Penilaian Risiko Pasien Bunuh Diri

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Menilai risiko bunuh diri dapat mencegah perilaku dan fatalitas bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang menduduki peringkat ke-10 sebagai penyebab kematian terbanyak.[1] Menurut WHO, pada tahun 2020 setiap 40 detik terdapat 1 orang yang melakukan percobaan bunuh diri dengan tingkat kematian 1 di antara 20 kasus percobaan bunuh diri.[2] Sekitar 40% individu yang meninggal akibat bunuh diri ternyata pernah mengunjungi pelayanan kesehatan dan tidak didiagnosis mengalami gangguan kejiwaan.[3]

Penapisan Risiko Bunuh Diri

Penapisan risiko bunuh diri ataupun perlukaan diri merupakan salah satu langkah pencegahan bunuh diri. Pertanyaan klinisi mengenai bunuh diri atau perlukaan diri pada pasien dengan faktor risiko, terbukti tidak meningkatkan risiko bunuh diri, melainkan dapat membuat pasien merasa dipahami dan menurunkan kemungkinan tindakan bunuh diri.[3]

Close,Up,Hand,Of,Young,Women.,Stressed,Female,Taking,Drug

Patient Health Questionnaire-9 Item (PHQ-9)

Patient Health Questionnaire-9 item (PHQ-9) merupakan salah satu instrumen penapisan yang banyak digunakan dan dilaporkan efektif mengidentifikasi pasien dengan risiko bunuh diri. Instrumen ini menanyakan tentang pikiran mengenai kematian atau perlukaan diri selama 2 minggu terakhir.[3,4]

Peningkatan skor PHQ-9 berkorelasi sebanding dengan peningkatan risiko kematian akibat bunuh diri, terutama pada pasien dengan riwayat depresi. Perlu diingat bahwa hasil penapisan dengan risiko tinggi pun, tidak mampu memberikan gambaran spesifik mengenai kapan ataupun bentuk dilakukannya tindakan bunuh diri.[4]

Tabel 1. Patient Health Questionnaire-9 item (PHQ-9)

Sama sekali tidak Beberapa Hari Lebih dari setengah hari Hampir setiap hari
Sedikit minat atau kesenangan dalam melakukan sesuatu 0 1 2 3
Merasa sedih, tertekan, atau putus asa 0 1 2 3
Kesulitan jatuh atau tetap tidur, atau tidur terlalu banyak 0 1 2 3
Merasa lelah atau memiliki sedikit energi 0 1 2 3
Nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan 0 1 2 3
Merasa buruk tentang diri sendiri atau bahwa Anda gagal atau telah mengecewakan diri sendiri atau keluarga Anda 0 1 2 3
Kesulitan berkonsentrasi pada hal-hal, seperti membaca koran atau menonton televisi 0 1 2 3
Bergerak atau berbicara sangat lambat sehingga orang lain bisa memperhatikan. Atau sebaliknya menjadi sangat gelisah atau gelisah sehingga Anda lebih banyak bergerak dari biasanya 0 1 2 3
Pikiran bahwa Anda akan lebih baik mati, atau menyakiti diri sendiri 0 1 2 3

Kendala dalam Penggunaan Instrumen Penapisan

Adapun penggunaan instrumen sebagai alat penapisan memiliki kendala berupa perlunya ada validasi dan standarisasi instrumen ke bahasa yang digunakan oleh klinisi. Selain itu, beberapa instrumen memerlukan pelatihan terhadap klinisi yang melakukan.

Terdapat pula beberapa studi yang melaporkan bahwa instrumen penapisan risiko bunuh diri memiliki tingkat prediksi false-positive yang tinggi dengan tingkat akurasi yang rendah. Pada berbagai telaah klinis, dikatakan belum ada instrumen atau metode spesifik yang cukup baik menilai tingkat risiko bunuh diri.[3,4]

Pertanyaan berupa “Dalam 2 minggu terakhir, apakah Anda sempat berpikir untuk membunuh diri Anda, atau memilih lebih baik meninggal?”, dikatakan dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko bunuh diri. Selanjutnya, pada pasien dengan risiko bunuh diri perlu mendapatkan intervensi singkat minimal berupa safety planning maupun mendapatkan kontak pasien dan pelaku rawat pasien.[3]

Identifikasi Faktor Risiko Bunuh Diri

Beberapa faktor akan meningkatkan risiko bunuh diri. Faktor-faktor ini dapat diidentifikasi melalui anamnesis pada pasien yang menunjukkan tanda atau gejala depresi, serta melalui rekam medis pada saat pasien berobat apapun (termasuk saat berobat kondisi medis non-psikologi).

