Dokter Lebih Berisiko Bunuh Diri, Ketahui Pencegahannya!

Oleh :
Rainey Ahmad Fajri Putranta

Kejadian bunuh diri pada dokter (physician suicide) merupakan hal yang makin sering terjadi dewasa ini. Telah diketahui selama lebih dari 150 tahun bahwa tingkat bunuh diri di kalangan dokter lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Angka kematian akibat bunuh diri di kalangan dokter diduga lebih tinggi dari nondokter, tetapi jumlah pastinya belum diketahui.

Tingginya tingkat bunuh diri di kalangan dokter diduga disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya adanya stigma dan risiko terhadap karir seorang dokter yang mencari pertolongan untuk mengobati depresi, adanya akses dan pemahaman mengenai metode letal yang dapat menyebabkan kematian, stres akibat pekerjaan, dan jam kerja yang menyebabkan dokter tidak sempat bersosialisasi.[1,2] Kesadaran mengenai kejadian bunuh diri pada dokter perlu dicanangkan, terutama di masa pandemi COVID-19 yang semakin meningkatkan beban kerja dan stres dokter.

Young Chinese doctor woman over isolated background shouting and suffocate because painful strangle. Health problem. Asphyxiate and suicide concept.

Bunuh diri merupakan tindakan yang berawal dari depresi. Depresi berat nantinya menimbulkan suicidal thoughts yang dapat berakhir menjadi suicidal attempt. Depresi dialami oleh hampir sepertiga mahasiswa kedokteran di seluruh dunia, tetapi penanganan yang dilakukan masih sedikit.[3] Sebuah tinjauan sistematis dari tahun 2000-2015 pada mahasiswa kedokteran di Asia menunjukkan bahwa terdapat banyak isu kesehatan mental pada mahasiswa kedokteran, seperti gangguan cemas dan depresi.[4] Hal ini sejalan dengan hasil tinjauan sistematis oleh Dyrbye et al, dimana mahasiswa kedokteran dilaporkan mengalami tekanan mental yang lebih berat dibandingkan populasi umum, terutama pada wanita.[5]

Dokter yang Memiliki Risiko Tinggi

Konsensus oleh American Foundation for Suicide Prevention melaporkan bahwa profil dokter yang memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri adalah:

  • Berusia >45 tahun pada wanita, atau >50 tahun pada laki-laki
  • Status pernikahan cerai, berpisah, lajang, atau terdapat masalah pernikahan
  • Memiliki depresi, alkoholisme, penyalahgunaan obat, gila kerja, atau menyukai risiko yang berlebihan (misalnya suka berjudi atau olahraga ekstrem)
  • Memiliki riwayat atau tanda gangguan psikologis (terutama gangguan cemas dan depresi)
  • Memiliki keadaan medis fisik seperti nyeri kronis atau penyakit kronis.
  • Mengalami perubahan status, stabilitas finansial, atau tuntutan dalam pekerjaan
  • Memiliki akses ke obat dan senjata api[6]

Pemilihan Cara Bunuh Diri

Sebuah studi di Amerika melaporkan bahwa cara yang paling banyak digunakan untuk bunuh diri pada dokter adalah senjata api (48%), diikuti dengan minum racun (23,5%), trauma tumpul (14,5%), dan asfiksia termasuk gantung diri (14%).[7]

Dokter lebih cenderung tidak menunjukkan atau menyatakan peringatan sebelum melakukan bunuh diri dibandingkan populasi umum. Hampir 1/3 dokter yang bunuh diri, sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Hanya 33% meninggalkan catatan bunuh diri (dibandingkan 38,9% pada populasi umum). Dan kebanyakan bunuh diri pada dokter dilakukan di rumah mereka sendiri.[8]

Pencegahan Bunuh Diri pada Dokter

Di Indonesia sendiri, pada tahun 2018, terdapat kejadian bunuh diri dengan melompat dari sebuah mal di Surabaya yang dilakukan seorang dokter.[9] Sebelumnya, pada tahun 2012, seorang dokter wanita yang sedang hamil di Depok melakukan percobaan bunuh diri dengan menusuk perutnya menggunakan pisau.[10] Tidak hanya di Indonesia, kejadian bunuh diri pada dokter dan mahasiswa kedokteran juga pernah dilaporkan di Amerika, Cina, Australia, dan negara-negara lain. [4,11-13] Kejadian bunuh diri yang dilakukan dokter, lebih banyak yang berakhir dengan kematian dibandingkan kejadian bunuh diri yang dilakukan nondokter (10:1 VS 15:1).[14]

