Kortikosteroid sistemik memiliki efek samping sistemik terhadap berbagai organ, misalnya hiperglikemia, infeksi, edema, dan osteoporosis, terutama pada penggunaan jangka panjang. Oleh sebab itu, penggunaan kortikosteroid sistemik dalam jangka panjang masih kontroversial.[5,8]
Tabel 1. Pilihan Terapi Medikamentosa pada Pseudogout
Terapi | Indikasi | Mekanisme Aksi |
OAINS oral (dengan gastroprotektan) | Akut dan Kronis | Menghambat enzim siklooksigenase, menghambat perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin |
Kolkisin oral | Akut (0,5 mg 3-4 kali/hari) | Menghambat mikrotubulus sehingga mengganggu kemotaksis sel imun dan inflamasi oleh inflamasom NLRP3 |
Kronis (0,5-1,0 mg/hari) | ||
Kortikosteroid oral atau parenteral | Akut dan kronis | Secara sistemik mengubah ekspresi gen yang menghasilkan efek antiinflamasi dan mengaktifkan protein antiinflamasi. |
Kortikosteroid intraartikuler | Akut | Secara lokal mengubah ekspresi gen sehingga menimbulkan efek antiinflamasi |
Adrenocorticotrophin hormone (ACTH) parenteral | Akut | Stimulasi pelepasan kortikosteroid endogen dari kelenjar adrenal atau sifat antiinflamasi dari melanokortin |
Terapi biologi | Akut dan kronis | Antagonis reseptor interleukin atau menetralisir sinyal interleukin |
Sumber: dr. Siti Solichatul Makkiyyah, Alomedika, 2025.[1,5,8]
Adrenocorticotropin Hormone (ACTH)
ACTH memiliki indikasi yang mirip dengan kortikosteroid, yaitu diberikan pada pasien yang tidak membaik atau memiliki kontraindikasi dengan pemberian OAINS atau kolkisin. ACTH bekerja dengan menstimulasi pelepasan kortikosteroid endogen dari kelenjar adrenal atau sifat antiinflamasi dari melanokortin itu sendiri. Penelitian menunjukkan pemberian ACTH 100 IU dapat memberikan perbaikan gejala dalam 24 jam.[5]
Berbeda dengan kortikosteroid, penggunaan ACTH tidak memberikan efek samping yang signifikan. ACTH dapat menjadi pilihan terapi pada pasien dengan kontraindikasi terhadap OAINS, kolkisin, dan kortikosteroid. Namun, penggunaan ACTH pada kasus akut sebagai pilihan terapi awal jarang dilakukan karena meningkatkan beban biaya medis.[2,5]
Anakinra
Anakinra merupakan suatu antagonis IL-1R yang terbukti efikasinya pada penyakit autoinflamasi. Obat ini diberikan melalui injeksi subkutan dengan dosis 100 mg. Sebuah tinjauan literatur menunjukkan bahwa pemberian anankira pada pasien dengan intoleransi atau respon inadekuat terhadap terapi standar memberikan hasil penurunan kadar protein reaktif-C (CRP) dan perbaikan keluhan nyeri pada visual analog scale (VAS).
Meskipun penelitian mengenai penggunaan anankira masih terbatas, namun pemilihan anankira pada pasien dengan kontraindikasi atau refrakter terhadap terapi standar menjadi pilihan menjanjikan di masa depan untuk mengontrol peradangan kristal.[2,8]
Pembedahan
Pada beberapa kasus pseudogout dengan osteoarthritis atau deposit kristal pada area yang tidak biasa, dapat diperlukan pembedahan sebagai tata laksana. Misalnya pada kasus “tophaceous pseudogout” yaitu deposisi kristal kalsium pirofosfat pada temporomandibular joint (TMJ) yang memerlukan eminektomi, kondilektomi, dan rekonstruksi TMJ total. Pembedahan juga diperlukan pada kasus pseudo-neuropathic arthropathy atau deformitas berat.[5,8]
Radiosinovektomi
Sebuah uji klinis kecil terhadap pasien pseudogout lutut bilateral mengevaluasi efikasi terapi sinovektomi radiasi. Partisipan diberikan yttrium-90 dengan kortikosteroid intraartikuler berupa triamsinolon heksasetonida 20 mg pada satu lutut dan cairan fisiologis ditambah kortikosteroid pada lutut kontralateral. Pada bulan ke-6, dilaporkan adanya penurunan nyeri, kekakuan, dan efusi yang signifikan pada lutut yang diberi radioterapi dibandingkan kontrol.
Penelitian lain menguji pemberian destruksi sinovial dengan iradiasi laser yang dibandingkan dengan diklofenak oral. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat penurunan nyeri pada 69,2% kelompok uji dibandingkan dengan 60,8% kelompok kontrol. Pada kelompok kontrol didapati efek samping gastrointestinal, sementara kelompok uji tidak.[6]