Pilihan Terapi Sistemik pada Kasus Eksema

Oleh :
dr. Fresa Nathania Rahardjo, M.Biomed, Sp.KK

Terapi sistemik merupakan salah satu modalitas untuk tata laksana eksema (eczema) atau dermatitis atopik derajat sedang dan berat. Terapi imunosupresan dapat digunakan untuk mengatasi patofisiologi dasar dari eczema atau dermatitis atopik. Selain itu, agen biologis juga dapat sebagai alternatif lain. [1]

Eksema atau dermatitis atopik merupakan penyakit kulit kronis, dan sering terjadi sejak usia anak. Prevalensi pada anak-anak adalah 10−20%, sedangkan pada dewasa 1−3% dari populasi di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara industri lain. Manifestasi klinis berupa lesi yang gatal, merah, radang, papul, hingga penebalan kulit.[1]

Pilihan Terapi Sistemik pada Kasus Eksema-min

Di Indonesia, prevalensi dermatitis atopik menurut kelompok studi dermatologi anak (KSDAI) sebesar 23,67%. Dermatitis atopik menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit pada anak, dan lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan rasio sekitar 1,3:1.[2]

Derajat Keparahan Eksema atau Dermatitis Atopik

Penilaian derajat keparahan dermatitis atopik menggunakan dengan indeks scoring atopic dermatitis (SCORAD). Penggolongan derajat keparahan dermatitis atopik dibagi menjadi:

  • Derajat ringan: perubahan warna kulit kemerahan, kulit kering ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder (SCORAD <15)
  • Derajat sedang: kulit kemerahan, infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi (SCORAD 15‒40)
  • Derajat berat: kulit kemerahan, gatal, likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat (SCORAD >40) [4,5]

Penilaian dermatitis atopik berdasarkan bentuk lesi pada penelitian epidemiologi menggunakan three items severity score (skor TIS), yaitu menilai eritema, edema atau papul, dan ekskoriasi. Sedangkan untuk menilai kualitas hidup penderita dermatitis atopik, dapat dikerjakan skoring Skindex tetapi tidak lazim digunakan pada praktek sehari hari.[3,4]

Jenis Terapi Sistemik untuk Eksema

Menurut panduan praktek klinik dari Perdoski (Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia), terapi eksema atau dermatitis atopik harus mengacu pada 5 pilar terapi, yaitu menghindari penyebab, menggunakan emolien/pelembab, memberikan terapi penyakit inflamasi, mengontrol siklus gatal garuk, dan memperbaiki sawar kulit.[1,4]

Jenis terapi sistemik yang dapat diberikan kepada penderita eksema terdiri dari obat-obatan antipruritus, antibiotik, antiinflamasi, imunosupresan, dan agen biologis.[3,6]

Antipruritus

Antihistamin untuk dermatitis atopik diberikan untuk menghilangkan keluhan gatal dan mencegah garukan, yang diberikan intermiten atau short acting. Antihistamin generasi pertama yang lebih bersifat sedatif biasanya digunakan pada malam hari, sedangkan antihistamin non sedatif pada pagi hari. [2,5]

Antibiotik

Penggunaan antibiotik dianjurkan jika terjadi infeksi sekunder pada kulit, agar tidak menyebar hingga menyebabkan selulitis. Pilihan lini pertama adalah amoxicillin-clavulanate atau cefalexin, yang diberikan selama 7 hari. Apabila pasien alergi penisilin maka dapat diberikan eritromisin. Sedangkan lini kedua dapat dipilih eritromisin, sefalosporin generasi 2, atau antibiotik sesuai guideline ilmu penyakit dalam untuk kasus methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[3,6]

Antiinflamasi

Kortikosteroid short acting dapat diberikan dalam jangka pendek, atau sampai 1 minggu. Prednison, metilprednisolon, atau triamsinolon diberikan untuk kasus eksema atau dermatitis atopik eksaserbasi akut, kronis, derajat berat/luas, dan rekalsitran.[3,6]

Imunosupresan

Penggunaan obat sistemik golongan imunosupresan termasuk dalam pilar terapi penyakit inflamasi dan kontrol siklus gatal garuk. Namun, mengingat efek samping yang dapat ditimbulkan maka sebaiknya dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut.[5]

Siklosporin-A diberikan pada dermatitis atopik derajat berat, atau refrakter terhadap terapi konvensional. Obat ini terbukti bermanfaat untuk pasien anak maupun dewasa, dengan dosis anak 3−5 mg/kgBB/hari, dan dosis dewasa 150 mg atau 300 mg setiap hari.[3,6]

Imunosupresan lain adalah obat golongan antimetabolit, seperti mycophenolate mofetil yang bermanfaat untuk kasus dermatitis atopik refrakter; methotrexate untuk kasus rekalsitran; dan azathioprine untuk kasus derajat berat.