Sebuah konsensus yang disetujui oleh American Foundation for Suicide Prevention menyatakan bahwa untuk mengurangi angka bunuh diri pada dokter, harus dilakukan tindakan mengubah perilaku profesional dan mengubah peraturan institusi.[6] Oleh karena itu, prevensi dapat dilakukan melalui dua ranah, yaitu rumah sakit atau institusi dan oleh dokter sendiri.

Rumah Sakit dan Institusi

Beberapa hal yang dapat dilakukan rumah sakit dan institusi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah:

  • Melakukan skrining tahunan pada rumah sakit dan pusat kesehatan
  • Membuat program agar dokter dan mahasiswa kedokteran dapat mengenali depresi pada dirinya sendiri, koleganya, ataupun pasiennya
  • Bekerja sama dengan asuransi untuk mengembangkan layanan konsultasi, rujukan, dan pengobatan bagi dokter dan mahasiswa kedokteran yang memiliki masalah psikologis
  • Keputusan mengenai kelanjutan surat tanda registrasi (STR) seorang dokter sebaiknya dilakukan berdasarkan kinerja profesional, bukan berdasarkan ada tidaknya masalah psikologis. Hal ini untuk mendorong dokter dengan depresi untuk terbuka dan berobat tanpa takut kehilangan pekerjaan.
  • Melakukan promosi kesehatan mental, melalui seminar atau lokakarya, untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan psikologis tenaga kesehatan
  • Melakukan pendidikan kedokteran berkelanjutan mengenai physician suicide, depression, dan faktor risiko terkait[1,6,15]

Dokter

Dokter juga dapat melakukan berbagai langkah pencegahaan terkait depresi, di antaranya:

  • Menjaga rahasia dokter yang datang untuk diskusi mengenai stress yang dialami
  • Mengenali depresi dan tanda-tanda bunuh diri pada diri sendiri dan mengedukasi mahasiswa kedokteran dan residen untuk melakukan hal tersebut
  • Mencegah physician burnout, terutama di masa pandemi COVID-19 yang semakin meningkatkan beban kerja dan tekanan dokter

  • Skrining rutin pada pasien di pelayanan kesehatan. Melakukan identifikasi rutin pada pasien dapat meningkatkan kewaspadaan pada kondisi diri sendiri
  • Mengetahui pilihan terapi, dan hotline yang dapat dihubungi apabila merasa memiliki gejala depresi dan pikiran untuk bunuh diri[6,8,15]

Kesimpulan

Kejadian bunuh diri pada dokter sudah sering dilaporkan. Secara umum, dokter memiliki risiko bunuh diri lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko bunuh diri pada dokter adalah usia, status pernikahan, riwayat atau tanda masalah psikologis, memiliki masalah kesehatan kronis, dan memiliki akses ke obat dan senjata api.

Pencegahan bunuh diri pada dokter dapat dilakukan oleh dokter maupun oleh rumah sakit atau instansi. Rumah sakit atau instansi berperan menciptakan lingkungan yang kondusif agar dokter yang dinaunginya mampu mengidentifikasi gejala masalah psikologis, serta mau mencari pertolongan. Dokter secara pribadi dapat membantu mencegah physician suicide dengan menjaga kerahasian sejawat yang datang menceritakan masalah yang dialami, mengenali tanda-tanda depresi pada dirinya dan koleganya, melakukan skrining rutin, dan mengetahui pilihan terapi atau pusat bantuan yang dihubungi jika merasa tertekan.

Dokter secara individu dapat mempengaruhi kultur dunia kedokteran agar menjadi lebih menerima isu-isu psikologis, menghilangkan sifat menghakimi terhadap kolega dengan masalah psikologis, dan mengubah agar sejawat dengan masalah mental tidak ragu mencari pertolongan.

Informasi Berguna

Jika Anda atau Kolega mengalami masalah terkait, dapat menghubungi psikolog atau psikiater di aplikasi ALODOKTER. Dalam aplikasi ALODOKTER dapatkan bantuan segera dan anonim melalui "Chat Bersama Dokter".

Referensi