Penatalaksanaan Gangguan Tidur
Penatalaksanaan gangguan tidur sebaiknya mengedepankan pendekatan non-farmakologis. American Family Physician baru-baru ini mendorong klinisi untuk mengurangi pemakaian obat-obatan dalam tata laksana gangguan tidur. [13,14]
Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis untuk gangguan tidur dapat berupa sleep hygiene, cognitive behavioral therapy, dan stimulus control therapy.
Sleep Hygiene
Sleep hygiene mencakup perubahan gaya hidup, seperti kontrol diet, olah raga teratur, mengurangi penggunaan stimulant dan alkohol. Faktor lingkungan yang mungkin mengganggu tidur (misalnya suara, cahaya, dan temperature) juga dikendalikan. Selain itu juga disarankan untuk menghindari tidur siang dan makan malam yang berat. [9]
Stimulus Control Therapy
Pasien yang mengalami gangguan tidur kronis cenderung mengalami conditioning antara lingkungan tempat tidur dan jam tidur dengan perilaku-perilaku yang bisa mengganggu tidur, seperti khawatir, membaca, menggunakan smartphone, atau menonton TV di tempat tidur. Stimulus control therapy ditujukan untuk menghilangkan perilaku-perilaku yang mengganggu tidur ini dari tempat dan jam tidur.
Instruksi untuk terapi ini mencakup:
- Berbaring di tempat tidur hanya ketika sudah mengantuk
- Hindari aktivitas yang membuat tetap terjaga di tempat tidur
- Tidur hanya di kamar tidur dan bukan di tempat lain, seperti sofa
- Segera meninggalkan tempat tidur setelah bangun
- Hanya masuk ke kamar tidur ketika sudah mengantuk
- Selalu bangun pada waktu yang sama, meskipun jumlah jam tidur malam berbeda-beda (dengan tanpa mempedulikan jumlah jam tidur malam)
- Hindari tidur di siang hari [4,9]
Sleep Restriction
Terapi ini dilakukan dengan membatasi waktu terjaga di tempat tidur sebelum tidur. Sebelum terapi dimulai, pasien diminta membuat sleep log selama 2 minggu untuk mengetahui perbandingan waktu benar-benar tidur di tempat tidur dibandingkan dengan seluruh waktu yang dihabiskan di tempat tidur (sleep efficiency). Pasien hanya diijinkan tidur sejumlah waktu yang dihabiskan benar-benar tidur di tempat tidur (tapi tidak boleh kurang dari 5 jam), sehingga pasien akan mengalami deprivasi tidur dan peningkatan dorongan untuk tidur. Bila sleep efficiency sudah mencapai 90%, maka jam tidur ditambahkan 15 menit. [9]
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
CBT untuk insomnia menggunakan pendekatan kognitif untuk mengatasi distrosi kognitif dan miskonsepsi mengenai insomnia, pendekatan perilaku (seperti stimulus control dan sleep restriction), dan pendekatan edukasional (misalnya sleep hygiene). CBT untuk insomnia bisa dilakukan secara interpersonal maupun dalam bentuk group therapy. [9,15]
Maintenance Patensi Jalan Nafas
Untuk mereka yang mengalami gangguan tidur yang terkait dengan gangguan jalan nafas, maka bisa dipertimbangkan untuk pemberian dental-oral appliance, pengaturan posisi tidur, penurunan berat badan, atau tindakan operatif. [2]
Terapi Farmakologis
Obat-obatan yang bisa digunakan untuk menangani gangguan tidur adalah benzodiazepine (alprazolam, clonazepam), agonis reseptor melatonin (ramelteon, tasimelteon), Z-drugs (zolpidem, zopiclone, eszopiclone, zaleplon), orexin antagonist (suvorexant), antidepresan (mirtazapine, trazodone, amitriptyline), dan antihistamin. [2,9]
Penggunaan obat sebaiknya diberikan dalam durasi singkat atau sebagai tambahan untuk terapi nonfarmakologis. Obat dipilih dengan mempertimbangkan
- Keluhan utama gangguan tidur yang dialami (misalnya kesulitan memulai tidur atau mempertahankan tidur)
- Frekuensi terjadinya gangguan tidur (setiap malam atau intermiten)
- Durasi pemberian obat yang direncanakan
- Umur dan komorbiditas yang dimiliki pasien
Untuk pasien yang mengalami kesulitan untuk memulai tidur (insomnia inisiasi), bisa diberikan obat-obat short-acting (misalnya alprazolam, zolpidem). Terdapat studi yang menyebutkan bahwa suplementasi magnesium bermanfaat pada insomnia pasien dewasa, tetapi mekanisme dan efikasinya masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Untuk pasien yang mengalami gangguan untuk mempertahankan tidur bisa diberikan obat dengan aksi yang lebih panjang (misalnya eszopiclone, suvorexant).
Pasien-pasien yang mempunyai komorbiditas kecemasan atau depresi, bisa diberikan antidepresan yang mempunyai properti sedatif (misalnya trazodone, mirtazapine).
Untuk mereka yang mengalami gangguan irama sirkadian, bisa diberikan obat golongan melatonin agonis atau orexin antagonis.
Farmakoterapi untuk narkolepsi dan hipersomnia adalah modafinil, armodafinil, metifenidat, atau sodium oxybate. Untuk gangguan perilaku terkait tidur REM bisa diberikan clonazepam, melatonin, agonis dopamine (pramipexole, ropinirole), dan gabapentin. [2]