Diagnosis Kejang Demam
Diagnosis kejang demam ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada penyebab kejang di intrakranial.
Anamnesis
Riwayat yang ditanyakan meliputi:
- Riwayat kejang sebelumnya, apakah disertai dengan demam atau tanpa demam
- Riwayat tumbuh kembang anak sebelum dan setelah kejang
- Riwayat penyakit lain yang menyertai
Gejala yang digali dari anamnesis meliputi:
-
Kejang umum: sering dideskripsikan sebagai “kelojotan” (tonik-klonik)
- Kejang fokal: kejang pada satu sisi tangan / kaki atau satu sisi tubuh atau bagian tubuh tertentu
- Durasi kejang
- Frekuensi kejang atau kejang berulang
- Tanda-tanda neurologis sebelum, saat dan setelah kejang
- Ada tidaknya gejala demam sebelum kejang
- Dicari mengenai sumber infeksi yang bisa menyebabkan demam
-
Meskpun masih belum jelas angka pastinya, suhu rektal di bawah 38oC yang disertai kejang, perlu dipikirkan bahwa kejang demam tersebut adalah kejang demam kompleks
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik anak dengan kejang demam, selain adanya peningkatan suhu, biasanya normal atau sesuai dengan penyebab demam (contoh: rhonki pada paru pada anak bronkopneumonia yang demam). Penting untuk melihat tanda dari meningitis dan ensefalitis untuk menyingkirkan diagnosis banding:
- Meningitis: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski yang positif dengan atau tanpa gejala neurologis fokal. [5] Pada bayi baru lahir, tanda-tanda ini jarang terlihat pada meningitis.
- Ensefalitis: beberapa gangguan kesadaran, perubahan tingkah laku, penemuan neurologis fokal (contoh: hemiparesis, kejang fokal dan disfungsi otonom), gangguan motorik, ataksia, gangguan pada saraf kranial, disfagia, meningismus, atau disfungsi sensorimotor unilateral.[6]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari kejang demam adalah:
Meningitis Bakterial Akut
Pasien tampak lebih letargis dan gelisah, terdapat gangguan kesadaran setelah kejang, ruam kulit, fontanel membonjol, dan kaku kuduk. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal dan kultur liquor cerebrospinalis (LCS) tumbuh bakteri.
Meningitis Viral
Kaku kuduk positif. Pemeriksaan pungsi lumbal tidak normal, kultur bakteri LCS negatif, tetapi polymerase chain reaction (PCR) kemungkinan positif.
Ensefalitis Viral
Gejala prodromal meliputi gejala infeksi saluran napas atas akut, diikuti nyeri kepala, kaku kuduk dan kejang. Ruam kulit mungkin timbul. Pemeriksaan pungsi lumbal dan kultur bakteri LCS tidak spesifik karena dapat menunjukkan hasil yang normal. Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: herpes simpleks)
Ensefalopati Akut
Gejala prodromal seperti gejala pada infeksi virus, diikuti dengan gangguan kesadaran dan kejang dan dapat disebabkan oleh zat beracun (pada Sindroma Reye) Pemeriksaan pungsi lumbal dapat menunjukkan:
- Peningkatan tekanan LCS, hitung sel dan protein meningkat, dengan penurunan glukosa
- Peningkatan rasio albumin LCS / serum mengindikasikan adanya gangguan sawar otak dan menjadi tanda awal dari ensefalopati akibat virus yang akut.
- Peningkatan enzim liver dan kadar amonia di dalam darah.
- Gula darah dapat menurun.
Dapat ditemukan gangguan pada hasil elektroensefalografi (EEG). Dapat ditemukan hasil MRI yang normal dan tidak normal (contoh: nekrosis talamus bilateral dan edema otak). Pemeriksaan virus dapat ditemukan positif (contoh: influenza A).
Epilepsi
Pada epilepsi kejang tidak disertai dengan demam. Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan adanya gelombang epileptiform (contoh: gelombang spike and slow).
Generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+), adalah sebuah penyakit akibat gangguan genetik autosomal dominan. Ditemukan riwayat kejang demam yang terjadi lebih dari 5 tahun dan riwayat bangkitan kejang tanpa demam.
