Farmakologi Ipratropium Bromida
Mekanisme kerja ipratropium bromida sebagai bronkodilator lokal tanpa efek sistemik merupakan aspek farmakologi utama.
Farmakodinamik
Ipratropium bromide menyebabkan efek bronkodilatasi yang bersifat lokal, spesifik, dan tidak memberikan efek sistemik.
Dalam sebuah uji yang bertujuan untuk melihat seberapa jauh ipratropium bromide dapat melawan kejadian bronkospasme yang diprovokasi, didapatkan kesimpulan bahwa obat ini secara efektif mampu melawan agen kolinergik, memberikan sedikit proteksi terhadap agen serotonin atau histamin, serta proteksi moderat terhadap propanolol dan beberapa alergen.
Ipratropium bromide secara minimal dapat menembus membran mukosa nasal dan gastrointestinal sehingga menurunkan resiko dari efek antikolinergik sistemik yang dapat ditimbulkan seperti efek pada sistem saraf, mata, kardiovaskular, hingga gastrointestinal.
Ipratropium bromide tidak mempengaruhi bersihan mukosiliar pada saluran napas, atau volume dan viskositas dari sekresi saluran napas. Obat ini juga tidak memberikan efek perubahan ukuran pupil, daya akomodasi, hingga tajam penglihatan pada mata.
Studi ventilasi/perfusi menunjukan tidak adanya efek klinis yang cukup signifikan pada penggunaan obat ipratropium bromide terhadap pertukaran gas oksigen di paru, maupun perubahan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri.
Pada penggunaan sesuai dosis yang dianjurkan, ipratropium bromide tidak memberikan perubahan atau efek secara klinis yang signifikan pada frekuensi nadi hingga tekanan darah. Pemberian secara intravena pada 10 orang relawan pada dosis tertinggi hanya memberikan rerata peningkatan denyut nadi sebanyak 50 kali per menit dan perubahan tekanan darah kurang dari 20 mmHg, baik pada tekanan sistolik maupun pada tekanan diastolik.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa ipratropium bromide menghasilkan efek klinis yang lebih lambat dari golongan beta2-agonis, tetapi memiliki efek kerja lebih panjang dari obat tersebut.
Beberapa studi menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara respon klinis yang diberikan oleh ipratropium bromide terhadap pasien yang mengalami asma, baik asma yang disebabkan karena atopi maupun bukan atopi. Namun demikian, dilaporkan bahwa obat antikolinergik ini memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan beta2-agonis pada pasien dengan bronkhitis kronis dan emfisema.[4,9,10]
Farmakokinetik
Farmakokinetik ipratropium bromide berupa aspek absorbsi, distribusi, metabolism, dan eliminasinya.
Absorbsi
Sebagian besar dosis ipratropium bromide yang dihirup akan tertelan, dan sebanyak 30% dari dosis oral yang dikonsumsi akan terserap. Obat ini dapat masuk ke dalam peredaran darah melalui jalur pembuluh darah dalam saluran napas di paru atau melalui saluran gastrointestinal.
Onset kerja ipratropium bromide dicapai dalam 15 menit. Sebagaimana obat beta2-agonis, obat ini akan mencapai efek klinis maksimum pada 1,5 hingga 2 jam setelah pemberian dan memberikan efek klinis selama 4 hingga 6 jam setelah pemberian.
Efek bronkodilator maksimum dicapai pada dosis 20 ke 40 atau 80 mikrogram. Pemberian lebih dari dosis tersebut tidak menunjukkan peningkatan respon klinis.
Distribusi
Ikatan ipratropium bromide dengan protein sebesar 0-9%. Volume distribusi obat ini sebesar 338 L. Ipratropium bromide memiliki kemampuan yang kecil sekali dalam berikatan dengan albumin plasma atau α1-acid glycoprotein. Studi autoradiografi pada tikus menunjukan ipratropium bromide tidak dapat menembus sawar darah otak (blood-brain barrier).
Metabolisme
Ipratropium bromide akan dimetabolisme menjadi 8 metabolit di hati. Metabolit yang dihasilkan memiliki sedikit hingga sama sekali tidak memberikan efek antikolinergik pada percobaan in vitro. Secara parsial obat ini akan dimetabolisme menjadi produk-produk hidrolisis ester yang inaktif, asam tropik dan tropan.
Eliminasi
Waktu paruh ipratropium dicapai pada 3,2 hingga 3,8 jam setelah pemberian pada semua rute. Eliminasi ipratropium bromide terutama melalui urine dan feses.[4,9,10]