Etiologi Kraniosinostosis
Berdasarkan etiologi, kraniosinostosis terbagi menjadi primer dan sekunder. Terdapat berbagai teori mengenai etiologi kraniosinostosis primer, tetapi teori yang paling banyak diyakini adalah defek primer pada osifikasi lapisan mesenkim pada kranium. Kraniosinostosis sekunder dapat disebabkan penyakit/kelainan primer berikut:
- Endokrin: hipertiroidisme, hipofosfatemia, defisiensi vitamin D, osteodistrofi renal, hiperkalsemia, rickets
- Hematologi: anemia sel sabit, thalassemia
- Kegagalan pertumbuhan otak (mikrosefali, shunted hydrocephalus)[2]
Faktor Risiko
Faktor lingkungan selama kehamilan, seperti terbatasnya ruang intrauterine untuk kepala janin, posisi janin abnormal, oligohidramnion, paparan obat teratogenik (misalnya fluconazole), ibu merokok, dan penggunaan obat-obat antiepilepsi (misalnya asam valproat) dapat menjadi predisposisi kraniosinostosis. Faktor genetik pun berperan dalam 20% kasus kraniosinostosis, seperti mutasi genetik dan abnormalitas kromosom.[1]
Kraniosinostosis sindromik diperkirakan terjadi akibat mutasi genetik pada fibroblast growth factor receptor (FGFR), khususnya gen yang melibatkan reseptor 2 dan 3. Mutasi tersebut bersifat autosomal dominan. Beberapa sindrom kraniofasial dengan mutasi FGFR adalah sindrom Apert, Crouzon, Pfeiffs zer, dan Muenke.[2,4]
Sindrom kraniofasial yang tidak disertai mutasi FGFR adalah sindrom Saethre-Chotzen dan Carpenter. Hingga saat ini, belum ada satu anomali genetik tertentu yang dapat dipastikan sebagai etiologi kraniosinostosis.[4]