Agen Biologis

Agen biologis di antaranya dupilumab, mepolizumab, nemolizumab, omalizumab, dan timapiprant. Obat-obatan ini tidak rutin digunakan sebagai terapi sistemik dermatitis atopik derajat berat.[3,6]

Sampai saat ini, panduan penggunaan imunosupresan dan agen biologis belum dibakukan dalam pedoman tata laksana dan terapi. Namun, berdasarkan studi analisis oleh Roekevisch et al pada tahun 2013 yang melibatkan 34 randomized clinical trial (RCT), terapi sistemik imunosupresan memberikan hasil modalitas terhadap dermatitis atopik derajat sedang hingga berat.[7]

Efikasi dan Keamanan Terapi Sistemik Imunosupresan

Obat-obatan imunosupresan yang digunakan untuk penanganan dermatitis atopik derajat sedang hingga berat adalah siklosporin A (CsA), azathioprine (AZA), methotrexate (MTX), interferon – gamma (IFN-γ), steroid sistemik, mycophenolate mofetil,  imunoglobulin intravena (IVIG), pimecrolimus, dan montelukast.

Siklosporin A (CsA)

Keuntungan: CsA menghambat proliferasi limfosit T. Sesuai untuk pengobatan pada berbagai kondisi klinis.

Durasi terapi: Pengobatan jangka pendek, yaitu  10 hari ‒ 8 minggu. Dosis CsA tinggi (5 mg/kg/hari) menunjukkan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah (2,5‒3 mg/kg/hari). Pemberian CsA jangka panjang sampai dengan 1 tahun direkomendasikan pada beberapa penelitian.

Efek samping: Hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas mingguan berkisar 1,0‒28,2%.[8]

Rekomendasi: CsA dapat digunakan sebagai lini pertama terapi jangka pendek dermatitis atopik derajat sedang – berat. Dosis yang direkomendasikan Perdoski adalah 0,5‒1 mg/kgBB/hari.[1,7]

Azathioprine (AZA)

Keuntungan: AZA merupakan senyawa analog purine, dinilai superior terhadap plasebo. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan SCORAD sebesar 26‒37% pada minggu ke-12, dan peningkatan rerata 20% pada skor SKINDEX setelah 12 minggu.

Durasi terapi: Terapi dengan AZA digunakan selama 12‒24 minggu.

Efek samping: Supresi sumsum tulang, perdarahan saluran cerna, atau nefrotoksisitas mingguan berkisar 5,6‒22,9%. Dosis AZA harus disesuaikan dengan kadar aktivitas thiopurine S-methyltransferase maksimal, untuk mencegah kejadian supresi sumsum tulang.

Rekomendasi: AZA saat ini direkomendasikan sebagai terapi lini ke-2, mengingat efikasi dan keamanan obat jangka pendek dan panjang. Dosis yang direkomendasikan oleh Perdoski adalah 1‒2 mg/KgBB/hari. [1,7,9]

Methotrexate (MTX)

Keuntungan: MTX adalah antagonis asam folat MTX yang memiliki efikasi sama dengan AZA. Rerata peningkatan SCORAD sebesar 42%, dan rerata peningkatan 26% pada skor SKINDEX) setelah terapi sepanjang 12 minggu. Pada minggu ke-24, penurunan relatif rerata skor SCORAD  sebesar 48%.

Durasi terapi : Dapat diberikan sepanjang 12‒24 minggu.

Efek samping: Hepatotoksisitas, gangguan pertumbuhan, dan supresi sumsum tulang mencapai 23,5%.

