Secara fisiologis, testosterone memicu peningkatan sintesis protein otot dan merangsang pertumbuhan sel otot. Terapi testosterone umumnya digunakan di praktik untuk memperbaiki tanda dan gejala defisiensi testosterone, seperti perbaikan fungsi seksual, fungsi otot, anemia, serta bone mineral density (BMD) tulang vertebra dan femoral. Meski begitu, dewasa ini testosterone kerap digunakan untuk pembesaran otot pada individu sehat.[1,2]
Seiring bertambahnya usia, secara alami akan terjadi penurunan massa otot, yang hingga level tertentu akan menurunkan pula fungsi otot dan kualitas hidup. Beberapa penelitian memanfaatkan terapi testosterone sebagai alternatif penanganan sarkopenia pada usia lanjut. Meski begitu, hasil penelitian-penelitian ini belum konsisten sehingga efek terapi testosterone dalam meningkatkan kualitas otot masih belum jelas.[3]
Kurangnya Basis Bukti Efikasi Testosterone untuk Menambah Massa Otot pada Individu Sehat
Meskipun uji klinis mengenai efek terapi testosterone telah banyak dilakukan, penelitian-penelitian ini umumnya memiliki ukuran sampel yang kecil dan hasil yang dilaporkan masih berbeda-beda antar studi. Selain itu, sangat jarang ada uji klinis yang meneliti efek testosterone terhadap massa otot pada individu sehat. Kebanyakan uji klinis ini dilakukan pada lansia atau mereka yang mengalami penurunan massa otot akibat masalah spesifik.[3,4]
Terdapat satu penelitian terhadap 32 individu sehat, yang sejatinya ditujukan untuk menilai performa fisik secara keseluruhan. Penelitian ini menggunakan testosterone undecanoate dosis tunggal 750 mg intramuskular (IM). Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya efek testosterone terhadap peningkatan performa fisik, kekuatan otot, maupun kapasitas aerobik dan anaerobik keseluruhan.[5]
Dalam sebuah uji klinis terhadap 306 pria lansia, pemberian gel testosterone 1% selama 3 tahun dilaporkan menghasilkan peningkatan performa fisik dan massa otot dibandingkan plasebo. Meski demikian, perlu diketahui bahwa studi ini tidak melakukan pengendalian pada faktor perancu, seperti adanya keterbatasan fisik dan tingkat aktivitas fisik harian masing-masing partisipan, yang bisa mempengaruhi luaran.[6]
Dalam suatu meta analisis terhadap 11 studi, suplementasi testosterone pada laki-laki paruh baya dan lansia yang mengalami sarkopenia dilaporkan menghasilkan peningkatan massa otot dan kekuatan otot. Meski demikian, perlu diketahui bahwa studi yang dianalisis memiliki cara pengukuran luaran dan intervensi yang berbeda-beda, sehingga mungkin saja mempengaruhi hasil analisis.[7]
Potensi Manfaat Lain Terapi Testosterone
Meski manfaat terhadap massa otot pada individu sehat masih belum jelas, peningkatan kadar testosterone memiliki potensi manfaat lain, termasuk perbaikan mood, level energi, fungsi seksual, BMD, dan eritropoiesis. Kadar testosterone yang normal juga telah dikaitkan dengan pencegahan penyakit Alzheimer.[1,4]
Walau demikian, perlu digarisbawahi bahwa terapi testosterone hanya disetujui untuk dua indikasi utama, yaitu:
- Pria dengan kadar serum testosterone rendah dengan adanya gejala hipogonadisme.
- Gejala kongenital hipogonadisme hipogonadotropik akibat tumor, trauma, dan radiasi.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa terapi testosterone memiliki kontraindikasi, yakni pada pasien dengan kanker prostat, gagal jantung kronis, riwayat infark miokard dalam 6 bulan terakhir, dan obstructive sleep apnea.[1,2,4]
Durasi Terapi Testosterone dan Pemantauan Selama Terapi
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian terapi testosterone perlu dilakukan selama 3-12 bulan untuk melihat dampak terhadap otot pada pra-lansia dan lansia. Rute dan dosis testosterone akan mempengaruhi durasi dan frekuensi terapi.
Jika sediaan berupa testosterone gel, maka testosterone bisa diberikan dengan dosis 50-100 mg/hari selama 6 bulan. Untuk sediaan testosterone patch, bisa diberikan dosis 5 mg/hari selama 12 bulan. Untuk sediaan testosterone undecanoate, bisa diberikan secara IM dengan dosis 750 mg per 6 minggu selama 3 bulan atau 5 kali setahun selama 12 bulan. Sementara itu, sediaan berupa testosterone enanthate diberikan secara IM dengan dosis 100 mg/minggu selama 3-6 bulan.[7-10]
Selama terapi, ada beberapa hal yang perlu dipantau. Pada setiap pertemuan, perlu dievaluasi apakah ada sleep apnea setelah pemberian terapi. Terapi juga perlu dihentikan jika hematokrit lebih dari 54%. Untuk luaran terkait otot, bisa dievaluasi selambat-lambatnya 6 bulan setelah inisiasi terapi. Meski begitu, sekali lagi perlu ditekankan bahwa basis bukti manfaat pemberian terapi testosterone pada individu sehat masih tidak jelas, sehingga sejatinya pemberian pada individu sehat tidak disarankan.[4,11]
Aspek Keamanan Pemberian Terapi Testosterone pada Individu Sehat
Pemberian testosterone pada individu sehat tidak memiliki manfaat yang jelas dan membawa risiko efek samping. Regimen testosterone tablet dapat menyebabkan iritasi gusi dan mukosa mulut. Testosterone topikal dapat menyebabkan reaksi pada kulit, termasuk ruam dan reaksi alergi. Sementara itu, pemberian testosterone injeksi dapat menyebabkan fluktuasi mood, energi, dan libido.[4,12]
Testosterone eksogen juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kelainan kardiovaskular, eritrositosis, serta kejadian tromboemboli vena. Testosterone juga telah dikaitkan dengan peningkatan kadar serum prostate specific antigen (PSA) dan risiko kanker prostat. Oleh karena itu, pasien yang mendapat testosterone memerlukan evaluasi ulang kanker prostat setelah 3 bulan dan 1 tahun setelah memulai terapi.[1,12,14]
Risiko lain dari penggunaan testosterone adalah dapat merangsang pertumbuhan kanker payudara, memperburuk gejala benign prostate hyperplasia (BPH), risiko hepatotoksisitas, menyebabkan ginekomastia, serta menyebabkan atrofi testis dan infertilitas.[1,2,4]
Kesimpulan
Tidak ada basis bukti yang kuat yang mendukung manfaat penggunaan terapi testosterone dalam meningkatkan massa otot pada individu sehat. Di sisi lain, penggunaan terapi testosterone membawa risiko signifikan, termasuk peningkatan risiko kanker prostat, kanker payudara, ginekomastia, gangguan kardiovaskuler, kejadian tromboemboli, serta atrofi testis dan infertilitas. Atas dasar ini, penggunaan terapi testosterone untuk meningkatkan massa otot pada individu sehat sebaiknya tidak dilakukan.