Penatalaksanaan Gangguan Tic
Penatalaksanaan gangguan tic menggunakan kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi. Meskipun demikian, pada sebagian besar kasus hanya dilakukan pemantauan timbulnya distress atau gangguan fungsi. Indikasi terapi pada gangguan tic adalah apabila timbul nyeri atau ketidaknyamanan, gangguan dalam interaksi sosial, dan gangguan di sekolah atau pekerjaan. [1] Beberapa penelitian mencoba menggunakan intervensi fisik seperti transcranial stimulation (TMS) dan deep brain stimulation (TMS), namun belum terbukti efektif untuk penanganan gangguan tic.[12]
Psikoterapi
Terapi lini pertama untuk gangguan tic derajat ringan sampai sedang adalah dengan psikoterapi. Obat hanya dipertimbangkan bila gejala sangat mengganggu atau bila pasien tidak respon dengan psikoterapi. Tujuan dari cognitive behavioral therapy (CBT) bukan untuk menghilangkan tic, tapi untuk meredakan ketidaknyamanan atau perasaan malu akibat tic, dan supaya pasien bisa mencapai derajat fungsi yang optimal.[9]
Bentuk psikoterapi yang direkomendasikan pada gangguan tic adalah exposure response prevention (ERP), habit-reversal therapy or training (HRT), dan comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT).
Comprehensive Behavioral Intervention For Tics (CBIT)
CBIT adalah psikoterapi lini pertama untuk gangguan tic. Komponen dari CBIT mencakup latihan kewaspadaan, latihan respon kompetitif terhadap tic, latihan relaksasi, manajemen kontingensi, dukungan sosial, dan pencegahan relaps.[1,3]
Habit-Reversal Therapy Or Training (HRT)
HRT juga merupakan salah satu terapi yang direkomendasikan untuk gangguan tic. [13] Pada terapi ini, pasien dan orang tua dilatih untuk mengenali tanda-tanda akan munculnya serangan tic dan berlatih untuk melakukan gerakan, vokalisasi, dan kegiatan yang berlawanan dengan tic atau yang akan mengganggu timbulnya. [6] Misalnya, pasien dengan tic berupa menggerakkan tangan, diminta untuk bersedekap dengan kedua tangannya jika merasa tic akan timbul, dan melatih hal ini berulang-ulang.
Exposure Response Prevention (ERP)
ERP mirip dengan HRT, namun ditujukan untuk respon tic yang kompleks. Pasien diminta mengenali tanda-tanda akan munculnya tic dan melawanya dalam waktu yang lama (exposure). Kemudian pasien diminta untuk sekuat mungkin menahan semua respons yang biasanya terjadi (response prevention).[3,6]
Medikamentosa
Sebelum memulai farmakoterapi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan fisik, neurologi, dan skrining laboratorium. Obat sebaiknya dimulai dari dosis paling kecil dan dilakukan titrasi secara bertahap.
Farmakoterapi lini pertama untuk gangguan tic ringan sampai sedang, khususnya sindrom Tourette, terutama dengan komorbid gangguan pemusatan perhatian atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah agonis alfa adrenergik yaitu clonidine. Dosis yang digunakan dimulai dari 0,025 mg dan dilakukan titrasi lambat sampai tercapai dosis optimal. Dosis yang digunakan sebaiknya sekecil mungkin untuk meminimalkan efek hipotensi. Efek samping yang sering ditemukan adalah sedasi, nyeri kepala, sakit perut, bibir kering, terjaga sewaktu tidur, dan iritabilitas. Agonis alfa adrenergik lain yang direkomendasikan untuk menangani gangguan tic adalah guanfacine.[14]
Modalitas farmakoterapi lain adalah obat neuroleptik atau antipsikotik. Antipsikotik yang direkomendasikan untuk tic sedang sampai berat adalah antipsikotik atipikal. Risperidone dilaporkan efektif dalam mengatasi gangguan tic pada dosis 1-3 mg. Efek samping yang sering ditemukan adalah peningkatan nafsu makan, penambahan berat badan, gangguan metabolisme lipid dan glukosa, dan sedasi. Pimozide, ziprasidone, olanzapine, dan aripiprazole juga dilaporkan efektif digunakan untuk menangani gangguan tic. Aripiprazole khususnya, dilaporkan efektif untuk menangani sindrom Tourette.[1,14]
Penggunaan antipsikotik untuk menangani gangguan tic, khususnya pada anak-anak, mempunyai tingkat rekomendasi rendah. Tata laksana farmakoterapi yang mempunyai rekomendasi tinggi adalah clonidine dan guanfacine.[14]