Patofisiologi Pertusis
Berbeda dengan patofisiologi penyakit infeksi lainnya, patofisiologi pertusis bukan disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis sendiri tapi diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan, dicirikan oleh limfositosis dan leukositosis.
B.pertussis menular via droplet di udara yang tersebar melalui batuk.[1-3] Gerbang masuk dari organisme adalah infeksi saluran pernapasan mukosa saluran atas. Setelah terhirup, B. pertussis kemudian menempel pada sel epitel (sel mukosa superfisial) dan nasofaring dengan mengeluarkan beberapa macam protein adesin seperti filamentous hemagglutinin (FHA).[2,4] Di tempat ini bakteri tersebut kemudian akan bermultiplikasi dan memproduksi berbagai toksin untuk merusak sel-sel lokal.
Toksin Pertusis merupakan toksin tipe AB. Toksin ini merupakan proses utama patogenesis Pertusis. Toksin B berikatan dengan sel epitel nasofaring kemudian menginjeksikan toksin A ke dalam sel-sel tersebut.[2] Toksin merupakan sebuah ADP-Ribosyl Transferase yang menginaktivasikan protein G1, dan sebagai akibatnya meningkatkan kadar adenylate cyclase dan peningkatan cAMP.[2]
Dari proses tersebut, nampak manifestasi peningkatan produksi mukus, kerusakan silia, serta infiltrasi sel polimorfonuklear. Kerusakan silia menyebabkan stasis mukus dalam saluran pernapasan, sementara mukus merangsang respon batuk. Keduanya menyebabkan iritasi konstan dari ujung saraf mukosa saluran pernapasan, terbentuknya fokus dominan eksitasi pada pusat batuk, dan menjadi batuk yang berkepanjangan pada pasien. Secara keseluruhan, proses perusakan lokal ditambah dengan hilangnya fungsi protektif sel pernapasan, menghasilkan mikroaspirasi dan gejala batuk. Beberapa substansi biologis untuk mekanisme di atas dapat dilihat pada Tabel 1. [2]
Tabel 1. Substansi biologis aktif dan faktor virulensi Bordetella pertussis
Molekul adesi | Toksin | Faktor pelawan Fagosit |
Filamentous hemagglutinin (FHA)* | Sitotoksin trakeal* | Toksin siklase adenilat* |
Pertaktin* | Toksin Pertusis* | Toksin Pertusis* |
Toksin Pertusis | Toksin siklase adenilate* | |
Fimbria | Toksin dermonekrosis | |
Faktor kolonisasi trakeal | Lipopolisakarida |
* Faktor ini memainkan peran yang besar berdasarkan penelitian in vivo dan in vitro.
Setelah infeksi, tubuh akan mengeluarkan antibodi untuk melawan beragam antigen yang telah disebut pada Tabel 1. Komponen-komponen dari antigen ini banyak dimanfaatkan untuk mengembangkan vaksin Pertusis.
Pada kasus fatal (umumnya terdapat pada anak-anak dan bayi), B. pertussis juga dapat ditemukan hingga pada makrofag alveolar dan epitel bersilia di saluran pernapasan. Kemungkinan hal ini yang mendasari batuk yang berkepanjangan. Pertusis toksin yang dikeluarkan untuk destruksi sel lokal juga menyebabkan limfositosis dan hiperinsulinemia, yang kemudian mengakibatkan hipoglikemia anak. Secara khusus, limfositosis dan leukositosis merupakan ciri khas infeksi Pertusis. Hal ini disebabkan, adanya kerusakan terlokalisir pada saluran napas atas yang tidak dapat dicapai oleh limfosit dan leukosit sehingga banyak terakumulasi dalam darah.[2]
Kerusakan pada pertusis terutama disebabkan oleh toksin yang diproduksi bakteri dan bukan oleh bakteri itu sendiri. Bakteri B. pertussis cenderung sudah hilang pada fase paroksismal.[5]