Rekomendasi: MTX direkomendasikan sebagai lini ke-3  terapi dermatitis atopik pasien dewasa. Efikasi dan keamanan dari penelitian terbaru menunjukkan aman digunakan sebagai terapi jangka pendek dan panjang sampai 24 minggu. Dosis yang direkomendasikan oleh Perdoski adalah 0,1‒0,2 mg/kgBB, dibagi salah 2 hari/minggu, maksimal 10‒25 mg/minggu.[1,7,10,11]

Interferon – Gamma (IFN-γ)

Keuntungan:  INF-γ  melakukan down regulasi fungsi sel T Helper 2. Saat dibandingkan dengan plasebo, IFN-γ memberikan efikasi yang lebih baik pada pemberian selama 12 minggu. Efikasi obat ini meningkat sesuai dosis.

Efek samping: Gejala seperti rash, demam, fatigue, sakit kepala, mual, muntah, dan diare mingguan mencapai 16,3% pada salah satu penelitian.

Rekomendasi: IFN-γ dapat digunakan sebagai lini ke-3 terapi dermatitis atopik derajat berat, tetapi dengan pengawasan ketat. Saat ini, penggunaan IFN-γ belum direkomendasikan pada praktek sehari-hari oleh Perdoski.[1,7]

Steroid Sistemik

Keuntungan: Penggunaan steroid sistemik bermanfaat secara jangka pendek. Beclomethasone dipropionate dan flunisolide digunakan pada pediatrik yang menderita dermatitis atopik derajat berat. Prednisolone sistemik memiliki efikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan siklosporin pada pasien dewasa, dan sering terjadi kekambuhan setelah lepas obat.

Efek samping: Infeksi sekunder, hipertensi, dan dispepsia dilaporkan antara 0‒20,4%. Efek samping steroid berat pada berbagai penelitian tidak terjadi pada penggunaan terkontrol dan durasi pendek.

Rekomendasi: Steroid sistemik tidak direkomendasikan pada dermatitis atopik derajat sedang – berat. Namun, penggunaannya pada area terpencil dapat dipertimbangkan. Dosis glukokortikoid (prednison) yang direkomendasikan oleh Perdoski adalah 0,5‒1 mg/KgBB/hari, diberikan selama 3‒5 hari atau tergantung klinis.[1,7,12,13]

Mycophenolate Mofetil

Keuntungan: Bermanfaat untuk terapi dermatitis atopik refrakter. Memiliki efektivitas seperti siklosporin, methotrexate, atau azathioprine. Mycophenolat mofetil dapat digunakan sebagai pengganti terapi sebelumnya, apabila terdapat kontraindikasi.

Efek Samping: Paling banyak terjadi adalah gangguan gastrointestinal, nyeri kepala, supresi sumsum tulang, dan peningkatan risiko infeksi. Penggunaan rifampisin, cholestyramin, dan antasida menurunkan kadar mycophenolat mofetil dalam darah. Sedangkan penggunaan bersama dengan acyclovir meningkatkan kadar acyclovir darah.

Rekomendasi: Saat ini penggunaan mycophenolat mofetil direkomendasikan Perdoski hanya diberikan oleh dokter spesialis kulit konsultan, untuk pasien dermatitis atopik derajat berat.  Dosis antara 0,5‒3  mg/hari, dibagi dalam 2 dosis.[6,14]

Imunoglobulin Intravena (IVIG)

Keuntungan: IVIG memiliki efikasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan plasebo dan siklosporin.

Efek Samping: Reaksi alergi berkisar 0,6‒2,8%.

Rekomendasi: IVIG sudah tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan dermatitis atopik berat.[1,7]

Montelukast

Keuntungan : Montelukast efektif sebagai obat yang dikombinasikan dengan cetirizineclarithromycin, dan kortikosteroid topikal, dengan perubahan rerata skor SCORAD sebesar 51% pada minggu ke-6. Serta memberikan efek lebih baik dengan kombinasi antihistamin dan kortikosteroid topikal setelah minggu ke-4.

Efek Samping: Belum ada penelitian yang menyebutkan kerugian penggunaan obat ini. Rekomendasi: Obat ini belum direkomendasikan pada praktek sehari-hari oleh  Perdoski, karena belum cukup data penelitian.[1,7]

Pimecrolimus

Keuntungan: Pimecrolimus sistemik adalh inhibitor calcineurin, di mana penelitian menunjukkan kondisi klinis lebih baik daripada yang diberikan plasebo, setelah durasi pengobatan minggu ke-12. Dosis 20‒30 mg.

Efek samping: Dilaporkan mingguan sebesar 7,7% pada kelompok yang mengonsumsi pimecrolimus 30 mg.