Hot water epilepsy (HWE), dimana kejang biasanya kompleks-parsial yang didahului dengan tersiram air panas (40 – 50oC) di kepala. Sering terjadi di India dan Turki. 7% dari penderita HWE memiliki EEG di antara kejang menunjukkan temporal spikes.
Sindroma Drevet atau severe myocloninc epilepsy of infancy (SMEI), merupakan penyakit mutasi genetik. Ditandai dengan epilepsi yang tidak kunjung membaik, tampak seperti kejang demam pada tahun pertama. Kejang onset dini, berulang dan tipe kejang yang sering terjadi adalah kejang fokal dan klonik.
Breath-holding spells
Bayi afebris yang apneu, sianosis dan terdapat gerakan menghentak-hentak pada ekstremitas setelah menangis, atau setelah stimulasi vagal yang tidak disengaja. Onset usia 6 – 18 bulan. [7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada kejang demam tujuan utamanya adalah mencari sumber infeksi yang menyebabkan demam, bukan untuk menentukan kejang demam[1,2]. Apabila dokter pemeriksa sudah meyakini adanya demam disebabkan infeksi virus simpleks, misalnya pada ISPA, maka diagnosis klinik sudah cukup adekuat. Serum elektrolit jarang ditemukan bermanfaat pada evaluasi kejang demam.
Pungsi Lumbal
Pungsi Lumbal tidak rutin dilakukan pada saat terjadi kejang demam, kecuali bila ada indikasi tanda dan gejala adanya meningitis atau pada kondisi-kondisi yang akan dijelaskan pada poin berikutnya.
Pungsi lumbal dilakukan pada anak dengan demam dan kejang yang memiliki tanda dan gejala meningitis (contoh: kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski) atau dengan riwayat dan pemeriksaan yang mengarah ke meningitis atau infeksi intrakranial.
Bayi usia 6 – 12 bulan dengan demam dan kejang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pungsi lumbal bila tidak menerima imunisasi Haemophilus influenzae tipe B (HiB) atau Streptococcus pneumoniae, atau pada status imunisasi yang tidak jelas.
Pungsi lumbal dipertimbangkan pada anak dengan kejang dan demam bila pasien sudah menerima antibiotik sebelumnya, dikarenakan pemberian antibiotik bisa memudarkan tanda dan gejala meningitis.
Pasca kejang demam kompleks, pungsi lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis karena kemungkinan tanda dan gejala meningitis menjadi sulit untuk dievaluasi. Hasil studi Kimia et al (2010) menunjukkan bahwa sedikit pasien dengan kejang demam kompleks memiliki meningitis bakterial akut tanpa gejala yang diketahui hanya dari pungsi lumbal. [7,8]
Elektroensefalografi (EEG)
EEG tidak disarankan secara rutin dilakukan pada kejang demam sederhana karena selain tidak efektif biaya, juga berpotensi menimbulkan kecemasan orang tua.
Tidak ada studi yang kuat yang menyimpulkan EEG bisa memprediksi kemungkinan risiko epilepsi, meskipun EEG yang abnomal terus menerus memiliki nilai prediksi yang lebih tinggi (hal ini juga masih membutuhkan studi lanjutan). Tidak banyak studi yang bisa menyimpulkan apakah EEG efektif dilakukan untuk pasien dengan kejang demam kompleks
EEG dipertimbangkan pada semua pasien kejang demam kompleks dengan salah satu hal berikut:
- Bangkitan kejang tanpa disertai demam
- Terdapat keterlambatan atau gangguan tumbuh kembang
- Tanda dan gejala neurologis yang tidak normal. [4,7,8]
Radiologi
CT-Scan (Computed Tomography Scan) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana karena kerugian tidak sebanding dengan keuntungan (contohnya: dapat mendeteksi gangguan struktural di dalam otak). Efek samping dari CT-Scan adalah paparan radiasi yang besar dan efek yang tidak diinginkan dari MRI adalah biaya yang tinggi dan efek samping sedasi dimana obat-obatan sedatif biasa diberikan kepada anak-anak sebelum MRI.
CT Scan dipertimbangkan dilakukan pada Unit Gawat Darurat pada kejang demam kompleks bila terdapat indikasi kuat adanya perdarahan akut/subakut atau lesi struktural dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
MRI yang tidak segera dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam kompleks yang memiliki defisit neurologis iktal dan post-iktal. [4,5]