Beberapa faktor risiko bunuh diri adalah:

  • Adanya komorbiditas, seperti depresi, gangguan cemaspenyalahgunaan zat, atau gangguan psikiatri lain, termasuk riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya. Riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya dikatakan sebagai faktor prediksi terkuat berulangnya perilaku bunuh diri
  • Kejadian penuh stres dalam kehidupan, misalnya adanya riwayat trauma masa kanak, masalah keluarga, stres pekerjaan atau akademis, perburukan ekonomi, riwayat pelecehan seksual, maupun perundungan
  • Faktor fisik. Misalnya nyeri kronis, penyakit kronis, penyakit terminal, dan usia lanjut

Dokter dan petugas kesehatan juga perlu melakukan penilaian risiko bunuh diri karena populasi profesi ini juga lebih berisiko.[2,5-8]

Pengelolaan Pasien yang Berisiko Bunuh Diri

Apabila pasien teridentifikasi berisiko bunuh diri, pasien perlu dirujuk untuk konsultasi lanjutan dengan Psikiater atau Psikolog. Hubungi keluarga atau orang terdekat pasien dan sampaikan tindakan-tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah perilaku bunuh diri, misalnya tidak membiarkan pasien sendirian dan menjauhkan benda-benda yang berpotensi bahaya. Minta kontak pasien dan pelaku rawat, kemudian lakukan pemantauan jarak jauh sesuai keperluan, baik  ataupun kunjungan.

Cognitive Behavioural Therapy (CBT)

Cognitive behavioural therapy (CBT) telah dilaporkan efektif dalam pengelolaan pasien yang berisiko bunuh diri. CBT diharapkan dapat membantu pasien untuk mengidentifikasi dan mengubah pemikiran bermasalah dan pola perilaku sehingga akan mempengaruhi pengalaman emosional mereka. Selain itu, studi telah menunjukkan bahwa pasien yang menerima komunikasi kasih sayang berkala, seperti kartu pos atau surat, setelah pengalaman ideasi bunuh diri atau perilaku bunuh diri memiliki tingkat kematian dan rekurensi bunuh diri yang lebih rendah.

Farmakologi

Hingga kini manfaat terapi farmakologi pada pasien dengan ide bunuh diri masih menjadi kontroversi. Terdapat studi yang mengindikasikan bahwa penggunaan ketamine infus pada pasien depresi mayor dapat membantu memperbaiki gejala ideasi bunuh diri. Lithium diduga bermanfaat mengurangi risiko bunuh diri pada pasien dengan depresi unipolar atau gangguan bipolar. Sementara itu, clozapine diduga bermanfaat mengurangi perilaku bunuh diri pada pasien dengan schizophrenia atau gangguan skizoafektif.[3-5,9]

Penanganan Pasien Risiko Bunuh Diri di Setting Layanan Kesehatan Primer

Data mengungkapkan bahwa hampir setengah pasien yang meninggal akibat bunuh diri sempat mencari pertolongan ke layanan primer selama 30 hari terakhir. Tata laksana yang dapat dilakukan di layanan primer, antara lain:

  • Mengidentifikasi dan menilai risiko bunuh diri pada seluruh pasien dengan komorbiditas gangguan mental, gangguan penyalahgunaan zat, ataupun yang sedang atau pernah diresepkan obat psikotropika.
  • Pada pasien dengan peningkatan risiko bunuh diri, maka dapat dilakukan rencana keamanan yang kolaboratif pada kunjungan tersebut. Rencana keamanan yang utama berisikan informasi mengenai layanan krisis melalui telepon, menurunkan akses ke sumber berbahaya, meminta pengawasan dari anggota keluarga atau orang terdekat
  • Menjadwalkan atau merujuk segera mungkin pasien ke terapis perilaku atau profesional kejiwaan terutama yang telah mengikuti pelatihan tata laksana bunuh diri

Melakukan kontak tindak lanjut terhadap pasien, baik melalui telepon, surel, atau tatap muka, dengan cara yang paling nyaman untuk pasien.[3,9-11]

Penanganan Pasien Risiko Bunuh Diri di Setting Unit Gawat Darurat (UGD)

Pada setting UGD, rekomendasi tata laksana yang dilakukan, antara lain:

  • Mengidentifikasi dan menilai risiko bunuh diri pada pasien dengan kasus keracunan (termasuk overdosis), perlukaan yang dapat disebabkan oleh diri sendiri, dan individu dengan diagnosis gangguan perilaku atau faktor risiko terjadinya bunuh diri
  • Pada pasien dengan peningkatan risiko bunuh diri, maka nilai besaran risiko dan kebutuhan untuk dirawat inap atau dapat dipulangkan dengan pengawasan pelaku rawat
  • Tempat pemeriksaan harus menunjang unsur: aman, dapat diawasi dengan ketat, dan jauh dari benda-benda yang dapat pasien gunakan untuk melukai diri ataupun orang lain
  • Mendiskusikan dan menerapkan rencana keamanan yang disetujui bersama pasien pada kunjungan tersebut. Menjadwalkan atau merujuk segera mungkin pasien ke terapis perilaku atau profesional
  • Melakukan kontak tindak lanjut terhadap pasien. Kontak pertama dilakukan 24 jam dan kontak kedua dilakukan 7 hari setelah pulang[3,10,11]

Intervensi Rencana Keamanan

Dalam membuat rencana keamanan, minta pasien menentukan dan memberikan ke klinisi 3 atau lebih kontak yang dapat pasien hubungi saat mencari dukungan. Setelah pasien keluar perawatan, kontak yang diberikan ini dapat dipergunakan untuk melakukan pengawasan lanjutan, termasuk menanyakan motivasi pasien ataupun mendiskusikan jalan keluar untuk barrier yang dihadapi pasien saat mendapatkan pertolongan.

Kolaborasi rencana keamanan berupa menentukan dan menyepakati bersama pasien mengenai langkah-langkah yang hendak pasien lakukan saat keinginan bunuh diri timbul. Langkah-langkah ini terdiri dari rencana aktivitas alternatif, pikiran alternatif, perilaku alternatif, dan orang-orang yang dipercaya pasien dapat mendukung dirinya. Pasien perlu menyepakati bahwa rencana keamanan ini akan diberikan ke pelaku rawat, agar pelaku rawat dapat mendukung pasien sesuai dengan dukungan yang ia butuhkan.

Lakukan juga konseling terhadap pasien dan pelaku rawat mengenai upaya menurunkan akses terhadap sumber berbahaya, misalnya menunjuk pelaku rawat yang bertanggung jawab dalam pemberian obat ke pasien selama di rumah, menjauhkan pasien dari benda-benda tajam, dan lainnya.[11]

Pengelolaan Pasien Percobaan Bunuh Diri

Secara umum, pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dapat datang dalam 2 kondisi, yaitu pasien dengan percobaan bunuh diri atau pasien dengan ancaman atau memiliki faktor risiko bunuh diri. Klinisi wajib menilai, memeriksa dan melakukan stabilisasi kondisi fisik pada kasus percobaan bunuh diri sebelum melakukan tata laksana terkait faktor risiko bunuh diri. Anamnesis ataupun penapisan risiko bunuh diri tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran atau hendaya kognitif bermakna misalnya pasien yang dalam pengaruh zat.[9]

Stabilisasi

Amankan lokasi pemeriksaan dan singkirkan atau minimalisir terjangkaunya benda-benda yang berpotensi membahayakan nyawa dari pasien dan petugas, misalnya menjauhkan gunting, benda tajam, dan sprei. Selanjutnya, lakukan penentraman secara verbal pada pasien yang gaduh gelisah. Pengekangan, baik dengan farmakoterapi atau alat kekang fisik, hanya dilakukan jika pendekatan verbal tidak berhasil.

Setelah pasien lebih tenang, barulah dapat dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh untuk mengenali tingkat kesadaran, status hemodinamik, dan tanda-tanda intoksikasi. Pemeriksaan penunjang dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan kondisi klinis pasien, misalnya melakukan pemeriksaan darah lengkap, tes kehamilan, penyakit menular seksual  dan pemeriksaan toksikologi.[3,4,9-11]

Kesimpulan

Hingga saat ini belum ada kesepakatan global mengenai alat penapisan yang dapat digunakan untuk menilai tingkat risiko bunuh diri. Patient Health Questionnaire-9 item (PHQ-9) merupakan yang paling banyak digunakan.

Pasien yang diidentifikasi berisiko bunuh diri perlu untuk dirujuk ke Psikiater atau Psikolog. Lakukan kolabborasi dengan pasien dan pelaku rawat. Jauhkan akses terhadap benda berbahaya. Selain itu, lakukan pembuatan rencana keamanan.

 

Penulisan pertama oleh: dr. Immanuel Natanael Tarigan

Referensi