Rekomendasi: Pimecrolimus sistemik dapat merupakan pilihan terapi jangka pendek pada dermatitis atopik. Saat ini, penggunaannya belum direkomendasikan untuk penggunaan praktek sehari-hari oleh Perdoski.[1,7]

Efikasi Dan Keamanan Terapi Sistemik Agen Biologis

Terapi sistemik agen biologis untuk penanganan dermatitis atopik derajat sedang hingga berat adalah dupilumab, mepolizumab, dan omalizumab. Saat ini terapi agen biologis belum direkomendasikan untuk terapi dermatitis atopik sedang berat secara umum, dan hanya dilakukan untuk kepentingan penelitian.

Dupilumab

Keuntungan: Dupilumab adalah monoklonal antibodi dari manusia yang menargetkan kerjanya di subunit alpha reseptor interleukin-4 (IL-4Rα), sehingga terjadi penurunan sinyal jalur interleukin-4 dan interleukin-13. Penelitian menunjukkan dupilumab efektif sebagai terapi dermatitis atopik dengan dosis 300 mg setiap 2 minggu, setelah dosis loading 600 mg subkutan.

Efek Samping: yang dapat terjadi adalah reaksi tempat penyuntikan, konjungtivitis, dan siklus demam menggigil.[6,16,17]

Mepolizumab

Keuntungan: Mepolizumab adalah monoclonal antibody dari manusia, yang diberikan secara injeksi subkutan untuk menghambat reseptor interleukin-5. Obat ini digunakan untuk terapi asma dengan fenotip eosinofilik di Amerika dan Eropa. Namun, obat ini tidak direkomendasikan untuk terapi dermatitis atopik karena belum ada bukti bahwa obat ini lebih baik daripada plasebo.[6]

Omalizumab

Omalizumab adalah monoclonal antibody dari manusia yang mengikat free human immunoglobulin E (IgE) di dalam darah, membran sel, limfosit, dan cairan interstitial. Penggunaanya sering pada asma alergi berat dan urtikaria kronis. Namun, hasil penelitian terbaru belum merekomendasikan obat ini sebagai terapi dermatitis atopik, karena data kurang.[6,19]

Kesimpulan

Terapi sistemik pada eksema atau dermatitis atopik diberikan pada pasien dengan derajat keparahan sedang – berat. Terapi yang dapat diberikan antara lain terapi imunosupresan dan agen biologis. Pilihan obat imunosupresan yang dapat diberikan adalah siklosporin A (CsA), azathioprine (AZA), methotrexate (MTX), interferon – gamma (IFN-ɣ), steroid sistemik, mycophenolate mofetil,  imunoglobulin intravena (IVIG), pimecrolimus, dan montelukast.

Di Indonesia, pilihan obat imunosupresan yang dapat digunakan secara luas menurut panduan adalah kortikosteroid, CsA, AZA, dan MTX. Namun, hanya dapat diberikan oleh dokter spesialis kulit dan konsultan. Hal ini karena efek samping obat seperti hepatotoksisitas, nefrotoksisitas, dan depresi sumsum tulang dapat terjadi jika dosis dan durasi pengobatan tidak dipertimbangkan dengan baik.

CsA direkomendasikan sebagai terapi lini pertama dengan penggunaan jangka pendek. Lini ke-2 dapat diberikan AZA untuk induksi dan pemeliharaan sampai dengan 24 minggu. Namun, penggunaan kedua obat ini harus mempertimbangkan efek samping hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas pada siklosporin, dan supresi sel-sel myeloid pada penggunaan AZA.

MTX dapat direkomendasikan sebagai lini ke 3 untuk penggunaan jangka pendek, atau jangka panjang sampai dengan 24 minggu. Efikasi MTX sama dengan AZA. Sedangkan kortikosteroid sistemik sangat sering digunakan untuk terapi sistemik dermatitis atopik pada praktek rutin. Sampai saat ini, steroid sistemik masih sering menjadi lini pertama terapi dermatitis atopik derajat berat pada pasien dewasa dan pediatrik. Hal ini karena ketersediaan obat, dan minimalnya efek samping yang terjadi pada penggunaan jangka pendek.

Penggunaan agen biologis belum dibakukan dalam pedoman tata laksana eksema atau dermatitis atopik karena kurangnya penelitian tentang efikasi dan tingginya efek samping yang ditimbulkan.[6]

Referensi